PERI HEWAN HILANG SUARA
Di jaman purba, hewan bisa berbicara seperti manusia. Mereka memakai bahasa binatang yang dimengerti semua jenis binatang. Jadi gajah, jangkerik, burung dan ikan bisa saling menyapa.
Pada suatu hari Ibu Peri Penjaga Hutan, Ibu Peri Penjaga Air dan Ibu Peri Penjaga angin berkumpul. Mereka memuji dan mengunggulkan binatang-binatang yang dijaganya. Peri Hutan memuji binatang-binatang hutan, Peri Air memuliakan ikan-ikan di laut dan Peri Angin memuji burung Garuda-nya. Mereka menyatakan bahwa binatang yang dijaganya adalah yang paling unggul. Hal ini menimbulkan pertengkaran hebat diteruskan dengan adu kekuatan sampai di kahyangan.
Kahyangan menjadi geger. Dewa Bumi marah besar hingga tiga Peri pembantunya tersebut ditangkap.
Dewa Bumi berkata, “Wahai para Peri, semua binatang punya tugas masing-masing. Tak ada yang lebih unggul. Kalian bersalah jika saling unjuk keunggulan, apalagi sampai berkelahi, merusak tanaman hias milik istana kahyangan. Lihat daun jenmani dan Gelombang CInta milik Kahyangan banyak yang patah. Padahal harganya kan selangit!”
Peri Air menjawab, “Duh Tuan Dewa Penguasa Bumi, apakah saya bersalah? Bukankah tanpa air, tak ada kehidupan di dunia ini? Lihat, planet Mars, Neptunus atau Bulan, disana tak ada makhluk hidup karena tak ada air. Jadi bukankah air adalah sarana paling unggul untuk hidup.”
Peri Angin menimpali, “Bukan demikian Tuan Dewa Bumi. Tanpa angin, bumi akan panas, binatang-binatang peliharaan Peri Hutan akan terbakar.”
Peri Hutan membela, “Itu tidak benar Dewa Bumi. Tanpa hutan-hutan di bumi, burung-burung tak bisa mencari makan.”
Dewa Bumi geleng-geleng kepala. “O o, kalian koq rada-rada gendeng. Otak kalian kerbau semua. Tahukah, semua benda dan makhluk yang dibuat Sang Pencipta punya hubungan simbiosis mutualis, saling terkait, saling berhubungan dan saling bahu membahu menyelamatkan bumi agar awet.”
Tiga Peri tadi merasa sangat bersalah menyadari ketololan mereka dan bersedia dihukum.
Maka Dewa Bumi bersabda, “Peri air, kamu dihukum. Ikan-ikanmu akan kehilangan suara. Ikan jadi hewan bisu saja. Peri Hutan, kamu dihukum, binatang hutan hanya bisa bersuara satu jenis dan mereka akan memilih suaranya sendiri. Peri Angin, kamu juga dihukum. Tetapi burung-burung bisa bersiul. Sebagai ganti adanya suara, aku akan mohon kepada Sang Pencipta untuk mendatangkan manusia yang bisa berbicara agar hidup di bumi, yakni Adam dan Hawa. Keputusan ini berlaku lusa.”
Peri ikan dan Peri Hutan langsung mengajukan protes karena hukumannya tidak sama. Tetapi putusan Dewa Bumi tak dapat diganggu gugat, mutlak milik Sabdo Pandita Dewa Bumi.
Dengan bersungut-sungut ketiga Peri tadi pergi ke habitatnya sendiri untuk mengumumkan kepada rakyat. Begitu ikan-ikan tahu bahwa lusa mereka akan menjadi binatang bisu, serentak mereka berteriak sekeras-kerasnya sampai lusa. Laut dan sungai pun guncang oleh teriakan segenap hewan air.
Sementara di hutan, Peri Hutan dikerubungi rakyatnya yang ribut memilih suara khas mereka. Harimau protes, “Mengapa harus ada manusia?” Peri Hutan menjawab, “Manusia sedang diuji apakah mampu berbicara dengan bahasa kita.” Kalian diperintahkan untuk mencari bahasa dan suara baru. Ini berlaku mulai lusa. Maka cepatlah memilih suara! Kalau tidak, kalian akan bisu seperti ikan.”
Gajah cepat-cepat menyela, “Ya sudah Ibu Peri. Aku pilih suara dan lagu seperti ini, aueikkkkk!” Singa juga cepat memilih suara, “Aouuuuum.” Peri Hutan kagum lalu berkomentar, “Wah bagus, suaramu sangat gagah, sesuai dengan besarnya tubuhmu. Kalau kau anjing?”
Anjing lalu menggonggong, “Guk guk guk.”
Seketika ribuan binatang memilih suara mereka masing-masing sehingga hutan menjadi riuh rendah.
Kucing mengeong, “Meong, meong.”
Kodok lalu mengorek, “Mbeoek Ngook!”
Tokek memilih suaranya, “Tokek, tokek”
Bebek memilih ‘ wekwek’, ayam jantan ‘kukuruyuk’, ayam betinanya ‘petok- petok. Kuda memilih iek iek iek iek. Kambing mengembik ‘embik embik’, babi ‘ngoook ngokkk’, sapi melenguh ‘uhhh’, ular mendesis, kera menjerit, lalu tikus mencicit.
Semua hewan hutan telah memilih suaranya sendiri. Peri Hutan lega, rakyatnya tidak melakukan demo atas keputusan Dewa Bumi yang terpaksa harus diterima.
Bagaimana dengan Peri Angin? Dia juga sibuk bersama rakyatnya. Namun Peri Angin sangat senang. Burung-burungnya telah memilih suara dan lagu yang bagus-bagus. Suara burung Kenari sangat indah dengan lagunya yang tak pernah berhenti…. ‘priyik-yik-yik-yik, priyuk-yuk-yuk’. Burung Cocakrowo berkicau amat merdu. Burung Perkutut bernyanyi ‘huwung kung kung kung’. Derkuku bernyanyi ‘kuk geruuuk koook… kuk geruuuk koook. Kini semua burung telah menemukan siulan suara dan melagukannya. Peri Angin bangga sekali, burung-burungnya sangat kreatif menciptakan suara dan lagu.
Tiba-tiba Peri Angin melihat burung Beo tiba-tiba datang.
Peri Angin: “Beo, kamu dari mana? Kamu pilih suara dan lagu seperti apa, coba aku dengarkan?”
Beo: “Ibu Peri, saat ini perutku mulas karena tak dapat menahan tertawaku… aku dari hutan melihat hewan hutan memilih suaranya, hahahahaha….!”
Semua burung-burung penasaran ingin mendengar kelucuannya. Peri pun ikut penasaran sehingga mengizinkan Beo untuk menirukan suara binatang hutan.
Sambil terpingkal-pingkal, Beo menirukan satu per satu suara binatang hutan.
‘”Suara kuda seperti kuntilanak. Ular seperti kehabisan nafas. Sapi seperti kesakitan disembelih., hahahahaha.... Suara Anjing seperti sedang digebuki, Kucing seperti sedang kelaparan. Singa dan Serigala seperti suara hantu mencari mangsa, hiiii.”
Burung-burung yang beterbangan di angkasa ini tertawa bersama mengejek binatang hutan.
Lalu Peri Angin kembali menanyakan suara Beo. “Lalu suara dan lagumu sendiri seperti apa Beo?”
Beo lalu melagukan suaranya. “Mbek mbek mbeeeeekkk, eh bukan, itu suara si Kambing. Meonghhh ong...ong...eh bukan, itu mirip suara si Kucing. Suaraku ini krik..krik-krik...krik kriikk.... eh, eh bukan, bukan, itu suara Jangkrik. Aduh Ibu Peri, bagaimana ya? Lho, lho, aku jadi lupa belum menciptakan suara dan lagunya. Aku tadi terlalu sibuk mendengarkan dan mengejek binatang hutan. Ibu Peri mohon ampunilah aku. Aku tidak mau menjadi burung bisu!”
Peri Angin tersenyum, lalu berkata, “Ya sudah, karena kamu seekor peniru, maka kamu akan tetap menirukan suara apapun yang kau dengar.” Akhirnya burung Beo selalu bisa menirukan suara-suara yang diajarkan atau yang didengarnya.
NONI
Sabtu, 20 Juni 2009
Hilangnya Telur di Bumi
HILANGNYA TELUR DI BUMI
Di hutan belantara, beberapa binatang kecil dan seekor Buaya sedang berkumpul. Binatang kecil itu Ayam, Bebek, Katak dan para Burung. Mereka secara tidak sengaja bisa saling berjumpa. Jumpa mitra ini kian ramai manakala semuanya ingin saling berbagi cerita. Lama-lama mereka tertarik pada cerita yang disampaikan si Bebek.
Kata Bebek, selama hidupnya, ia tidak pernah bertelur dengan bentuk bulat seperti bola. “Bentuk telurku bulat telur, kan? Sama seperti telur Ayam dan burung,” kata Bebek pada teman-temannya. “Tetapi kemarin aku bertemu dengan Kura-kura. Ia meyakinkanku bahwa telurku sebenarnya bulat sempurna seperti bola. Tetapi karena aku tidak hati-hati melepas telurku, telurnya jatuh terlalu tinggi hingga menjadi lonjong,” kata Bebek sambil meringis.
Hewan-hewan lainnya tersenyum kecut mendengarnya. Ada-ada saja si Kura-kura. Tetapi tiba-tiba Buaya penasaran. Ia ingin melihat, apakah telurnya yang dipendam di pasir dekat sungai, juga berbentuk lonjong? Merekapun sepakat ingin melihat telur Buaya. Maka berangkatlah mereka ke pendaman telur Buaya. Setelah digali, terlihat telur Buaya pun bentuknya lonjong.
“Hai Buaya, kau pun tak hati-hati melepas telurmu. Padahal sudah kau jatuhkan di pasir yang empuk,” kata Bebek. Suasana jadi riuh oleh pendapat masing-masing. Katak akhirnya nimbrung: “Makanya kalau bertelur di air saja seperti aku. Telurku bulat sempurna!” seru Katak.
“Tetapi telur-telurmu menggumpal jadi satu seperti telur ikan, bahkan tak tampak bulat, malah kayak penyakit kusta,” ejek si Ayam. Semua yang mendengar jadi tertawa terbahak-bahak. Akhirnya Bebek mengajak ke sarang Cecak untuk melihat bentuk telur Cecak. Merekapun bertamu ke sarang Cecak.
“Cak, Cak, bolehkah kami melihat telurmu?” tanya Bebek.
“Boleh, telurku kecil-kecil putih, tak berwarna seperti permen, bagus ya, kecil-kecil lonjong?” pamer si Cecak.
“Wah benar, telur Cecak juga lonjong. Artinya Kura-kura penipu. Telur apapun, bentuknya selalu lonjong. Tuhan memberi keistimewaan kepada hewan petelur bahwa beginilah bentuk telur,” seru Bebek.
“Baiknya kita beri pelajaran buat si Kura-kura, ayo kita serbu ramai-ramai,” seru semua hewan disana. Maka merekapun buru-buru mencari Kura-kura untuk dihajar.
Melihat tamu menyerbu rumahnya, Kura-kura jadi kaget. Pada saat itu ia sedang bercengkerama dengan Siput. Siput menangis karena merasa bahwa ia terlalu berat menyangga rumah cangkangnya. Siput menyesal sekali, mengapa harus punya rumah di punggungnya sehingga ia tak bisa berlari cepat. Kawanan Bebek jadi ikut prihatin atas nasib Siput.
“Tetapi Put, rumah itu membuatmu tak kedinginan jika hujan dan tak kepanasan di siang terik,” hibur Buaya.
“Benar, Put. Coba jika kau jatuh dan rumahmu pecah, lendirmu malah tampak menjijikkan dan kau jadi sakit, kan?” sela Ayam.
“Tetapi tak ada yang mau berteman denganku. Apalagi Bebek, ia selalu memakanku jika melihat rumahku remuk,” kata Siput.
“Soalnya lendirmu kan vitamin buat telurku, maka rumahmu jangan sampai pecah, kalau rumahmu utuh, aku kan temanmu,” bela Bebek.
Tiba-tiba Bebek ingat bahwa ia datang untuk menghajar Kura-kura. “Oh iya, kami kesini mau membalas penipuanmu kepadaku, Kura-Kura. Kau bohong, semua telur berbentuk lonjong,” kata Bebek langsung menendang Kura-kura. Tetapi apa yang terjadi? Kaki Bebek kesakitan menendang punggung Kura-kura. “Aduh,” teriak Bebek menahan rasa sakit kakinya. Melihat Bebek kesakitan, Ayam jadi marah. Ia pun ikut menendang Kura-kura dengan kakinya. Ah, ayam kesakitan juga.
“Heee, kalian mau apa? Menghajarku? Nggak bisaaaa! Aku punya rumah yang kuat dan keras, hahahaha… kena batunya lu,” ejek Kura-kura. “He Buaya, kau juga mau menghajarku? Ingat, gigimu tak sanggup meremuk rumahku. Kalau kau mau menelanku, perutmu akan sakit karena aku tetap hidup bersembunyi di rumahku, lalu kugigit jantungmu sampai kau mati,” ancam Kura-kura. Buaya jadi takut, juga burung-burung dan Cecak. Kura-kura semakin sombong dan kian senang bisa menggoda para tamunya. Niatnya kian besar untuk menakut-nakuti mereka.
“He kalian binatang petelur, dosa kalian sangat besar karena tidak bisa mengeluarkan telurmu menjadi bulat sempurna!” seru Kura-kura.
“Bohong!!!”
“Buktinya, rebuslah telurmu. Lihat, kuning telurmu bulat sempurna, kan?” seru Kura-kura. Segenap hewan petelur saling berpandangan membenarkan dalih Kura-kura.
“Pulanglah, mohon ampunlah semua dosa-dosamu. Tanyakan pada dewamu, bagaimana caranya agar telurmu bisa keluar dengan tetap bulat sempurna. Apalagi kau Ayam, dosamu yang paling besar karena kau tak pernah bisa menjawab pertanyaan tentang mana yang lebih dulu ada, ayam atau telur. Sudah sana. Pergi semua!” usir Kura-kura angkuh.
Dengan tertunduk malu, mereka pun pulang ke kandang masing-masing. Mereka sangat sedih menjadi makhluk yang penuh dosa karena tidak mampu mengeluarkan telur mereka secara bulat sempurna. Semalaman mereka tak bisa tidur memikirkan dosa-dosa seperti yang dikatakan Kura-kura.
Pada pagi harinya, Ayam-ayam pada berkumpul. Mereka membicarakan dosa yang ditanggung. Tak seekor Ayam betina pun yang mau menanggung dosa. Maka akhirnya mereka sepakat untuk tidak bertelur. Jika terpaksa bertelur, maka telur yang keluar langsung dithotholi dan dipecah agar dosa mereka tidak kian besar. Maka Ayam memulai demo anti bertelur. Telur yang ada dipecahi, telur yang baru keluar langsung diremuk-remuk.
Melihat hal itu, Bebek menirunya dan bahkan semua binatang petelur, memecahkan sendiri semua telur-telur mereka. Demo anti bertelur dan anti telur merebak pada seluruh satwa hewan petelur. Tak satupun binatang bertelur yang tidak memusnahkan telur-telur mereka. Tidaklah heran jika bumi kehilangan telur.
Pasar-pasar dan toko-toko kekosongan telur. Manusia kebingungan, mengapa semua telur selalu pecah? Melihat kegegeran di bumi, Dewa Bumi jadi resah. Ia turun ke bumi untuk mencari tahu penyebabnya, kemudian melaporkan masalah ini kepada Dewa Utama. Para Peri ditugaskan untuk mencari dalangnya. Akhirnya diketahui bahwa Kura-kuralah yang memanas-manasi keyakinan hewan-hewan itu.
Para Dewa dan Peri lalu menemui semua hewan-hewan petelur. Di sebuah padang rumput yang luas, segenap binatang petelur diharuskan hadir. Dewa Utama akan memberi amanat penting. Kura-kura juga hadir disana. Setelah semua berkumpul, Peri Hutan membuka acara, “Wahai rakyatku, Dewa Utama akan memberitahu mengapa telur kalian lonjong,” kata Peri Hutan dengan manis.
Dewa Utama yang jarang menemui hewan-hewan ini maju ke depan. “Wahai rakyatku, Kudengar si Ayam bingung, yang lebih dulu ada, telur atau Ayam? Jawabannya, kalian itu hasil evolusi dari Dinosaurus yang lalu menjelma menjadi berbagai jenis hewan. Ada yang berkaki dua, ada yang empat, ada yang punya ekor, ada yang punya sayap, ada yang beranak, ada yang bertelur dan ada yang berpunggung cangkang seperti Siput. Sama seperti Anthurium, bisa beranak menjadi Huckery, bisa Jenmani, bisa Gelombang Cinta, Gelombang Tsunami atau Garuda, Keris dsb.”
“Tetapi, mengapa telur kami semuanya lonjong,” protes Buaya.
“Sebenarnya telur kalian berbentuk bulat seperti bola. Waktu keluar kena angin, cangkang telur mulai terlapisi kapur, lalu didorong ke luar menjadi lonjong agar tidak menggelinding sehingga mudah dierami dengan aman. Emangnya kalian ingin telurnya dibentuk seperti durian? Bisa-bisa bokong kalian tertusuk duri-duri tajam,” terang Dewa Utama yang disambut egal-egol Bebek pura-pura mengerami durian. Semua hadirin tertawa terpingkal-pingkal melihat ulah Bebek.
“Jadi, kalian mau telurnya dibentuk seperti durian?” tanya Dewa Utama.
“Tidakkkkkkk…,” jawab semua binatang petelur serentak. Namun si Bebek langsung bertanya lagi, “Tetapi kami berdosa tidak bisa membentuk telur kami menjadi bulat sempurna seperti bola,” keluh Bebek.
“Bek, Bek, kamu akan berdosa jika berbuat jahat, bukan karena bertelur. Sekarang, aku bertanya kepada Kura-kura, bagaimana bentuk telurmu, Kura-kura? Lonjong juga kan? Mengapa kalian tidak melihat telur Kura-kura sehingga mau-maunya dikibuli Kura-kura?” tanya Dewa Utama.
Lhoooo, telur Kura-kura juga lonjong??? Ah ternyata semua hewan petelur merasa dibebani rasa berdosa sehingga lupa melihat bentuk telur Kura-kura. Suasana menjadi riuh oleh cemoohan kepada Kura-kura, namun ada juga yang menyesali diri atas kebodohan mereka ditipu Kura-kura. Akhirnya semua serentak memohon agar Kura-kura ditangkap dan dihukum. Dewa Utamapun segera bersabda.
“Hai Kura-kura, karena kau telah menipu semua hewan petelur, maka kamu harus dihukum,” seru Dewa Utama. Segenap hadirin bertepuk riuh mendukung dihukumnya si Kura-kura.
“Agar Kura-kura tak bisa menipu lagi, sejak sekarang kamu menjadi binatang bisu dan ompong. Kamu hanya bisa makan dari perkerasan moncongmu. Kamu juga akan menggendong rumah cangkangmu yang terus bertambah berat dan keras selama 200 tahun sampai kamu bosan hidup. Beda dengan siput yang cangkangnya tipis dan enteng,” kutuk Dewa Utama.
Maka segenap binatang petelur akhirnya bertepuk tangan dan tidak lagi dendam kepada Kura-kura. Mereka pun bersedia bertelur lagi. Adapun sejak itu Kura-kura tidak memiliki gigi. Ia hidup dengan terus menggendong rumah cangkangnya yang keras dan berat di punggungnya. Itulah hukuman dera atas dosanya menipu seluruh hewan petelur.
NONI
Di hutan belantara, beberapa binatang kecil dan seekor Buaya sedang berkumpul. Binatang kecil itu Ayam, Bebek, Katak dan para Burung. Mereka secara tidak sengaja bisa saling berjumpa. Jumpa mitra ini kian ramai manakala semuanya ingin saling berbagi cerita. Lama-lama mereka tertarik pada cerita yang disampaikan si Bebek.
Kata Bebek, selama hidupnya, ia tidak pernah bertelur dengan bentuk bulat seperti bola. “Bentuk telurku bulat telur, kan? Sama seperti telur Ayam dan burung,” kata Bebek pada teman-temannya. “Tetapi kemarin aku bertemu dengan Kura-kura. Ia meyakinkanku bahwa telurku sebenarnya bulat sempurna seperti bola. Tetapi karena aku tidak hati-hati melepas telurku, telurnya jatuh terlalu tinggi hingga menjadi lonjong,” kata Bebek sambil meringis.
Hewan-hewan lainnya tersenyum kecut mendengarnya. Ada-ada saja si Kura-kura. Tetapi tiba-tiba Buaya penasaran. Ia ingin melihat, apakah telurnya yang dipendam di pasir dekat sungai, juga berbentuk lonjong? Merekapun sepakat ingin melihat telur Buaya. Maka berangkatlah mereka ke pendaman telur Buaya. Setelah digali, terlihat telur Buaya pun bentuknya lonjong.
“Hai Buaya, kau pun tak hati-hati melepas telurmu. Padahal sudah kau jatuhkan di pasir yang empuk,” kata Bebek. Suasana jadi riuh oleh pendapat masing-masing. Katak akhirnya nimbrung: “Makanya kalau bertelur di air saja seperti aku. Telurku bulat sempurna!” seru Katak.
“Tetapi telur-telurmu menggumpal jadi satu seperti telur ikan, bahkan tak tampak bulat, malah kayak penyakit kusta,” ejek si Ayam. Semua yang mendengar jadi tertawa terbahak-bahak. Akhirnya Bebek mengajak ke sarang Cecak untuk melihat bentuk telur Cecak. Merekapun bertamu ke sarang Cecak.
“Cak, Cak, bolehkah kami melihat telurmu?” tanya Bebek.
“Boleh, telurku kecil-kecil putih, tak berwarna seperti permen, bagus ya, kecil-kecil lonjong?” pamer si Cecak.
“Wah benar, telur Cecak juga lonjong. Artinya Kura-kura penipu. Telur apapun, bentuknya selalu lonjong. Tuhan memberi keistimewaan kepada hewan petelur bahwa beginilah bentuk telur,” seru Bebek.
“Baiknya kita beri pelajaran buat si Kura-kura, ayo kita serbu ramai-ramai,” seru semua hewan disana. Maka merekapun buru-buru mencari Kura-kura untuk dihajar.
Melihat tamu menyerbu rumahnya, Kura-kura jadi kaget. Pada saat itu ia sedang bercengkerama dengan Siput. Siput menangis karena merasa bahwa ia terlalu berat menyangga rumah cangkangnya. Siput menyesal sekali, mengapa harus punya rumah di punggungnya sehingga ia tak bisa berlari cepat. Kawanan Bebek jadi ikut prihatin atas nasib Siput.
“Tetapi Put, rumah itu membuatmu tak kedinginan jika hujan dan tak kepanasan di siang terik,” hibur Buaya.
“Benar, Put. Coba jika kau jatuh dan rumahmu pecah, lendirmu malah tampak menjijikkan dan kau jadi sakit, kan?” sela Ayam.
“Tetapi tak ada yang mau berteman denganku. Apalagi Bebek, ia selalu memakanku jika melihat rumahku remuk,” kata Siput.
“Soalnya lendirmu kan vitamin buat telurku, maka rumahmu jangan sampai pecah, kalau rumahmu utuh, aku kan temanmu,” bela Bebek.
Tiba-tiba Bebek ingat bahwa ia datang untuk menghajar Kura-kura. “Oh iya, kami kesini mau membalas penipuanmu kepadaku, Kura-Kura. Kau bohong, semua telur berbentuk lonjong,” kata Bebek langsung menendang Kura-kura. Tetapi apa yang terjadi? Kaki Bebek kesakitan menendang punggung Kura-kura. “Aduh,” teriak Bebek menahan rasa sakit kakinya. Melihat Bebek kesakitan, Ayam jadi marah. Ia pun ikut menendang Kura-kura dengan kakinya. Ah, ayam kesakitan juga.
“Heee, kalian mau apa? Menghajarku? Nggak bisaaaa! Aku punya rumah yang kuat dan keras, hahahaha… kena batunya lu,” ejek Kura-kura. “He Buaya, kau juga mau menghajarku? Ingat, gigimu tak sanggup meremuk rumahku. Kalau kau mau menelanku, perutmu akan sakit karena aku tetap hidup bersembunyi di rumahku, lalu kugigit jantungmu sampai kau mati,” ancam Kura-kura. Buaya jadi takut, juga burung-burung dan Cecak. Kura-kura semakin sombong dan kian senang bisa menggoda para tamunya. Niatnya kian besar untuk menakut-nakuti mereka.
“He kalian binatang petelur, dosa kalian sangat besar karena tidak bisa mengeluarkan telurmu menjadi bulat sempurna!” seru Kura-kura.
“Bohong!!!”
“Buktinya, rebuslah telurmu. Lihat, kuning telurmu bulat sempurna, kan?” seru Kura-kura. Segenap hewan petelur saling berpandangan membenarkan dalih Kura-kura.
“Pulanglah, mohon ampunlah semua dosa-dosamu. Tanyakan pada dewamu, bagaimana caranya agar telurmu bisa keluar dengan tetap bulat sempurna. Apalagi kau Ayam, dosamu yang paling besar karena kau tak pernah bisa menjawab pertanyaan tentang mana yang lebih dulu ada, ayam atau telur. Sudah sana. Pergi semua!” usir Kura-kura angkuh.
Dengan tertunduk malu, mereka pun pulang ke kandang masing-masing. Mereka sangat sedih menjadi makhluk yang penuh dosa karena tidak mampu mengeluarkan telur mereka secara bulat sempurna. Semalaman mereka tak bisa tidur memikirkan dosa-dosa seperti yang dikatakan Kura-kura.
Pada pagi harinya, Ayam-ayam pada berkumpul. Mereka membicarakan dosa yang ditanggung. Tak seekor Ayam betina pun yang mau menanggung dosa. Maka akhirnya mereka sepakat untuk tidak bertelur. Jika terpaksa bertelur, maka telur yang keluar langsung dithotholi dan dipecah agar dosa mereka tidak kian besar. Maka Ayam memulai demo anti bertelur. Telur yang ada dipecahi, telur yang baru keluar langsung diremuk-remuk.
Melihat hal itu, Bebek menirunya dan bahkan semua binatang petelur, memecahkan sendiri semua telur-telur mereka. Demo anti bertelur dan anti telur merebak pada seluruh satwa hewan petelur. Tak satupun binatang bertelur yang tidak memusnahkan telur-telur mereka. Tidaklah heran jika bumi kehilangan telur.
Pasar-pasar dan toko-toko kekosongan telur. Manusia kebingungan, mengapa semua telur selalu pecah? Melihat kegegeran di bumi, Dewa Bumi jadi resah. Ia turun ke bumi untuk mencari tahu penyebabnya, kemudian melaporkan masalah ini kepada Dewa Utama. Para Peri ditugaskan untuk mencari dalangnya. Akhirnya diketahui bahwa Kura-kuralah yang memanas-manasi keyakinan hewan-hewan itu.
Para Dewa dan Peri lalu menemui semua hewan-hewan petelur. Di sebuah padang rumput yang luas, segenap binatang petelur diharuskan hadir. Dewa Utama akan memberi amanat penting. Kura-kura juga hadir disana. Setelah semua berkumpul, Peri Hutan membuka acara, “Wahai rakyatku, Dewa Utama akan memberitahu mengapa telur kalian lonjong,” kata Peri Hutan dengan manis.
Dewa Utama yang jarang menemui hewan-hewan ini maju ke depan. “Wahai rakyatku, Kudengar si Ayam bingung, yang lebih dulu ada, telur atau Ayam? Jawabannya, kalian itu hasil evolusi dari Dinosaurus yang lalu menjelma menjadi berbagai jenis hewan. Ada yang berkaki dua, ada yang empat, ada yang punya ekor, ada yang punya sayap, ada yang beranak, ada yang bertelur dan ada yang berpunggung cangkang seperti Siput. Sama seperti Anthurium, bisa beranak menjadi Huckery, bisa Jenmani, bisa Gelombang Cinta, Gelombang Tsunami atau Garuda, Keris dsb.”
“Tetapi, mengapa telur kami semuanya lonjong,” protes Buaya.
“Sebenarnya telur kalian berbentuk bulat seperti bola. Waktu keluar kena angin, cangkang telur mulai terlapisi kapur, lalu didorong ke luar menjadi lonjong agar tidak menggelinding sehingga mudah dierami dengan aman. Emangnya kalian ingin telurnya dibentuk seperti durian? Bisa-bisa bokong kalian tertusuk duri-duri tajam,” terang Dewa Utama yang disambut egal-egol Bebek pura-pura mengerami durian. Semua hadirin tertawa terpingkal-pingkal melihat ulah Bebek.
“Jadi, kalian mau telurnya dibentuk seperti durian?” tanya Dewa Utama.
“Tidakkkkkkk…,” jawab semua binatang petelur serentak. Namun si Bebek langsung bertanya lagi, “Tetapi kami berdosa tidak bisa membentuk telur kami menjadi bulat sempurna seperti bola,” keluh Bebek.
“Bek, Bek, kamu akan berdosa jika berbuat jahat, bukan karena bertelur. Sekarang, aku bertanya kepada Kura-kura, bagaimana bentuk telurmu, Kura-kura? Lonjong juga kan? Mengapa kalian tidak melihat telur Kura-kura sehingga mau-maunya dikibuli Kura-kura?” tanya Dewa Utama.
Lhoooo, telur Kura-kura juga lonjong??? Ah ternyata semua hewan petelur merasa dibebani rasa berdosa sehingga lupa melihat bentuk telur Kura-kura. Suasana menjadi riuh oleh cemoohan kepada Kura-kura, namun ada juga yang menyesali diri atas kebodohan mereka ditipu Kura-kura. Akhirnya semua serentak memohon agar Kura-kura ditangkap dan dihukum. Dewa Utamapun segera bersabda.
“Hai Kura-kura, karena kau telah menipu semua hewan petelur, maka kamu harus dihukum,” seru Dewa Utama. Segenap hadirin bertepuk riuh mendukung dihukumnya si Kura-kura.
“Agar Kura-kura tak bisa menipu lagi, sejak sekarang kamu menjadi binatang bisu dan ompong. Kamu hanya bisa makan dari perkerasan moncongmu. Kamu juga akan menggendong rumah cangkangmu yang terus bertambah berat dan keras selama 200 tahun sampai kamu bosan hidup. Beda dengan siput yang cangkangnya tipis dan enteng,” kutuk Dewa Utama.
Maka segenap binatang petelur akhirnya bertepuk tangan dan tidak lagi dendam kepada Kura-kura. Mereka pun bersedia bertelur lagi. Adapun sejak itu Kura-kura tidak memiliki gigi. Ia hidup dengan terus menggendong rumah cangkangnya yang keras dan berat di punggungnya. Itulah hukuman dera atas dosanya menipu seluruh hewan petelur.
NONI
Selasa, 07 April 2009
MERPATI PENGANTAR SURAT
MERPATI PENGANTAR SURAT
Di tepi sebuah sungai berdirilah sebuah pohon besar yang rimbun. Tiap malam burung-burung dari berbagai jenis datang untuk bertengger di sini. Biasanya mereka saling berbagi cerita. Ada yang bercerita tentang lomba Bebek terbang, ada cerita Kucing Idol, ada juga yang hanya mengeluh sayapnya sakit hingga terbangnya susah. Sesudah saling berbagai cerita mereka akan tidur dengan tenang hingga pagi harinya.
Malam itu bulan tak tampak di langit, sehingga gelapnya teramat gulita. Dari bawah pohon, banyaknya burung di tangkai-tangkai dahan tak kelihatan dari bawah. Namun burung-burung itu bisa melihat ketika datang dua orang pemburu yang kecapaian. Para pemburu tidak mengira ada banyak burung di pohon itu. Karena kelelahan, kedua pemburu malahan tidur di bawah pohon dengan menggelar tikar.
Pagi harinya ketika bangun, mereka terkejut karena begitu banyak kotoran burung yang menempel di baju dan tubuh mereka. Tikar tidur pun penuh kotoran burung. Para pemburu kemudian menengok ke atas, tetapi tak dijumpai seekor burung pun karena burung-burung itu sudah pergi di pagi-pagi buta untuk mencari makan.
“Wah berarti di tiap malam banyak burung yang bertengger di pohon ini. Artinya besok kita bisa berburu disini tanpa harus kesana kemari,” kata pemburu yang besar.
“Ya benar, besok malam kita mengincar dari bawah pohon ini, sekarang kita pulang saja,” ajak pemburu yang berbadan kecil.
“Kita siapkan lampu-lampu yang terang, kalau perlu kita ajak penduduk kampung untuk membantu,” kata si badan besar.
Benar saja. Malam harinya ketika burung-burung sudah tidur, tiba-tiba begitu banyak lampu-lampu yang sangat terang dan menyoroti para burung yang sedang tidur. Para pemburu segera menembakkan pelurunya. Dalam sekejap, ratusan burung sudah jatuh dan mati. Penduduk kampung sangat gembira mendapat begitu banyak burung tanpa perlu berpayah-payah kesana-kemari.
Pada malam berikutnya para pemburu mengulang menembaki burung-burung yang tidur di pohon itu hingga 5 malam berturut-turut. Pada malam ke enam, tak satupun pemburu yang mendapatkan burung sebab para burung tak sudi hinggap disana. Burung-burung sudah hapal bahwa pohon itu sudah menjadi neraka, maka jangan sampai tidur di pohon rimbun itu.
Waktu berjalan. Para pemburu akhirnya sudah melupakan pohon itu. Paling hanya dua pemburu berbadan besar dan kecil yang terkadang masih suka melihat-lihat adakah burung di pohon rimbun itu. Burung-burung pun sebenarnya ingin berdatangan kembali, tetapi mereka masih takut. Para burung akhirnya membuat lomba, siapa yang berani kembali ke pohon itu. Ternyata burung Merpati mengajukan diri tidur di pohon itu.
Satu dua malam, beberapa Merpati ternyata tetap selamat tidur di pohon itu sampai pagi harinya. Ia mengabarkan kepada para burung lain bahwa di pohon itu sudah aman.
Namun beberapa burung-burung besar seperti Elang dan Burung Hantu merasa dendam kepada para pemburu sehingga bermaksud mencelakai para pemburu. Maka siang hari burung Elang mencabuti daun-daun beracun dan duri-duri tajam yang berasal dari batang berduri, lalu ditaburkan di sekitar pohon besar itu.
Maka pada suatu malam, dua pemburu itu melihat kelebetan para Merpati yang terbang menuju ke pohon rimbun. Dengan mengendap-endap, dua pemburu itu mengejar Merpati. Namun celaka, hanya beberapa saat berada di bawah pohon, dua pemburu merasa gatal-gatal karena terkena daun dan duri beracun. Semakin menggaruk badannya, gatal-gatal kian menusuk di sekujur tubuh.
Mereka tidak tahu bahwa semakin digaruk, virus gatal kian menyebar. Garukan yang keras membuat kulit terkelupas menjadi luka menganga. Ketika lukanya tercampur racun, rasa sakitnya luar biasa. Dua pemburu itu akhirnya mengerang-ngerang kesakitan. Kaki mereka tidak kuat lagi untuk berlari. Mereka yakin bahwa nyawa mereka tak dapat diselamatkan.
Agar penduduk kampung tahu persis tentang kejadian ini, maka pemburu berbadan besar kemudian mengeluarkan kertas dan pena. Sambil kesakitan, ia menceritakan kejadian ini lewat tulisannya kepada isterinya di kampung. Setelah menandatangani suratnya, iapun jatuh pingsan dan meninggal tak lama kemudian.
Burung-burung yang melihat kejadian itu bersorak girang. Meski Merpati juga senang pada balas dendam atas kerakusan manusia ini, namun Merpati merasa kasihan pada dua pemburu itu. Pagi harinya Merpati melihat sepucuk surat yang sempat ditulis oleh pemburu berbadan besar.
“Kasihan juga pemburu itu. Ia sempat menulis surat kepada isterinya, tetapi kapan orang kampung menemukan jenazah pemburu itu disini?” tanya Merpati kepada kawannya.
“Orang kampung sudah melupakan pohon rimbun ini. Mereka tak lagi pernah datang ke sini,” kata yang lain. Para burung itu akhirnya pergi.
Pada malam harinya burung-burung sudah berani datang ke pohon rimbun itu karena dua orang tokoh pemburunya sudah mati. Pada malam kedua, sudah lebih banyak burung-burung yang datang dan bermalam di pohon itu. Kawanan Merpati yang juga bermalam disana, mencium bau yang tidak sedap, tetapi bau itu kadang hilang ditelan angin.
Malam ketiga, Merpati jelas tak tahan mencium bau bangkai. Setelah diteliti, ternyata mayat kedua pemburu sudah dikerubungi cacing-cacing tanah. Bau bangkai sangat menyengat. Merpati tak tahan mencium bau bangkai disana. Burung-burung lain pun akhirnya juga tidak tahan.
Di pohon di dekatnya, beberapa Merpati akkhirnya berembug mencari pemecahan bagaimana ucara menghilangkan bau bangkai pemburu itu.
“Kita harus menguburkan pemburu itu, tetapi siapa yang bisa menggali tanahnya?” tanya salah satu Merpati.
“Kita minta bantuan kucing, mereka biasa menggali tanah,” jawab yang lain.
“Nggak bisa, mereka menggali tanah hanya mengubur kotorannya saja. Ingat, kucing itu binatang pemalas, tak punya pekerjaan kecuali mencuri ikan,” jawab Merpati putih lain.
“Buaya bisa, ia menggali tanah untuk memendam telurnya,” sahut yang lain.
“Jangan, ntar tidak dikubur, mayat itu malah ditelannya,” timpal Merpati lain.
“Kita harus bergerak cepat. Biasanya Burung Bangkai akan datang jika mencium bau mayat. Kasihan, pemburu itu nanti disergap kawanan Burung Bangkai.”
“Wah benar. Bagaimana ya? Sebenarnya yang paling baik adalah dikubur oleh manusia sendiri. Kenapa isterinya tidak mencari suaminya, ya?” tanya Merpati tua.
“Mungkin sudah mencari, tetapi tidak menemukan, karena mereka tidak datang ke pohon rimbun ini.’ Para Merpati saling kebingungan, bagaimana sebaiknya bertindak.
Tiba-tiba Peri Angin sudah berada di antara burung Merpati. Peri Angin juga risau melihat ada mayat yang tidak terurus dan mengganggu hidup para burung di pohon rimbun.
“Oh, Ibu Peri, terima kasih Ibu menyambangi kami para Merpati,” kata Merpati tertua.
“Wahai Merpati, ingatkah pemburu berbadan besar menulis surat kepada isterinya?” tanya Peri Angin.
“Benar Ibu Peri. Tetapi kami kan tidak sekolah, jadi tidak bisa membaca isi suratnya,” kata Merpati tua.
“Lho, kalaupun bisa baca, kalian nggak boleh membaca surat bukan milikmu. Tugas kalian adalah mengantar surat itu. Pemburu sudah mati, surat tak bisa bergerak sendiri. Satu-satunya yang tahu ada surat adalah kalian. Maka kalian yang kutugaskan mengantar surat itu. Bawalah dengan paruhmu ke kampung!” perintah Peri Angin.
“Baik Ibu Peri, dengan senag hati akan kami letakkan di rumah isterinya. Terima kasih Ibu Peri telah menugaskan kami, artinya kami nantinya akan menggunakan paruh kami untuk bekerja,” kata Merpati tua. Peri Angin tersenyum bangga pada Merpati yang sangat patuh sehingga berjanji untuk memberi kelebihan pada burung-burung Merpati.
Akhirnya kawanan Merpati membawa surat pemburu itu ke kampung. Bersama-sama mereka menutup hidung untuk mengambil surat yang berada di tangan mayat pemburu berbadan besar. Surat itu diambil dan langsung diterbangkan para Merpati.
Dengan beramai-ramai, kawanan Merpati membawa sepucuk surat pemburu ke kampung. Banyak orang kampung yang melihat iring-iringan kawanan Merpati yang mencari-cari sesuatu. Merpati melihat bahwa banyak orang yang berkumpul di suatu rumah. Ada yang tampak sedih, ada yang bingung, ada yang menangis dan ada yang berpikir keras.
Kawanan Merpati memastikan disitulah rumah dua orang pemburu karena agaknya keluarganya masih mencari sang pemburu. Para Merpati lalu hinggap di pagar rumah itu. Orang-orang yang berada disana terkejut dan heran, ada apa Merpati hinggap di pagar. Tiba-tiba salah seekor Merpati menjatuhkan sepucuk surat di halaman rumah.
Orang-orang yang heran akhirnya sadar bahwa kawanan Merpati datang membawa sepucuk surat. Isteri pemburu segera mengambil surat lalu membacanya. Ia langsung menangis meraung-raung sehingga orang-orang di rumah kaget. Mereka lalu berebut membaca surat sang pemburu. Kabar itu segera menyebar ke seluruh kampung. Akhirnya mereka berramai-ramai pergi ke pohon rimbun.
Burung-burung Merpati mengikuti penduduk kampung pergi ke arah pohon rimbum dari udara. Benar, dua mayat pemburu tergeletak disana dalam keadaan sudah membusuk. Dua mayat membusuk lalu diambil penduduk dan dikuburkan secara sewajarnya.
Di tepi sebuah sungai berdirilah sebuah pohon besar yang rimbun. Tiap malam burung-burung dari berbagai jenis datang untuk bertengger di sini. Biasanya mereka saling berbagi cerita. Ada yang bercerita tentang lomba Bebek terbang, ada cerita Kucing Idol, ada juga yang hanya mengeluh sayapnya sakit hingga terbangnya susah. Sesudah saling berbagai cerita mereka akan tidur dengan tenang hingga pagi harinya.
Malam itu bulan tak tampak di langit, sehingga gelapnya teramat gulita. Dari bawah pohon, banyaknya burung di tangkai-tangkai dahan tak kelihatan dari bawah. Namun burung-burung itu bisa melihat ketika datang dua orang pemburu yang kecapaian. Para pemburu tidak mengira ada banyak burung di pohon itu. Karena kelelahan, kedua pemburu malahan tidur di bawah pohon dengan menggelar tikar.
Pagi harinya ketika bangun, mereka terkejut karena begitu banyak kotoran burung yang menempel di baju dan tubuh mereka. Tikar tidur pun penuh kotoran burung. Para pemburu kemudian menengok ke atas, tetapi tak dijumpai seekor burung pun karena burung-burung itu sudah pergi di pagi-pagi buta untuk mencari makan.
“Wah berarti di tiap malam banyak burung yang bertengger di pohon ini. Artinya besok kita bisa berburu disini tanpa harus kesana kemari,” kata pemburu yang besar.
“Ya benar, besok malam kita mengincar dari bawah pohon ini, sekarang kita pulang saja,” ajak pemburu yang berbadan kecil.
“Kita siapkan lampu-lampu yang terang, kalau perlu kita ajak penduduk kampung untuk membantu,” kata si badan besar.
Benar saja. Malam harinya ketika burung-burung sudah tidur, tiba-tiba begitu banyak lampu-lampu yang sangat terang dan menyoroti para burung yang sedang tidur. Para pemburu segera menembakkan pelurunya. Dalam sekejap, ratusan burung sudah jatuh dan mati. Penduduk kampung sangat gembira mendapat begitu banyak burung tanpa perlu berpayah-payah kesana-kemari.
Pada malam berikutnya para pemburu mengulang menembaki burung-burung yang tidur di pohon itu hingga 5 malam berturut-turut. Pada malam ke enam, tak satupun pemburu yang mendapatkan burung sebab para burung tak sudi hinggap disana. Burung-burung sudah hapal bahwa pohon itu sudah menjadi neraka, maka jangan sampai tidur di pohon rimbun itu.
Waktu berjalan. Para pemburu akhirnya sudah melupakan pohon itu. Paling hanya dua pemburu berbadan besar dan kecil yang terkadang masih suka melihat-lihat adakah burung di pohon rimbun itu. Burung-burung pun sebenarnya ingin berdatangan kembali, tetapi mereka masih takut. Para burung akhirnya membuat lomba, siapa yang berani kembali ke pohon itu. Ternyata burung Merpati mengajukan diri tidur di pohon itu.
Satu dua malam, beberapa Merpati ternyata tetap selamat tidur di pohon itu sampai pagi harinya. Ia mengabarkan kepada para burung lain bahwa di pohon itu sudah aman.
Namun beberapa burung-burung besar seperti Elang dan Burung Hantu merasa dendam kepada para pemburu sehingga bermaksud mencelakai para pemburu. Maka siang hari burung Elang mencabuti daun-daun beracun dan duri-duri tajam yang berasal dari batang berduri, lalu ditaburkan di sekitar pohon besar itu.
Maka pada suatu malam, dua pemburu itu melihat kelebetan para Merpati yang terbang menuju ke pohon rimbun. Dengan mengendap-endap, dua pemburu itu mengejar Merpati. Namun celaka, hanya beberapa saat berada di bawah pohon, dua pemburu merasa gatal-gatal karena terkena daun dan duri beracun. Semakin menggaruk badannya, gatal-gatal kian menusuk di sekujur tubuh.
Mereka tidak tahu bahwa semakin digaruk, virus gatal kian menyebar. Garukan yang keras membuat kulit terkelupas menjadi luka menganga. Ketika lukanya tercampur racun, rasa sakitnya luar biasa. Dua pemburu itu akhirnya mengerang-ngerang kesakitan. Kaki mereka tidak kuat lagi untuk berlari. Mereka yakin bahwa nyawa mereka tak dapat diselamatkan.
Agar penduduk kampung tahu persis tentang kejadian ini, maka pemburu berbadan besar kemudian mengeluarkan kertas dan pena. Sambil kesakitan, ia menceritakan kejadian ini lewat tulisannya kepada isterinya di kampung. Setelah menandatangani suratnya, iapun jatuh pingsan dan meninggal tak lama kemudian.
Burung-burung yang melihat kejadian itu bersorak girang. Meski Merpati juga senang pada balas dendam atas kerakusan manusia ini, namun Merpati merasa kasihan pada dua pemburu itu. Pagi harinya Merpati melihat sepucuk surat yang sempat ditulis oleh pemburu berbadan besar.
“Kasihan juga pemburu itu. Ia sempat menulis surat kepada isterinya, tetapi kapan orang kampung menemukan jenazah pemburu itu disini?” tanya Merpati kepada kawannya.
“Orang kampung sudah melupakan pohon rimbun ini. Mereka tak lagi pernah datang ke sini,” kata yang lain. Para burung itu akhirnya pergi.
Pada malam harinya burung-burung sudah berani datang ke pohon rimbun itu karena dua orang tokoh pemburunya sudah mati. Pada malam kedua, sudah lebih banyak burung-burung yang datang dan bermalam di pohon itu. Kawanan Merpati yang juga bermalam disana, mencium bau yang tidak sedap, tetapi bau itu kadang hilang ditelan angin.
Malam ketiga, Merpati jelas tak tahan mencium bau bangkai. Setelah diteliti, ternyata mayat kedua pemburu sudah dikerubungi cacing-cacing tanah. Bau bangkai sangat menyengat. Merpati tak tahan mencium bau bangkai disana. Burung-burung lain pun akhirnya juga tidak tahan.
Di pohon di dekatnya, beberapa Merpati akkhirnya berembug mencari pemecahan bagaimana ucara menghilangkan bau bangkai pemburu itu.
“Kita harus menguburkan pemburu itu, tetapi siapa yang bisa menggali tanahnya?” tanya salah satu Merpati.
“Kita minta bantuan kucing, mereka biasa menggali tanah,” jawab yang lain.
“Nggak bisa, mereka menggali tanah hanya mengubur kotorannya saja. Ingat, kucing itu binatang pemalas, tak punya pekerjaan kecuali mencuri ikan,” jawab Merpati putih lain.
“Buaya bisa, ia menggali tanah untuk memendam telurnya,” sahut yang lain.
“Jangan, ntar tidak dikubur, mayat itu malah ditelannya,” timpal Merpati lain.
“Kita harus bergerak cepat. Biasanya Burung Bangkai akan datang jika mencium bau mayat. Kasihan, pemburu itu nanti disergap kawanan Burung Bangkai.”
“Wah benar. Bagaimana ya? Sebenarnya yang paling baik adalah dikubur oleh manusia sendiri. Kenapa isterinya tidak mencari suaminya, ya?” tanya Merpati tua.
“Mungkin sudah mencari, tetapi tidak menemukan, karena mereka tidak datang ke pohon rimbun ini.’ Para Merpati saling kebingungan, bagaimana sebaiknya bertindak.
Tiba-tiba Peri Angin sudah berada di antara burung Merpati. Peri Angin juga risau melihat ada mayat yang tidak terurus dan mengganggu hidup para burung di pohon rimbun.
“Oh, Ibu Peri, terima kasih Ibu menyambangi kami para Merpati,” kata Merpati tertua.
“Wahai Merpati, ingatkah pemburu berbadan besar menulis surat kepada isterinya?” tanya Peri Angin.
“Benar Ibu Peri. Tetapi kami kan tidak sekolah, jadi tidak bisa membaca isi suratnya,” kata Merpati tua.
“Lho, kalaupun bisa baca, kalian nggak boleh membaca surat bukan milikmu. Tugas kalian adalah mengantar surat itu. Pemburu sudah mati, surat tak bisa bergerak sendiri. Satu-satunya yang tahu ada surat adalah kalian. Maka kalian yang kutugaskan mengantar surat itu. Bawalah dengan paruhmu ke kampung!” perintah Peri Angin.
“Baik Ibu Peri, dengan senag hati akan kami letakkan di rumah isterinya. Terima kasih Ibu Peri telah menugaskan kami, artinya kami nantinya akan menggunakan paruh kami untuk bekerja,” kata Merpati tua. Peri Angin tersenyum bangga pada Merpati yang sangat patuh sehingga berjanji untuk memberi kelebihan pada burung-burung Merpati.
Akhirnya kawanan Merpati membawa surat pemburu itu ke kampung. Bersama-sama mereka menutup hidung untuk mengambil surat yang berada di tangan mayat pemburu berbadan besar. Surat itu diambil dan langsung diterbangkan para Merpati.
Dengan beramai-ramai, kawanan Merpati membawa sepucuk surat pemburu ke kampung. Banyak orang kampung yang melihat iring-iringan kawanan Merpati yang mencari-cari sesuatu. Merpati melihat bahwa banyak orang yang berkumpul di suatu rumah. Ada yang tampak sedih, ada yang bingung, ada yang menangis dan ada yang berpikir keras.
Kawanan Merpati memastikan disitulah rumah dua orang pemburu karena agaknya keluarganya masih mencari sang pemburu. Para Merpati lalu hinggap di pagar rumah itu. Orang-orang yang berada disana terkejut dan heran, ada apa Merpati hinggap di pagar. Tiba-tiba salah seekor Merpati menjatuhkan sepucuk surat di halaman rumah.
Orang-orang yang heran akhirnya sadar bahwa kawanan Merpati datang membawa sepucuk surat. Isteri pemburu segera mengambil surat lalu membacanya. Ia langsung menangis meraung-raung sehingga orang-orang di rumah kaget. Mereka lalu berebut membaca surat sang pemburu. Kabar itu segera menyebar ke seluruh kampung. Akhirnya mereka berramai-ramai pergi ke pohon rimbun.
Burung-burung Merpati mengikuti penduduk kampung pergi ke arah pohon rimbum dari udara. Benar, dua mayat pemburu tergeletak disana dalam keadaan sudah membusuk. Dua mayat membusuk lalu diambil penduduk dan dikuburkan secara sewajarnya.
KLONING DI PLANET OBIYOZU
KLONING DI PLANET OBIYOZU
Planet Obiyozu adalah planet tanpa emosi. Artinya, penghuninya hidup hanya untuk mencari ilmu, tanpa perlu berteman, tanpa perlu punya anak atau ingin makan enak. Makannya hanya satu jenis berupa satu-satunya buah yang tumbuh, yakni apel emas. Hanya ada satu dewa yang bisa menjelajahinya, yakni Dewa Utama. Dia adalah ketua para dewa-dewa dan peri-peri yang bekerja untuk kemakmuran bumi.
Namun Dewa Utama belum pernah mencoba hadir di planet Obiyozu. Maklum, planet ini terletak paling ujung dari alam raya, jauh sekali. Andai didatangi, diperlukan waktu kisaran 1 tahun untuk sampai kesana dengan menggunakan kekuatan violet sinar matahari. Maka di planet Obiyozu ini tidak diketahui adakah dengung kehidupan disana.
Pada suatu hari di planet istana Dewa, Dewa Utama dan penghuni istana diundang oleh Dewa Bumi. Dia ingin mempresentasikan penemuan hasil penelitian geologinya di planet bumi. Dengan sangat percaya diri Dewa Bumi membacakan thesisnya.
Dewa Bumi berpidato, “Planet bumi berdiri karena disangga gunung, seperti tiang menyangga bangunan istana. Bumi ini sebenarnya berbentuk bulat. Poros buminya mencapai ribuan km. Di bagian dalam bumi berisi air. Airnya keluar lewat lubang gunung, lalu mengalir ke dataran rendah membentuk lautan.” demikian thesis Dewa Bumi.
Mendengar teori ini, Peri Gunung menyanggah, “Wahai Dewa Bumi, saya Peri Gunung. Andai benar penelitian ini, mengapa gunung-gunung yang meletus tidak mengeluarkan air, tetapi magma panas?” tanya Peri Gunung.
“Setiap hari airnya sudah keluar dari gunung. Tetapi di saat gunung meletus, yang keluar adalah hawa panas dari dalam perut bumi. Jika digali, panas di dalam perut bumi bisa membentuk berbagai barang tambang termasuk magma. Bisa juga menjadi permata atau BBM.”
“Apa itu BBM?” tanya Peri Hutan.
“BBM adalah bahan bakar minyak agar jika manusia mau masak tidak memakai kayu hutan, sehingga hutan-hutanmu akan terlindungi, Peri Hutan!” jawab Dewa Bumi. Setelah tidak ada interupsi lagi, Dewa Bumi meneruskan ceramahnya.
“Karena manusia masih suka bertani, aku akan mohon kepada Dewa Utama untuk turun ke bumi. Aku ingin punya anak dan mendidik anakku agar menjadi manusia cerdas. Lalu mendirikan pabrik dari barang tambang untuk membangun dunia modern. Aku tak sabar ingin melihat manusia bisa membuat pesawat terbang dan kapal selam,” kata Dewa Bumi.
Mendengar uraian dan keinginan Dewa Bumi, Dewa Utama sangat terkejut. Sebenarnya Dewa Utama memang sudah memprogram demikian. Namun siapa yang akan mengganti kedudukan Dewa Bumi di istana Dewa? Dengan cepat Dewa Bumi mengusulkan agar Dewa Ilmu mau menggantikan kedudukan Dewa Bumi.
Kini Dewa Ilmu dibebani tugas mengembangkan jagad ilmu pengetahuan di istana Dewa. Dewa Ilmu sangat rajin dan lebih pandai dari pada Dewa Bumi. Ia menciptakan matematika, tehnologi komunikasi dan peralatan perang. Hasil penelitiannya diberikan kepada Dewa Bumi untuk dipergunakan orang bumi. Saat ini perhatiannya sedang meneliti berbagai tehnologi menuju planet-planet lain dan senjata nuklir apabila diperlukan perang atau menyerang dan diserang planet lain.
Kemajuan ilmu istana yang sangat pesat sejak dipegang Dewa Ilmu membuat Dewa Bumi tak mau kalah. Anak-anaknya dipecut segera membangun industri minyak, menciptakan listrik dan mengembangkan komputer. Maka dengan cepat bumi menjadi sangat modern.
Kemajuan ilmu dan tehnologi ini ternyata meresahkan Dewa Utama. Mengapa? Sebab dikhawatirkan banyak rakyat di bumi bisa hangus oleh ledakan nuklir. Maka pada suatu ketika Dewa Utama mengadili Dewa Bumi dan Dewa Ilmu.
“Kalian sukses menciptakan ilmu pengetahuan dan dunia modern. Namun aku khawatir, bumi bisa kiamat akibat perang nuklir antar manusia,” kata Dewa Utama.
“Itu salah Dewa Ilmu yang menciptakan senjata. Bumi kubuat demikian modern, namun Dewa Ilmu menyuburkan perang dengan nuklir ciptaannya. Lihat, Nagasaki dan Hiroshima hancur dilanda bom atom. Banyak anak cucuku juga menjadi korban peluru nyasar,” kata Dewa Bumi ketus.
“Tetapi tanpa senjata, bumi tak dapat bertahan jika diserang planet lain!” kata Dewa Ilmu.
“Apa? Planet lain macam mana? Tidak ada! Kamu terlalu mengada-ada!” kata Dewa Bumi dengan marah. Perang mulut antara Dewa Bumi dan Dewa Ilmu akhirnya pecah. Namun Dewa Bumi segera bersembunyi di balik ketiak Dewa Utama. Maklum, Dewa Ilmu punya senjata pemusnah yang amat mematikan.
Akhirnya Dewa Utama bersabda, “Sebenarnya aku akan menugaskan Dewa Ilmu untuk mencari planet-planet lain sebagai cadangan pengganti bumi. Tetapi karena aku melihat Dewa Ilmu mempunyai kesalahan besar menciptakan senjata pemusnah, maka Dewa Ilmu harus dihukum,” kata Dewa Utama.
“Aku usulkan agar Dewa Ilmu dibuang ke planet Obiyozu,” usul Dewa Bumi.
Para Dewa yang menjadi saksi kesalahan Dewa Ilmu bersorak menyetujui usul itu. “Buang Dewa Ilmu…, Buang Dewa Ilmu…,” demikian teriak para dewa dan para peri.
Pada akhirnya Dewa Utama ikut menyetujuinya. Setelah kaki tangan Dewa Ilmu diborgol dengan rantai dewa, Dewa Utama membawa Dewa Ilmu menuju planet Obiyozu. Setahun kemudian, mereka baru sampai di Obiyozu dan Dewa Ilmu ditinggal begitu saja oleh Dewa Utama.
Ternyata planet ini sungguh enak. Suasananya sama dengan di Istana Dewa. Agaknya Obiyozu merupakan pecahan planet dewa yang melayang di dirgantara dan kini menetap di ujung alam raya. Persis seperti yang diduga, selama hidup di planet Obiyozu, Dewa Ilmu tak punya keinginan apapun kecuali terus belajar dan belajar.
Hidup sendiri tak membuat Dewa Ilmu kesepian. Belajar adalah kawan sejatinya. Menciptakan berbagai ilmu adalah karyanya. Jadi Dewa Ilmu tak ambil pusing, apakah ia hidup di bumi, di planet dewa atau di planet Obiyozu. Pikirannya hanya terpusat pada ilmu pengetahuan. Ia membuat banyak alat-alat penerbangan untuk pergi ke planet lain. Ia juga menyiapkan senjata ampuh apabila diperlukan menyerang planet lain. Agar pekerjaannya cepat selesai, maka ia perlu teman untuk membuat roket yang canggih.
Padahal ia hidup sendiri. Bagaimana cara mencari teman? Ternyata tak sulit. Dewa Ilmu mengembangkan kloning, lalu ia menciptakan dewa-dewa hasil kloning dirinya sendiri sebanyak 200 dewa. Maka penghuni planet Obiyozu bertambah 200 dewa kembarannya. Semua kembaran Dewa Ilmu itu dikendalikannya langsung sehingga kehidupan planet Obiyozu aman tenteram.
Pada suatu hari Dewa Ilmu bermaksud pamer atas hasil jerih payahnya selama diasingkan di planet Obiyozu. Ia ingin pergi ke bumi dan Istana Dewa. Ia menciptakan piring terbang UFO. Dua ratus dewa kembaran hasil kloningnya diajak keliling alam raya hingga sampai ke bumi. Dengan kepandaiannya, UFO ciptaannya bisa menembus bumi tak lebih dari sebulan.
Ketika menginjak kaki di bumi, 200 dewa itu tiba-tiba merasakan berbagai keinginan, misalnya ingin makan buah jeruk, ingin memburu babi hutan, ingin naik becak, ke gedung pencakar langit atau ingin bermain gamelan di sekaten sambil berdansa. Bahkan ada kembaran yang ingin berkenalan dengan gadis-gadis cantik. Tekad ini sangat kuat, sehingga ketika Dewa Ilmu akan pulang ke planet Obiyozu, tak satupun dari 200 dewa kembarannya yang bersedia ikut pulang. Mereka bahkan melarikan diri dari Dewa Ilmu dan bertekad hidup di bumi sebagai manusia.
Dewa Ilmu sangat sedih. Ia baru ingat bahwa hidup di planet Obiyozu tak punya emosi dan keinginan apapun. Ketika kaki menginjak bumi, maka sejuta emosi akan hidup subur di benak penghuninya, termasuk 200 dewa kembarannya. Dengan kecewa Dewa Ilmu pulang ke istana Dewa, lalu mengadukan masalahnya pada Dewa Utama. Mendengar laporan Dewa Ilmu, Dewa Utama langsung menangis tersedu-sedu.
“Aduh Paduka Dewa Utama, apa sebab Paduka sangat sedih???” tanya Dewa Ilmu.
“Lhadallah Dewa Ilmu, kau telah menyebarkan 200 dewa kloning dirimu di bumi. Artinya, bumi akan penuh dengan perang disana-sini karena mereka adalah para ilmuwan yang bisa menciptakan senjata tetapi tak punya perasaan. Merekalah nanti yang akan menjadi komandan perang. Mereka akan tercipta menjadi seperti Iman Samudra, si penyebar teror dan ada yang menjadi Presiden AS George Bush yang menyerang Irak.”
“Biar sajalah Paduka Dewa Utama, perang akan mengurangi jumlah penduduk bumi sehingga Dewi Sri tidak repot menciptakan padi,” jawab Dewa Ilmu.
Dewa Utama sangat marah oleh jawaban Dewa Ilmu. Kemarahan yang tak terkendali membuat semua ucapannya akan menjadi kenyataan. “Hai Dewa Ilmu, kamu memang pintar, tetapi kamu tak punya perasaan karena tega membunuh. Maka kamu harus dihukum menjadi manusia tolol yang hidup di bumi sekarang juga. Pergi kau manusia tolol!!!” seru Dewa Utama.
Seketika Dewa Ilmu hilang dari pandangan, lalu berubah menjadi asap yang turun ke bumi. Akhirnya Dewa Ilmu tak ingat lagi latar belakangnya dan hidup di bumi sebagai orang bodoh yang malas dan tak tahu apa-apa. Adapun 200 dewa clonningnya telah menjadi komandan-komandan perang di berbagai belahan dunia karena mereka bisa menciptakan senjata pamungkas. (noni)
Planet Obiyozu adalah planet tanpa emosi. Artinya, penghuninya hidup hanya untuk mencari ilmu, tanpa perlu berteman, tanpa perlu punya anak atau ingin makan enak. Makannya hanya satu jenis berupa satu-satunya buah yang tumbuh, yakni apel emas. Hanya ada satu dewa yang bisa menjelajahinya, yakni Dewa Utama. Dia adalah ketua para dewa-dewa dan peri-peri yang bekerja untuk kemakmuran bumi.
Namun Dewa Utama belum pernah mencoba hadir di planet Obiyozu. Maklum, planet ini terletak paling ujung dari alam raya, jauh sekali. Andai didatangi, diperlukan waktu kisaran 1 tahun untuk sampai kesana dengan menggunakan kekuatan violet sinar matahari. Maka di planet Obiyozu ini tidak diketahui adakah dengung kehidupan disana.
Pada suatu hari di planet istana Dewa, Dewa Utama dan penghuni istana diundang oleh Dewa Bumi. Dia ingin mempresentasikan penemuan hasil penelitian geologinya di planet bumi. Dengan sangat percaya diri Dewa Bumi membacakan thesisnya.
Dewa Bumi berpidato, “Planet bumi berdiri karena disangga gunung, seperti tiang menyangga bangunan istana. Bumi ini sebenarnya berbentuk bulat. Poros buminya mencapai ribuan km. Di bagian dalam bumi berisi air. Airnya keluar lewat lubang gunung, lalu mengalir ke dataran rendah membentuk lautan.” demikian thesis Dewa Bumi.
Mendengar teori ini, Peri Gunung menyanggah, “Wahai Dewa Bumi, saya Peri Gunung. Andai benar penelitian ini, mengapa gunung-gunung yang meletus tidak mengeluarkan air, tetapi magma panas?” tanya Peri Gunung.
“Setiap hari airnya sudah keluar dari gunung. Tetapi di saat gunung meletus, yang keluar adalah hawa panas dari dalam perut bumi. Jika digali, panas di dalam perut bumi bisa membentuk berbagai barang tambang termasuk magma. Bisa juga menjadi permata atau BBM.”
“Apa itu BBM?” tanya Peri Hutan.
“BBM adalah bahan bakar minyak agar jika manusia mau masak tidak memakai kayu hutan, sehingga hutan-hutanmu akan terlindungi, Peri Hutan!” jawab Dewa Bumi. Setelah tidak ada interupsi lagi, Dewa Bumi meneruskan ceramahnya.
“Karena manusia masih suka bertani, aku akan mohon kepada Dewa Utama untuk turun ke bumi. Aku ingin punya anak dan mendidik anakku agar menjadi manusia cerdas. Lalu mendirikan pabrik dari barang tambang untuk membangun dunia modern. Aku tak sabar ingin melihat manusia bisa membuat pesawat terbang dan kapal selam,” kata Dewa Bumi.
Mendengar uraian dan keinginan Dewa Bumi, Dewa Utama sangat terkejut. Sebenarnya Dewa Utama memang sudah memprogram demikian. Namun siapa yang akan mengganti kedudukan Dewa Bumi di istana Dewa? Dengan cepat Dewa Bumi mengusulkan agar Dewa Ilmu mau menggantikan kedudukan Dewa Bumi.
Kini Dewa Ilmu dibebani tugas mengembangkan jagad ilmu pengetahuan di istana Dewa. Dewa Ilmu sangat rajin dan lebih pandai dari pada Dewa Bumi. Ia menciptakan matematika, tehnologi komunikasi dan peralatan perang. Hasil penelitiannya diberikan kepada Dewa Bumi untuk dipergunakan orang bumi. Saat ini perhatiannya sedang meneliti berbagai tehnologi menuju planet-planet lain dan senjata nuklir apabila diperlukan perang atau menyerang dan diserang planet lain.
Kemajuan ilmu istana yang sangat pesat sejak dipegang Dewa Ilmu membuat Dewa Bumi tak mau kalah. Anak-anaknya dipecut segera membangun industri minyak, menciptakan listrik dan mengembangkan komputer. Maka dengan cepat bumi menjadi sangat modern.
Kemajuan ilmu dan tehnologi ini ternyata meresahkan Dewa Utama. Mengapa? Sebab dikhawatirkan banyak rakyat di bumi bisa hangus oleh ledakan nuklir. Maka pada suatu ketika Dewa Utama mengadili Dewa Bumi dan Dewa Ilmu.
“Kalian sukses menciptakan ilmu pengetahuan dan dunia modern. Namun aku khawatir, bumi bisa kiamat akibat perang nuklir antar manusia,” kata Dewa Utama.
“Itu salah Dewa Ilmu yang menciptakan senjata. Bumi kubuat demikian modern, namun Dewa Ilmu menyuburkan perang dengan nuklir ciptaannya. Lihat, Nagasaki dan Hiroshima hancur dilanda bom atom. Banyak anak cucuku juga menjadi korban peluru nyasar,” kata Dewa Bumi ketus.
“Tetapi tanpa senjata, bumi tak dapat bertahan jika diserang planet lain!” kata Dewa Ilmu.
“Apa? Planet lain macam mana? Tidak ada! Kamu terlalu mengada-ada!” kata Dewa Bumi dengan marah. Perang mulut antara Dewa Bumi dan Dewa Ilmu akhirnya pecah. Namun Dewa Bumi segera bersembunyi di balik ketiak Dewa Utama. Maklum, Dewa Ilmu punya senjata pemusnah yang amat mematikan.
Akhirnya Dewa Utama bersabda, “Sebenarnya aku akan menugaskan Dewa Ilmu untuk mencari planet-planet lain sebagai cadangan pengganti bumi. Tetapi karena aku melihat Dewa Ilmu mempunyai kesalahan besar menciptakan senjata pemusnah, maka Dewa Ilmu harus dihukum,” kata Dewa Utama.
“Aku usulkan agar Dewa Ilmu dibuang ke planet Obiyozu,” usul Dewa Bumi.
Para Dewa yang menjadi saksi kesalahan Dewa Ilmu bersorak menyetujui usul itu. “Buang Dewa Ilmu…, Buang Dewa Ilmu…,” demikian teriak para dewa dan para peri.
Pada akhirnya Dewa Utama ikut menyetujuinya. Setelah kaki tangan Dewa Ilmu diborgol dengan rantai dewa, Dewa Utama membawa Dewa Ilmu menuju planet Obiyozu. Setahun kemudian, mereka baru sampai di Obiyozu dan Dewa Ilmu ditinggal begitu saja oleh Dewa Utama.
Ternyata planet ini sungguh enak. Suasananya sama dengan di Istana Dewa. Agaknya Obiyozu merupakan pecahan planet dewa yang melayang di dirgantara dan kini menetap di ujung alam raya. Persis seperti yang diduga, selama hidup di planet Obiyozu, Dewa Ilmu tak punya keinginan apapun kecuali terus belajar dan belajar.
Hidup sendiri tak membuat Dewa Ilmu kesepian. Belajar adalah kawan sejatinya. Menciptakan berbagai ilmu adalah karyanya. Jadi Dewa Ilmu tak ambil pusing, apakah ia hidup di bumi, di planet dewa atau di planet Obiyozu. Pikirannya hanya terpusat pada ilmu pengetahuan. Ia membuat banyak alat-alat penerbangan untuk pergi ke planet lain. Ia juga menyiapkan senjata ampuh apabila diperlukan menyerang planet lain. Agar pekerjaannya cepat selesai, maka ia perlu teman untuk membuat roket yang canggih.
Padahal ia hidup sendiri. Bagaimana cara mencari teman? Ternyata tak sulit. Dewa Ilmu mengembangkan kloning, lalu ia menciptakan dewa-dewa hasil kloning dirinya sendiri sebanyak 200 dewa. Maka penghuni planet Obiyozu bertambah 200 dewa kembarannya. Semua kembaran Dewa Ilmu itu dikendalikannya langsung sehingga kehidupan planet Obiyozu aman tenteram.
Pada suatu hari Dewa Ilmu bermaksud pamer atas hasil jerih payahnya selama diasingkan di planet Obiyozu. Ia ingin pergi ke bumi dan Istana Dewa. Ia menciptakan piring terbang UFO. Dua ratus dewa kembaran hasil kloningnya diajak keliling alam raya hingga sampai ke bumi. Dengan kepandaiannya, UFO ciptaannya bisa menembus bumi tak lebih dari sebulan.
Ketika menginjak kaki di bumi, 200 dewa itu tiba-tiba merasakan berbagai keinginan, misalnya ingin makan buah jeruk, ingin memburu babi hutan, ingin naik becak, ke gedung pencakar langit atau ingin bermain gamelan di sekaten sambil berdansa. Bahkan ada kembaran yang ingin berkenalan dengan gadis-gadis cantik. Tekad ini sangat kuat, sehingga ketika Dewa Ilmu akan pulang ke planet Obiyozu, tak satupun dari 200 dewa kembarannya yang bersedia ikut pulang. Mereka bahkan melarikan diri dari Dewa Ilmu dan bertekad hidup di bumi sebagai manusia.
Dewa Ilmu sangat sedih. Ia baru ingat bahwa hidup di planet Obiyozu tak punya emosi dan keinginan apapun. Ketika kaki menginjak bumi, maka sejuta emosi akan hidup subur di benak penghuninya, termasuk 200 dewa kembarannya. Dengan kecewa Dewa Ilmu pulang ke istana Dewa, lalu mengadukan masalahnya pada Dewa Utama. Mendengar laporan Dewa Ilmu, Dewa Utama langsung menangis tersedu-sedu.
“Aduh Paduka Dewa Utama, apa sebab Paduka sangat sedih???” tanya Dewa Ilmu.
“Lhadallah Dewa Ilmu, kau telah menyebarkan 200 dewa kloning dirimu di bumi. Artinya, bumi akan penuh dengan perang disana-sini karena mereka adalah para ilmuwan yang bisa menciptakan senjata tetapi tak punya perasaan. Merekalah nanti yang akan menjadi komandan perang. Mereka akan tercipta menjadi seperti Iman Samudra, si penyebar teror dan ada yang menjadi Presiden AS George Bush yang menyerang Irak.”
“Biar sajalah Paduka Dewa Utama, perang akan mengurangi jumlah penduduk bumi sehingga Dewi Sri tidak repot menciptakan padi,” jawab Dewa Ilmu.
Dewa Utama sangat marah oleh jawaban Dewa Ilmu. Kemarahan yang tak terkendali membuat semua ucapannya akan menjadi kenyataan. “Hai Dewa Ilmu, kamu memang pintar, tetapi kamu tak punya perasaan karena tega membunuh. Maka kamu harus dihukum menjadi manusia tolol yang hidup di bumi sekarang juga. Pergi kau manusia tolol!!!” seru Dewa Utama.
Seketika Dewa Ilmu hilang dari pandangan, lalu berubah menjadi asap yang turun ke bumi. Akhirnya Dewa Ilmu tak ingat lagi latar belakangnya dan hidup di bumi sebagai orang bodoh yang malas dan tak tahu apa-apa. Adapun 200 dewa clonningnya telah menjadi komandan-komandan perang di berbagai belahan dunia karena mereka bisa menciptakan senjata pamungkas. (noni)
Senin, 23 Februari 2009
Serial Dewa-dewa - Merah Darah Rakyat Banteng
MERAH DARAH RAKYAT BANTENG
Padang rumput paling subur bernama Padang Eco selalu ramai dikunjungi semua binatang pemakan rumput. Rumputnya gemuk, panjang, gede-gede, hijau segar dan rasanya nikmat. Apalagi pemandangan disini juga sangat indah, bisa melihat nun jauh disana, tampak lautan biru. Adapun di bawah bukit kecil itu juga penuh dengan tanaman hijau, buah-buahan dan sayur mayur.
Rumput di Eco tak pernah habis. Tiap kali dilahap hewan-hewan, esok paginya sudah tumbuh lagi. Kian banyak hewan yang datang, rumputnya makin luas saja, tak pernah habis, tak pernah kering dan tak pernah gundul. Kabar ini tersebar di segala penjuru dunia, hingga banyak hewan yang datang untuk menikmati sedapnya rumput Padang Eco.
Rumput nikmat Padang Eco ini dinamakan Rumput Gajah. Kadang Gajah amat marah, rumput yang bukan makanan kesukaannya dinamai Rumput Gajah. Maklum Gajah lebih suka buah-buahan daripada rumput atau jerami. Seperti saat itu, didengarnya kawanan berbagai binatang sedang ramai makan siang di padang Eco. Termasuk kawanan Banteng yang rumahnya jauh di tengah hutan. Mereka kadang-kadang datang ke padang Eco untuk melahap nikmatnya rumput padang Eco.
“Aku suka makan disini karena Rumput Gajah-nya enak sekali, maklum rumputnya gemuk-gemuk dan gede-gede, persis seperti Pak Gajah. Andai rumputnya punya belalai, pasti lebih enak, kayak makan pizza ditambah es krim,” kata Banteng jantan yang gemuk. Gajah yang mendengar komentar Banteng merasa tersinggung karena rumput dikaitkan dengan belalainya.
Tetapi Gajah tidak berani mendamprat kawanan Banteng, maklum jumlah kawanan Gajah hanya se RT, sedangkan kawanan Banteng datang sekampung. Gajah-gajah itu kemudian menjauh dari kawanan Banteng dan pergi ke kubangan untuk berendam lumpur.
Pada suatu hari, musim kemarau tak juga berhenti. Hujan yang diharapkan datang, tak kunjung turun. Air sungai sudah kering, telaga berganti persawahan dan danaupun telah mengeras menjadi padang tanah tandus yang tanahnya pecah-pecah. Tidaklah heran jika padang rumput Eco yang subur itu lama-lama kian menipis. Padahal binatang yang datang disana kian banyak karena lumbung rumput di daerah lain sudah gundul klimis. Maka semua binatang hutan akhirnya menumpahkan harapan hidup pada rumput Eco.
Akhirnya rumput Eco tak mampu tumbuh cepat karena si pemakan lebih banyak dibanding pertumbuhannya. Dalam waktu tak lebih dari sebulan persediaan rumput Eco untuk pertama kalinya tak mampu mencukupi kebutuhan makan binatang hutan. Tiap pagi, Eco sudah penuh binatang yang takut tak kebagian rumput. Lama-lama rumput jadi rebutan, meningkat menjadi pertengkaran, lalu perang mulut hingga adu kekuatan.
Keadaan ini sangat meresahkan penduduk Eco. Perang antar binatang karena berebut rumput sudah sering terjadi. Hujan tak kunjung turun, Eco kian akrab dengan darah hasil perkelahian antar binatang. Rumput Eco jadi tak nikmat karena tercampur bau bangkai dari hewan-hewan yang kalah dihajar lawan.
Sebenarnya Gajah suka dengan keadaan ini. Ia masih bisa makan buah dan kini nama Rumput Gajah tak populer karena rumput Eco sudah kecil, kuning dan tidak enak dimakan. Eco juga kian sepi. Entah kemana binatang-binatang mencari makan. Kabarnya banyak hewan yang migrasi mencari kehidupan baru.
Sedangkan di tengah hutan, Banteng-banteng juga sudah kehabisan rumput. Mereka bermaksud pergi ke Padang Eco untuk mencari makan. “Kawan-kawan, karena rumput di rumah sudah habis, besok pagi kita pergi ke Padang Eco untuk mencari makan. Rumput Gajah disana nikmat, kan,” kata ketua Bantengnya. Maka di pagi-pagi buta, se kampung Banteng sudah berjalan beriringan. Siang harinya mereka sudah sampai. Betapa kaget kawanan Banteng mendapati Padang Eco nyaris sepi, hampir gundul dan bau bangkai.
“Wah, ini bahaya buat kita. Rumputnya habis, rasanya tak enak dan baunya busuk,” kata ketua Banteng. “Tetapi, jika kalian lapar, cobalah makan seadanya. Aku akan bertanya kepada Kerbau, apa yang terjadi disini,” kata Ketua Banteng. Kerbau yang ditanya menceritakan banyaknya perkelahian akibat rebutan rumput.
“Aduh kasihan, mengapa Peri Hujan tega banget, hampir setahun kita tak diberi hujan,” tanya Ketua Banteng kepada diri sendiri. Niatnya untuk mencari keadilan tiba-tiba muncul dari lubuk hatinya. Ia duduk termenung mencari cara agar Padang Eco kembali menjadi surga makanan segenap binatang hutan.
“Aku harus berbuat sesuatu, tetapi apa dan bagaimana, ya? Emangnya aku pahlawan,” pikir Ketua Banteng yang kian sedih tak bisa mencari solusinya. Pak Ketua Banteng tiba-tiba melihat bayangan Peri yang sedang melayang. Ia mengira bahwa Peri itu adalah Peri Hujan. Seketika ia berteriak memanggil.
“Wahai Ibu Peri, berhentilah disini sebentar, akan kulaporkan cerita hebat,” seru Banteng seadanya. Peri itu terkejut dipanggil seekor Banteng. Iapun berhenti dan mendekati Banteng. “Ada apa Banteng?” tanya Peri.
“Ibu Peri, tidakkah tergerak hatimu melihat Padang Eco berantakan dan bau busuk begini?” tanya Kerbau.
“Aku Peri Warna-warni, tugasku membuat warna agar bumi tidak hanya hitam putih seperti kamu. Aku tak mau ikut campur urusan tugas Peri Hutan. Nah, Banteng, cerita hebat apa yang mau kau sampaikan?” tanya Peri Warna-warni. Banteng yang ingin berbuat sesuatu bagi kesuburan padang Eco, tanpa takut melanjutkan usulnya.
“Rumah kami di tengah hutan kini berwarna coklat kering karena tak lagi ada rumput. Sejak sebulan kami tak kesini karena sibuk berdoa agar Peri Hujan mencurahkan airnya. Kami kesini mencari makan. Ternyata keadaannya sudah berubah. Dulu rumputnya segar nikmat, sekarang rumputnya kering dan bau busuk. Dulu makan disini sambil piknik. Sekarang siapa sudi melihat padang gundul? Wahai Ibu Peri, mengapa hatimu tidak tergerak untuk menjadikan padang hijau ini sebagai pertamanan dengan warna-warni bunga indah buatan Ibu Peri Warna-warni?” rayu Ketua Banteng.
“Padang Eco ini milik Peri Hutan, aku tak enak mencampuri urusannya,” jawab Peri Warna-warni. Banteng sgera menimpali, “Habis, Peri Hutan tak peduli, koq! Padang Eco sudah mati dan dibiarkan merana. Maka rawatlah Padang ini agar banyak pengunjungnya. Jadikan sebagai tempat wisata dengan bunga aneka warna,” rayu Banteng kembali.
Peri Warna-warni ragu-ragu. Di saat masih menimbang-nimbang, dari jauh tampak puluhan ribu Kuda Zebra dari Afrika akan hadir di Padang Eco. Zebra mendengar nikmatnya Padang Eco dimana rumputnya tak pernah mengering. Dengan penuh lapar di perutnya Zebra Afrikapun ingin merasakan rumput Eco. Ternyata rumput yang ada tinggal sedikit. Maka Zebra-zebra itu langsung menyerbu dan memakannya. Kawanan Banteng jadi terdesak, tetapi karena lapar, para Banteng tetap bertahan.
Rebutan rumput pun terjadi lagi. Gajah yang melihat dari kejauhan, rupanya timbul niat jahatnya. Akibat sering diejek tentang masalah nama Rumput Gajah, kawanan Gajah yang dendam kepada Banteng, ikut menyerbu. Bukan untuk ikut makan, ia bermaksud akan membalas dendam kepada Banteng-banteng itu. Zebra akan dipakai sebagai alat mengadu domba. Maka Bos Gajah membisiki raja Zebra. “Zebra, rumputnya sudah menipis. Bukankah rakyatmu masih puluhan ribu? Jika berbagi dengan Banteng, nanti keburu habis. Usir saja Bantengnya, mereka sudah makan sejak kemarin!” bisik Gajah.
Raja Zebra terpengaruh. Tanpa ampun, kawanan Zebra menyerbu kawanan Banteng. Tak alang kepalang, serbuannya membabi buta. Mendapat serangan mendadak, kawanan Banteng tidak menduga dan tidak siap tempur. Maka dalam sekejap banyak Banteng yang mati dikeroyok. Jika ada Banteng yang tersungkur, Gajah sengaja menginjaknya hingga tewas.
Darah bercucuran dari tubuh para Banteng dan membanjir di Padang Eco. Padang Eco pun berubah dari warna hijau kuning coklat menjadi merah darah. Karena padang rumput berubah menjadi banjir darah, Zebra-zebra tak lagi berselera makan dan pergi mencari makanan di tempat lain.
Melihat pembantaian itu, Ketua Banteng memerintah rakyatnya agar menyingkir. Banteng-banteng itu pontang-panting melarikan diri. Kesedihan Ketua Banteng tak alang kepalang rakyatnya banyak yang mati sahid. Ia menangis meraung-raung, namun tak punya daya untuk membalas dendam karena kalah pasukan. Akhirnya Ketua Banteng hanya bisa mengadu kepada Peri Warna-warni.
“Duh Ibu Peri, kini bisa melihat sendiri hukum rimba di padang ini. Dimana Peri Hutan? Mengapa di saat yang genting begini beliau tidur? Tolonglah kami Ibu Peri, jangan ada lagidarah mengalir. Cukup darah merah kami yang terakhir kali mengucur di padang Eco,” rintih Ketua Banteng. Peri Warna-warni jadi kasihan dan kagum kepada Ketua Banteng.
“Banteng, Peri Hutan sedang merawat Dewa Sepuh yang sakit. Baiklah akan kuajukan masalah ini dalam sidang dewa-dewa malam nanti. Akan kuminta Peri Hujan turun dan kujadikan Padang Eco tempat wisata bunga aneka warna,” jawab Peri Warna-warni langsung pergi.
“Aku tak akan pergi sebelum janjimu kau tepati Ibu Peri. Ingat, demi darah merah rakyatku, Padang Eco harus berubah. Darah rakyatku harus ditebus dengan bunga-bunga aneka warna dan harum mewangi,” seru Ketua Banteng sambil tak henti meraung-raung menangisi nyawa rakyatnya.
Syahdan pada sidang dewa-dewa, Peri Warna-warni melaporkan pembantaian Banteng di Padang Eco. Akhirnya Peri Hujan sanggup memberi hujan selama semusim sejak malam itu juga. Sementara Peri Hutan mengizinkan Padang Eco dipenuhi bunga aneka warna oleh Peri Warna-warni dengan syarat rumput Gajah tetap tumbuh menghijau disana.
Beberapa hari kemudian, Ketua Banteng telah bisa tersenyum. Meski kesedihan masih tetap membebani hatinya, namun ia yakin, bangkai-bangkai, bau busuk dan darah merah di padang Eco telah tersingikir oleh air hujan yang amat lebat selama seminggu. Padang Eco kembali merimbun, tetapi kini telah berbeda. Selain rumputnya hijau segar, bunga-bunga pun bertumbuhan dengan subur. Banyak kupu-kupu yang menjadi penduduk pendatang baru. Padang Eco menjadi daerah kebun bunga dan kebun binatang alami.
Ketua Banteng tak mau kembali ke rumahnya di tengah hutan. Ia akan tetap menjadi tetua di Padang Eco sambil berdoa bagi arwah rakyatnya disini. Jika ia melihat warna merah, ia akan teringat darah rakyatnya yang dibantai kawanan Zebra dan Gajah. Sejak itu ia jadi benci melihat warna merah. Maka para gladiator akan menggoda para Banteng dengan kain berwarna merah untuk memancing kemarahan Banteng.
NONI
Padang rumput paling subur bernama Padang Eco selalu ramai dikunjungi semua binatang pemakan rumput. Rumputnya gemuk, panjang, gede-gede, hijau segar dan rasanya nikmat. Apalagi pemandangan disini juga sangat indah, bisa melihat nun jauh disana, tampak lautan biru. Adapun di bawah bukit kecil itu juga penuh dengan tanaman hijau, buah-buahan dan sayur mayur.
Rumput di Eco tak pernah habis. Tiap kali dilahap hewan-hewan, esok paginya sudah tumbuh lagi. Kian banyak hewan yang datang, rumputnya makin luas saja, tak pernah habis, tak pernah kering dan tak pernah gundul. Kabar ini tersebar di segala penjuru dunia, hingga banyak hewan yang datang untuk menikmati sedapnya rumput Padang Eco.
Rumput nikmat Padang Eco ini dinamakan Rumput Gajah. Kadang Gajah amat marah, rumput yang bukan makanan kesukaannya dinamai Rumput Gajah. Maklum Gajah lebih suka buah-buahan daripada rumput atau jerami. Seperti saat itu, didengarnya kawanan berbagai binatang sedang ramai makan siang di padang Eco. Termasuk kawanan Banteng yang rumahnya jauh di tengah hutan. Mereka kadang-kadang datang ke padang Eco untuk melahap nikmatnya rumput padang Eco.
“Aku suka makan disini karena Rumput Gajah-nya enak sekali, maklum rumputnya gemuk-gemuk dan gede-gede, persis seperti Pak Gajah. Andai rumputnya punya belalai, pasti lebih enak, kayak makan pizza ditambah es krim,” kata Banteng jantan yang gemuk. Gajah yang mendengar komentar Banteng merasa tersinggung karena rumput dikaitkan dengan belalainya.
Tetapi Gajah tidak berani mendamprat kawanan Banteng, maklum jumlah kawanan Gajah hanya se RT, sedangkan kawanan Banteng datang sekampung. Gajah-gajah itu kemudian menjauh dari kawanan Banteng dan pergi ke kubangan untuk berendam lumpur.
Pada suatu hari, musim kemarau tak juga berhenti. Hujan yang diharapkan datang, tak kunjung turun. Air sungai sudah kering, telaga berganti persawahan dan danaupun telah mengeras menjadi padang tanah tandus yang tanahnya pecah-pecah. Tidaklah heran jika padang rumput Eco yang subur itu lama-lama kian menipis. Padahal binatang yang datang disana kian banyak karena lumbung rumput di daerah lain sudah gundul klimis. Maka semua binatang hutan akhirnya menumpahkan harapan hidup pada rumput Eco.
Akhirnya rumput Eco tak mampu tumbuh cepat karena si pemakan lebih banyak dibanding pertumbuhannya. Dalam waktu tak lebih dari sebulan persediaan rumput Eco untuk pertama kalinya tak mampu mencukupi kebutuhan makan binatang hutan. Tiap pagi, Eco sudah penuh binatang yang takut tak kebagian rumput. Lama-lama rumput jadi rebutan, meningkat menjadi pertengkaran, lalu perang mulut hingga adu kekuatan.
Keadaan ini sangat meresahkan penduduk Eco. Perang antar binatang karena berebut rumput sudah sering terjadi. Hujan tak kunjung turun, Eco kian akrab dengan darah hasil perkelahian antar binatang. Rumput Eco jadi tak nikmat karena tercampur bau bangkai dari hewan-hewan yang kalah dihajar lawan.
Sebenarnya Gajah suka dengan keadaan ini. Ia masih bisa makan buah dan kini nama Rumput Gajah tak populer karena rumput Eco sudah kecil, kuning dan tidak enak dimakan. Eco juga kian sepi. Entah kemana binatang-binatang mencari makan. Kabarnya banyak hewan yang migrasi mencari kehidupan baru.
Sedangkan di tengah hutan, Banteng-banteng juga sudah kehabisan rumput. Mereka bermaksud pergi ke Padang Eco untuk mencari makan. “Kawan-kawan, karena rumput di rumah sudah habis, besok pagi kita pergi ke Padang Eco untuk mencari makan. Rumput Gajah disana nikmat, kan,” kata ketua Bantengnya. Maka di pagi-pagi buta, se kampung Banteng sudah berjalan beriringan. Siang harinya mereka sudah sampai. Betapa kaget kawanan Banteng mendapati Padang Eco nyaris sepi, hampir gundul dan bau bangkai.
“Wah, ini bahaya buat kita. Rumputnya habis, rasanya tak enak dan baunya busuk,” kata ketua Banteng. “Tetapi, jika kalian lapar, cobalah makan seadanya. Aku akan bertanya kepada Kerbau, apa yang terjadi disini,” kata Ketua Banteng. Kerbau yang ditanya menceritakan banyaknya perkelahian akibat rebutan rumput.
“Aduh kasihan, mengapa Peri Hujan tega banget, hampir setahun kita tak diberi hujan,” tanya Ketua Banteng kepada diri sendiri. Niatnya untuk mencari keadilan tiba-tiba muncul dari lubuk hatinya. Ia duduk termenung mencari cara agar Padang Eco kembali menjadi surga makanan segenap binatang hutan.
“Aku harus berbuat sesuatu, tetapi apa dan bagaimana, ya? Emangnya aku pahlawan,” pikir Ketua Banteng yang kian sedih tak bisa mencari solusinya. Pak Ketua Banteng tiba-tiba melihat bayangan Peri yang sedang melayang. Ia mengira bahwa Peri itu adalah Peri Hujan. Seketika ia berteriak memanggil.
“Wahai Ibu Peri, berhentilah disini sebentar, akan kulaporkan cerita hebat,” seru Banteng seadanya. Peri itu terkejut dipanggil seekor Banteng. Iapun berhenti dan mendekati Banteng. “Ada apa Banteng?” tanya Peri.
“Ibu Peri, tidakkah tergerak hatimu melihat Padang Eco berantakan dan bau busuk begini?” tanya Kerbau.
“Aku Peri Warna-warni, tugasku membuat warna agar bumi tidak hanya hitam putih seperti kamu. Aku tak mau ikut campur urusan tugas Peri Hutan. Nah, Banteng, cerita hebat apa yang mau kau sampaikan?” tanya Peri Warna-warni. Banteng yang ingin berbuat sesuatu bagi kesuburan padang Eco, tanpa takut melanjutkan usulnya.
“Rumah kami di tengah hutan kini berwarna coklat kering karena tak lagi ada rumput. Sejak sebulan kami tak kesini karena sibuk berdoa agar Peri Hujan mencurahkan airnya. Kami kesini mencari makan. Ternyata keadaannya sudah berubah. Dulu rumputnya segar nikmat, sekarang rumputnya kering dan bau busuk. Dulu makan disini sambil piknik. Sekarang siapa sudi melihat padang gundul? Wahai Ibu Peri, mengapa hatimu tidak tergerak untuk menjadikan padang hijau ini sebagai pertamanan dengan warna-warni bunga indah buatan Ibu Peri Warna-warni?” rayu Ketua Banteng.
“Padang Eco ini milik Peri Hutan, aku tak enak mencampuri urusannya,” jawab Peri Warna-warni. Banteng sgera menimpali, “Habis, Peri Hutan tak peduli, koq! Padang Eco sudah mati dan dibiarkan merana. Maka rawatlah Padang ini agar banyak pengunjungnya. Jadikan sebagai tempat wisata dengan bunga aneka warna,” rayu Banteng kembali.
Peri Warna-warni ragu-ragu. Di saat masih menimbang-nimbang, dari jauh tampak puluhan ribu Kuda Zebra dari Afrika akan hadir di Padang Eco. Zebra mendengar nikmatnya Padang Eco dimana rumputnya tak pernah mengering. Dengan penuh lapar di perutnya Zebra Afrikapun ingin merasakan rumput Eco. Ternyata rumput yang ada tinggal sedikit. Maka Zebra-zebra itu langsung menyerbu dan memakannya. Kawanan Banteng jadi terdesak, tetapi karena lapar, para Banteng tetap bertahan.
Rebutan rumput pun terjadi lagi. Gajah yang melihat dari kejauhan, rupanya timbul niat jahatnya. Akibat sering diejek tentang masalah nama Rumput Gajah, kawanan Gajah yang dendam kepada Banteng, ikut menyerbu. Bukan untuk ikut makan, ia bermaksud akan membalas dendam kepada Banteng-banteng itu. Zebra akan dipakai sebagai alat mengadu domba. Maka Bos Gajah membisiki raja Zebra. “Zebra, rumputnya sudah menipis. Bukankah rakyatmu masih puluhan ribu? Jika berbagi dengan Banteng, nanti keburu habis. Usir saja Bantengnya, mereka sudah makan sejak kemarin!” bisik Gajah.
Raja Zebra terpengaruh. Tanpa ampun, kawanan Zebra menyerbu kawanan Banteng. Tak alang kepalang, serbuannya membabi buta. Mendapat serangan mendadak, kawanan Banteng tidak menduga dan tidak siap tempur. Maka dalam sekejap banyak Banteng yang mati dikeroyok. Jika ada Banteng yang tersungkur, Gajah sengaja menginjaknya hingga tewas.
Darah bercucuran dari tubuh para Banteng dan membanjir di Padang Eco. Padang Eco pun berubah dari warna hijau kuning coklat menjadi merah darah. Karena padang rumput berubah menjadi banjir darah, Zebra-zebra tak lagi berselera makan dan pergi mencari makanan di tempat lain.
Melihat pembantaian itu, Ketua Banteng memerintah rakyatnya agar menyingkir. Banteng-banteng itu pontang-panting melarikan diri. Kesedihan Ketua Banteng tak alang kepalang rakyatnya banyak yang mati sahid. Ia menangis meraung-raung, namun tak punya daya untuk membalas dendam karena kalah pasukan. Akhirnya Ketua Banteng hanya bisa mengadu kepada Peri Warna-warni.
“Duh Ibu Peri, kini bisa melihat sendiri hukum rimba di padang ini. Dimana Peri Hutan? Mengapa di saat yang genting begini beliau tidur? Tolonglah kami Ibu Peri, jangan ada lagidarah mengalir. Cukup darah merah kami yang terakhir kali mengucur di padang Eco,” rintih Ketua Banteng. Peri Warna-warni jadi kasihan dan kagum kepada Ketua Banteng.
“Banteng, Peri Hutan sedang merawat Dewa Sepuh yang sakit. Baiklah akan kuajukan masalah ini dalam sidang dewa-dewa malam nanti. Akan kuminta Peri Hujan turun dan kujadikan Padang Eco tempat wisata bunga aneka warna,” jawab Peri Warna-warni langsung pergi.
“Aku tak akan pergi sebelum janjimu kau tepati Ibu Peri. Ingat, demi darah merah rakyatku, Padang Eco harus berubah. Darah rakyatku harus ditebus dengan bunga-bunga aneka warna dan harum mewangi,” seru Ketua Banteng sambil tak henti meraung-raung menangisi nyawa rakyatnya.
Syahdan pada sidang dewa-dewa, Peri Warna-warni melaporkan pembantaian Banteng di Padang Eco. Akhirnya Peri Hujan sanggup memberi hujan selama semusim sejak malam itu juga. Sementara Peri Hutan mengizinkan Padang Eco dipenuhi bunga aneka warna oleh Peri Warna-warni dengan syarat rumput Gajah tetap tumbuh menghijau disana.
Beberapa hari kemudian, Ketua Banteng telah bisa tersenyum. Meski kesedihan masih tetap membebani hatinya, namun ia yakin, bangkai-bangkai, bau busuk dan darah merah di padang Eco telah tersingikir oleh air hujan yang amat lebat selama seminggu. Padang Eco kembali merimbun, tetapi kini telah berbeda. Selain rumputnya hijau segar, bunga-bunga pun bertumbuhan dengan subur. Banyak kupu-kupu yang menjadi penduduk pendatang baru. Padang Eco menjadi daerah kebun bunga dan kebun binatang alami.
Ketua Banteng tak mau kembali ke rumahnya di tengah hutan. Ia akan tetap menjadi tetua di Padang Eco sambil berdoa bagi arwah rakyatnya disini. Jika ia melihat warna merah, ia akan teringat darah rakyatnya yang dibantai kawanan Zebra dan Gajah. Sejak itu ia jadi benci melihat warna merah. Maka para gladiator akan menggoda para Banteng dengan kain berwarna merah untuk memancing kemarahan Banteng.
NONI
Serial Dewa-dewa - Serangan Kerbau
SERANGAN KERBAU
Di saat Kerbau-kerbau sedang membajak sawah, di hutan ada seekor Gajah Raksasa yang berhasil ditangkap tentara Kerajaan Kota. Anak Gajah sebagai saksi mata penangkapan itu meratap sesenggukan. Gajah Kecil itu tidak ikut dibawa ke kerajaan karena dinilai tidak cukup kuat menjadi binatang tunggangan raja. Gajah Kecil hanya menangis melihat ayahnya ditaklukkan seorang pawang. Organ di bawah kening Gajah Kecil itu segera menyuarakan suara paraunya untuk mengadu kepada induknya di tengah hutan. Dengan cara ini Gajah memang bisa saling berkomunikasi dalam jarak jauh.
Namun semuanya telah terlambat. Tentara kerajaan sudah jauh menuju istana. Gajah Raksasa, demikian nama Gajah yang berhasil ditangkap tentara kerajaan. Raja amat gembira menerima upeti seekor Gajah Raksasa. Raja amat ingin menjadikannya tunggangan ketika bepergian dan berangkat ke medan perang.
Mengetahui hal ini, Peri Hutan amat sedih. Namun demikianlah nasib rakyatnya. Mereka memang ditakdirkan sebagai hewan yang harus menjadi obyek kebutuhan manusia. Tetapi ketika Peri Hutan melihat bahwa Gajah Raksasanya dipelihara dengan sangat baik oleh Baginda Raja, Peri Hutan merasa sangat lega.
Apalagi Gajah Raksasa itu tak pernah kekurangan makan dan sangat dimanjakan para pawangnya. Raja juga selalu memuja Gajahnya dan dipamerkan dimana-mana. Tidak perlu waktu lama, Raja sudah berani naik Gajah Raksasa ini karena ia jinak. Ia sudah menjadi binatang peliharaan yang manis. Ia sudah tahu tugasnya. Gajah Raksasa ini malah bangga menjadi binatang tunggangan Baginda Raja karena dimana-mana ia juga dielu-elukan. Enak benar nasibku, daripada di hutan tak kenal manusia, di istana, aku seperti raja kecil, bathin si Gajah. Iapun melupakan rindunya pada anak isterinya.
Setiap hari, Gajah Raksasa dikandangkan. Kebetulan kandangnya bersebelahan dengan kandang Kerbau-kerbau. Jadi, setiap hari Gajah Raksasa bertemu dengan kawanan Kerbau. Pertamanya, Gajah merasa senang punya kawan, sehingga ia bisa menyampaikan rasa bangganya dielu-elukan penduduk ketika mengantar Baginda Raja berjalan-jalan.
Sedangkan kepada Gajah, Kerbau selalu mengeluhkan tentang beban pekerjaannya. Setiap hari Kerbau mengeluh tak henti-henti. Ia mengeluh sering digebugi si pawang. Ia mengeluh kepanasan ketika membajak sawah. Sehabis itu ia mengeluh karena harus mencari makanan sendiri di ladang. Tak seperti Gajah yang makanannya enak-enak, dari kelapa hingga waluh bahkan kacang kecil hingga air untuk mandi, semua sudah disiapkan si pawang di kandang Gajah. Kerbau memang iri, tetapi ia tak dapat berbuat apa-apa.
Lama-lama Gajah sangat jenuh mendengar omelan kawanan Kerbau. Menurut Gajah, Kerbau tidak berusaha mencari cara supaya tidak mengeluh. Saking jenuhnya, Gajah selalu berpura-pura tidur jika kawanan Kerbau datang. Artinya Gajah berusaha tidak berbagi cerita dan tidak mau mendengarkan keluhan Kerbau.
Merasa dijauhi Gajah, kawanan Kerbau akhirnya malas berkawana dengan Gajah. Kerbau istana lebih senang bercanda dengan kawanan Burung Unta peliharaan kerajaan. Nasib Burung Unta sama dengan Gajah. Saking cantiknya Burung Unta, sang Ratu juga sangat senang jika bepergian dengan menumpang Burung Unta. Terkadang jika ada upacara penting, Raja dan Ratu berjalan beriringan, Raja naik Gajah dan Ratu naik Burung Unta. Tetapi karena Burung Unta tampak lebih ramah, Kerbau lebih suka berteman dengan Burung Unta karena tidak sesombong Gajah.
Pada Suatu hari Raja dan Ratu akan bepergian ke negara tetangga. Gajah Raksasa dan Burung Unta sudah dihias dengan dampar kencana di punggung mereka. Aduh betapa gagah dan cantiknya Gajah dan Burung Unta itu. Tentu saja semua hewan sangat iri atas kebaikan nasib mereka. Dua tunggangan Raja dan Ratu itu pun akan diiringi Kuda-kuda yang dinaiki para hulubalang. Sebelum berangkat, binatang hutan itu berbaris di halaman menunggu Banginda Raja keluar dari istana.
Burung Unta yang paling tinggi berdiri di belakang Gajah sedangkan Kuda-kuda berbaris di kiri kanan mereka. Tiba-tiba kawanan Kerbau datang dengan cepat dan langsung menyerudug hewan-hewan istana itu. Mengetahui diserang secara liar, Gajah Raksasa tetap berdiri tegak sambil mengacung-acungkan belalainya. Maka tak seekor Kerbaupun yang berani mendekatinya.
Adapun Kuda-kuda berlari ketakutan karena kaget. Suasana menjadi gempar. Hewan-hewan berlarian dikejar Kerbau-kerbau. Karena Kerbau membabi buta, Gajah Raksasa langsung menggunakan belalainya untuk menyiram debu di arena perang antara Kerbau melawan Kuda. Anehnya, tak satupun Kerbau yang menyerang Burung Unta. Maklum Burung Unta sudah dianggap kawan paling baik yang bersedia mendengar keluhan-keluhan Kerbau.
Patih segera turun tangan. Segenap pawang diperintah langsung terjun ke arena perang. Kuda-kuda diamankan, sedangkan Kerbau-kerbau dipecuti digiring ke kandang mereka. Keberangkatan Raja dan Ratu akhirnya ditunda.
Pada malam harinya, Peri Hutan dan Peri Angin hadir di istana. Sebelum menemui Baginda Raja, dua Peri ini mencari data-data kepada Gajah, Kuda, Kerbau dan Burung Unta. Hasilnya didapati bahwa perkelahian siang tadi akibat kecemburuan Kerbau sebagai binatang yang mendapat perlakuan buruk sehingga sangat marah dan iri. Para Peri ini segera mendatangi Kerbau.
Melihat datangnya Peri junjungannya, Kerbau-kerbau itu menghaturkan sembah dan langsung mengadukan nasibnya. “Wahai Ibu Peri, mengapa kau jadikan kami hewan babu? Badanku kuat, tetapi tak bisa berperang seperti kuda. Tubuhku besar, tetapi Raja malu naik di punggungku dan memilih naik Gajah. Perutku sebesar Burung Unta, tetapi Ratu tak perduli. Tandukku gagah, tetapi gading gajah lebih berharga,” keluh Kerbau.
Peri Angin dan Peri Hutan yang selalu ejek mengejek tersenyum kecut mendengar keluhan Kerbau. “Ibu Peri, kami ingin menjadi bagian penting di istana raja. Kami jenuh terus-menerus menjadi buruh di sawah. Kami mengaku bersalah menyerang Kuda-kuda kerajaan. Kami rakyat yang ingin berbakti kepada Raja, tetapi berilah kami tempat yang layak,” pinta Kerbau dengan belas kasihnya.
“Baiklah Kerbau. Aku kabulkan permintaanmu, tetapi dengan syarat, kamu harus diuji intelegensimu dulu,” kata Peri Hutan. Kerbau-kerbau itu bersedia diuji lagi. Merekapun bersiap menjawab test pertanyaan yang akan diberikan oleh Peri Hutan. Maka testingpun dimulai.
“Wahai Kerbau, tahukah kamu, lebih cepat mana larimu dibandingkan larinya burung Unta?” tanya Peri Hutan.
“Ibu Peri, kakiku empat, kaki burung Unta hanya dua. Meski ia burung, tetapi tak bisa terbang. Jadi, tentu lariku lebih cepat,” jawab Kerbau.
“Lha kamu salah Bau. Meski tak dapat terbang, Burung Unta dapat berlari sangat cepat dengan dua kakinya,” kata Peri Angin.
“Tetapi Ibu Peri Angin, jari Unta hanya dua, pasti tak kuat berlari!” teriak Kerbau.
“Lha kamu salah lagi. Satu jarinya jauh lebih besar yang dipakainya untuk berlari dan menendang penghalangnya. Kamu Kerbau yang kebesaran perut sehingga berjalanmu lamban sekali,” jelas Peri Angin. Atas penjelasan itu Kerbau-kerbau tertunduk malu.
“Pertanyaan yang kedua. Kamu kuat membajak sawah. Kuda kuat berlari seharian. Di antara kalian, mana yang lebih kuat?” tanya Peri Hutan.
“Ibu Peri, tentu aku lebih kuat. Aku membajak sawah agar manusia dapat makan. Kuda hanya kesana kemari, tak berguna dan bikin boros saja,” jawab Kerbau.
“Wah, kau harus tahu bahwa Kuda bisa pergi berhari-hari menggendong tuannya. Ia seperti Anjing, sangat setia dan tidak pernah meninggalkan tuannya. Ia tidak pernah mengeluh dan tidak pernah berdemo seperti kamu.” Lagi-lagi Kerbau tertunduk malu.
Lalu Peri Hutan memberi satu pertanyaan lagi. “Punggungmu dan punggung Gajah bisa membawa beban. Lebih banyak mana, beban yang kau bawa dibandingkan yang dibawa Gajah?” tanya Peri Hutan.
“Ibu Peri, anak-anak Gembala selalu naik dipunggungku antara 4 sampai 5 anak. Gajah hanya dinaiki Baginda Raja saja. Kami bekerja membajak sawah seharian, kerjaan Gajah hanya makan sebanyak-banyaknya,” jawab Kerbau yang menjawab sepengetahuannya melihat Gajah Istana hanya ditunggangi Baginda Raja. Peri Hutan tersenyum mendengar jawaban Kerbau.
“Kerbau, kamu itu kuper sih. Kamu egois dan kamu sangat bodoh. Makanya kamu hanya bernasib jelek menjadi babu. Memangnya hanya Raja yang bisa naik Gajah, semua orang atau barang apapun bisa dinaikkan di punggung gajah. Ia sekuat buldoser, bisa menumbangkan pohon, bisa merubuhkan rumah,” seru Peri Hutan.
Kerbau-kerbau membenarkan jawaban Peri sehaingga lagi-lagi mereka tertunduk malu. “Tetapi Ibu Peri, meskipun kami bodoh, berilah kami tempat yang layak karena kami telah membantu manusia membajak sawah,” pinta Kerbau.
“Baiklah. Tetapi hanya satu keluarga Kerbau yang akan kujadikan Kerbau idaman. Mereka adalah keluarga Kerbau Bule dan akan menjadi simbol di Istana Raja. Nantinya Kerbau Bule akan mengangkat nama Kerbau, sebab tahinya saja akan menjadi rebutan manusia karena bisa menjadi obat masuk angin,” janji Peri Hutan.
Mendengar janji Peri Hutan, Kerbau-kerbau bertepuk tangan dan langsung sungkem di hadapan Peri Hutan. “Wahai Ibu Peri, kami berterima kasih sekali. Tidaklah sia-sia demonstrasi serangan kami kepada Kuda-kuda siang tadi. Kami akan demo lagi jika kami dianiaya. Hidup Ibu Peri…hidup Ibu Peri…” teriak Kerbau-kerbau.
Dua Peri tadi sangat kaget oleh teriakan Kerbau. “Eee…, jangan kau kira karena demo lantas kukabulkan permintaanmu. Kamu memang Kerbau bodoh, karena itu kamulah binatang yang nantinya akan menjadi contoh bagi orang-orang bodoh yang berbuat salah.”
“Apa maksudnya Ibu Peri….?” tanya Kerbau serentak.
“Jika ada orang bodoh, maka dia akan dikatakan “Si Bodoh Longa-longo kayak Kerbau…” Berkata demikian dua Peri itu langsung kabur meninggalkan Kerbau yang sangat menyesal dijadikan ejekan contoh bagi orang bodoh. Maka sejak saat itupun jika ada orang bodoh, maka mereka akan dijuluki Si Bodoh seperti Kerbau.
Selesai mencapai kesepakatan dengan Kerbau, dua Peri tadi menemui Baginda Raja dan memberitahu keinginan Kerbau untuk menjadikan Kerbau Bule sebagai simbol kerajaan. Raja tidak keberatan, malah merasa bersyukur, karena Kerbau Bule akan menjadi ikon dalam upacara-upacara tradisi di istana raja.
Setelah menemui raja, Peri-peri itu menemui Gajah, Kuda dan Burung Unta. Gajah Raksasa akhirnya berjanji mau berteman lagi dengan Kerbau. Ia menitipkan salam untuk anak isterinya lewat Peri Hutan. Adapun Kuda-kuda minta tambahan kekuatan agar tidak menjadi hewan yang cepat terkejut dan lari tunggang langgang jika mendengar suara aneh dan berjanji tidak akan dendam kepada Kerbau. Sedangkan Burung Unta hanya melambaikan tangan kepada Peri Angin karena ia terlepas dari bencana serangan Kerbau.
NONI
Di saat Kerbau-kerbau sedang membajak sawah, di hutan ada seekor Gajah Raksasa yang berhasil ditangkap tentara Kerajaan Kota. Anak Gajah sebagai saksi mata penangkapan itu meratap sesenggukan. Gajah Kecil itu tidak ikut dibawa ke kerajaan karena dinilai tidak cukup kuat menjadi binatang tunggangan raja. Gajah Kecil hanya menangis melihat ayahnya ditaklukkan seorang pawang. Organ di bawah kening Gajah Kecil itu segera menyuarakan suara paraunya untuk mengadu kepada induknya di tengah hutan. Dengan cara ini Gajah memang bisa saling berkomunikasi dalam jarak jauh.
Namun semuanya telah terlambat. Tentara kerajaan sudah jauh menuju istana. Gajah Raksasa, demikian nama Gajah yang berhasil ditangkap tentara kerajaan. Raja amat gembira menerima upeti seekor Gajah Raksasa. Raja amat ingin menjadikannya tunggangan ketika bepergian dan berangkat ke medan perang.
Mengetahui hal ini, Peri Hutan amat sedih. Namun demikianlah nasib rakyatnya. Mereka memang ditakdirkan sebagai hewan yang harus menjadi obyek kebutuhan manusia. Tetapi ketika Peri Hutan melihat bahwa Gajah Raksasanya dipelihara dengan sangat baik oleh Baginda Raja, Peri Hutan merasa sangat lega.
Apalagi Gajah Raksasa itu tak pernah kekurangan makan dan sangat dimanjakan para pawangnya. Raja juga selalu memuja Gajahnya dan dipamerkan dimana-mana. Tidak perlu waktu lama, Raja sudah berani naik Gajah Raksasa ini karena ia jinak. Ia sudah menjadi binatang peliharaan yang manis. Ia sudah tahu tugasnya. Gajah Raksasa ini malah bangga menjadi binatang tunggangan Baginda Raja karena dimana-mana ia juga dielu-elukan. Enak benar nasibku, daripada di hutan tak kenal manusia, di istana, aku seperti raja kecil, bathin si Gajah. Iapun melupakan rindunya pada anak isterinya.
Setiap hari, Gajah Raksasa dikandangkan. Kebetulan kandangnya bersebelahan dengan kandang Kerbau-kerbau. Jadi, setiap hari Gajah Raksasa bertemu dengan kawanan Kerbau. Pertamanya, Gajah merasa senang punya kawan, sehingga ia bisa menyampaikan rasa bangganya dielu-elukan penduduk ketika mengantar Baginda Raja berjalan-jalan.
Sedangkan kepada Gajah, Kerbau selalu mengeluhkan tentang beban pekerjaannya. Setiap hari Kerbau mengeluh tak henti-henti. Ia mengeluh sering digebugi si pawang. Ia mengeluh kepanasan ketika membajak sawah. Sehabis itu ia mengeluh karena harus mencari makanan sendiri di ladang. Tak seperti Gajah yang makanannya enak-enak, dari kelapa hingga waluh bahkan kacang kecil hingga air untuk mandi, semua sudah disiapkan si pawang di kandang Gajah. Kerbau memang iri, tetapi ia tak dapat berbuat apa-apa.
Lama-lama Gajah sangat jenuh mendengar omelan kawanan Kerbau. Menurut Gajah, Kerbau tidak berusaha mencari cara supaya tidak mengeluh. Saking jenuhnya, Gajah selalu berpura-pura tidur jika kawanan Kerbau datang. Artinya Gajah berusaha tidak berbagi cerita dan tidak mau mendengarkan keluhan Kerbau.
Merasa dijauhi Gajah, kawanan Kerbau akhirnya malas berkawana dengan Gajah. Kerbau istana lebih senang bercanda dengan kawanan Burung Unta peliharaan kerajaan. Nasib Burung Unta sama dengan Gajah. Saking cantiknya Burung Unta, sang Ratu juga sangat senang jika bepergian dengan menumpang Burung Unta. Terkadang jika ada upacara penting, Raja dan Ratu berjalan beriringan, Raja naik Gajah dan Ratu naik Burung Unta. Tetapi karena Burung Unta tampak lebih ramah, Kerbau lebih suka berteman dengan Burung Unta karena tidak sesombong Gajah.
Pada Suatu hari Raja dan Ratu akan bepergian ke negara tetangga. Gajah Raksasa dan Burung Unta sudah dihias dengan dampar kencana di punggung mereka. Aduh betapa gagah dan cantiknya Gajah dan Burung Unta itu. Tentu saja semua hewan sangat iri atas kebaikan nasib mereka. Dua tunggangan Raja dan Ratu itu pun akan diiringi Kuda-kuda yang dinaiki para hulubalang. Sebelum berangkat, binatang hutan itu berbaris di halaman menunggu Banginda Raja keluar dari istana.
Burung Unta yang paling tinggi berdiri di belakang Gajah sedangkan Kuda-kuda berbaris di kiri kanan mereka. Tiba-tiba kawanan Kerbau datang dengan cepat dan langsung menyerudug hewan-hewan istana itu. Mengetahui diserang secara liar, Gajah Raksasa tetap berdiri tegak sambil mengacung-acungkan belalainya. Maka tak seekor Kerbaupun yang berani mendekatinya.
Adapun Kuda-kuda berlari ketakutan karena kaget. Suasana menjadi gempar. Hewan-hewan berlarian dikejar Kerbau-kerbau. Karena Kerbau membabi buta, Gajah Raksasa langsung menggunakan belalainya untuk menyiram debu di arena perang antara Kerbau melawan Kuda. Anehnya, tak satupun Kerbau yang menyerang Burung Unta. Maklum Burung Unta sudah dianggap kawan paling baik yang bersedia mendengar keluhan-keluhan Kerbau.
Patih segera turun tangan. Segenap pawang diperintah langsung terjun ke arena perang. Kuda-kuda diamankan, sedangkan Kerbau-kerbau dipecuti digiring ke kandang mereka. Keberangkatan Raja dan Ratu akhirnya ditunda.
Pada malam harinya, Peri Hutan dan Peri Angin hadir di istana. Sebelum menemui Baginda Raja, dua Peri ini mencari data-data kepada Gajah, Kuda, Kerbau dan Burung Unta. Hasilnya didapati bahwa perkelahian siang tadi akibat kecemburuan Kerbau sebagai binatang yang mendapat perlakuan buruk sehingga sangat marah dan iri. Para Peri ini segera mendatangi Kerbau.
Melihat datangnya Peri junjungannya, Kerbau-kerbau itu menghaturkan sembah dan langsung mengadukan nasibnya. “Wahai Ibu Peri, mengapa kau jadikan kami hewan babu? Badanku kuat, tetapi tak bisa berperang seperti kuda. Tubuhku besar, tetapi Raja malu naik di punggungku dan memilih naik Gajah. Perutku sebesar Burung Unta, tetapi Ratu tak perduli. Tandukku gagah, tetapi gading gajah lebih berharga,” keluh Kerbau.
Peri Angin dan Peri Hutan yang selalu ejek mengejek tersenyum kecut mendengar keluhan Kerbau. “Ibu Peri, kami ingin menjadi bagian penting di istana raja. Kami jenuh terus-menerus menjadi buruh di sawah. Kami mengaku bersalah menyerang Kuda-kuda kerajaan. Kami rakyat yang ingin berbakti kepada Raja, tetapi berilah kami tempat yang layak,” pinta Kerbau dengan belas kasihnya.
“Baiklah Kerbau. Aku kabulkan permintaanmu, tetapi dengan syarat, kamu harus diuji intelegensimu dulu,” kata Peri Hutan. Kerbau-kerbau itu bersedia diuji lagi. Merekapun bersiap menjawab test pertanyaan yang akan diberikan oleh Peri Hutan. Maka testingpun dimulai.
“Wahai Kerbau, tahukah kamu, lebih cepat mana larimu dibandingkan larinya burung Unta?” tanya Peri Hutan.
“Ibu Peri, kakiku empat, kaki burung Unta hanya dua. Meski ia burung, tetapi tak bisa terbang. Jadi, tentu lariku lebih cepat,” jawab Kerbau.
“Lha kamu salah Bau. Meski tak dapat terbang, Burung Unta dapat berlari sangat cepat dengan dua kakinya,” kata Peri Angin.
“Tetapi Ibu Peri Angin, jari Unta hanya dua, pasti tak kuat berlari!” teriak Kerbau.
“Lha kamu salah lagi. Satu jarinya jauh lebih besar yang dipakainya untuk berlari dan menendang penghalangnya. Kamu Kerbau yang kebesaran perut sehingga berjalanmu lamban sekali,” jelas Peri Angin. Atas penjelasan itu Kerbau-kerbau tertunduk malu.
“Pertanyaan yang kedua. Kamu kuat membajak sawah. Kuda kuat berlari seharian. Di antara kalian, mana yang lebih kuat?” tanya Peri Hutan.
“Ibu Peri, tentu aku lebih kuat. Aku membajak sawah agar manusia dapat makan. Kuda hanya kesana kemari, tak berguna dan bikin boros saja,” jawab Kerbau.
“Wah, kau harus tahu bahwa Kuda bisa pergi berhari-hari menggendong tuannya. Ia seperti Anjing, sangat setia dan tidak pernah meninggalkan tuannya. Ia tidak pernah mengeluh dan tidak pernah berdemo seperti kamu.” Lagi-lagi Kerbau tertunduk malu.
Lalu Peri Hutan memberi satu pertanyaan lagi. “Punggungmu dan punggung Gajah bisa membawa beban. Lebih banyak mana, beban yang kau bawa dibandingkan yang dibawa Gajah?” tanya Peri Hutan.
“Ibu Peri, anak-anak Gembala selalu naik dipunggungku antara 4 sampai 5 anak. Gajah hanya dinaiki Baginda Raja saja. Kami bekerja membajak sawah seharian, kerjaan Gajah hanya makan sebanyak-banyaknya,” jawab Kerbau yang menjawab sepengetahuannya melihat Gajah Istana hanya ditunggangi Baginda Raja. Peri Hutan tersenyum mendengar jawaban Kerbau.
“Kerbau, kamu itu kuper sih. Kamu egois dan kamu sangat bodoh. Makanya kamu hanya bernasib jelek menjadi babu. Memangnya hanya Raja yang bisa naik Gajah, semua orang atau barang apapun bisa dinaikkan di punggung gajah. Ia sekuat buldoser, bisa menumbangkan pohon, bisa merubuhkan rumah,” seru Peri Hutan.
Kerbau-kerbau membenarkan jawaban Peri sehaingga lagi-lagi mereka tertunduk malu. “Tetapi Ibu Peri, meskipun kami bodoh, berilah kami tempat yang layak karena kami telah membantu manusia membajak sawah,” pinta Kerbau.
“Baiklah. Tetapi hanya satu keluarga Kerbau yang akan kujadikan Kerbau idaman. Mereka adalah keluarga Kerbau Bule dan akan menjadi simbol di Istana Raja. Nantinya Kerbau Bule akan mengangkat nama Kerbau, sebab tahinya saja akan menjadi rebutan manusia karena bisa menjadi obat masuk angin,” janji Peri Hutan.
Mendengar janji Peri Hutan, Kerbau-kerbau bertepuk tangan dan langsung sungkem di hadapan Peri Hutan. “Wahai Ibu Peri, kami berterima kasih sekali. Tidaklah sia-sia demonstrasi serangan kami kepada Kuda-kuda siang tadi. Kami akan demo lagi jika kami dianiaya. Hidup Ibu Peri…hidup Ibu Peri…” teriak Kerbau-kerbau.
Dua Peri tadi sangat kaget oleh teriakan Kerbau. “Eee…, jangan kau kira karena demo lantas kukabulkan permintaanmu. Kamu memang Kerbau bodoh, karena itu kamulah binatang yang nantinya akan menjadi contoh bagi orang-orang bodoh yang berbuat salah.”
“Apa maksudnya Ibu Peri….?” tanya Kerbau serentak.
“Jika ada orang bodoh, maka dia akan dikatakan “Si Bodoh Longa-longo kayak Kerbau…” Berkata demikian dua Peri itu langsung kabur meninggalkan Kerbau yang sangat menyesal dijadikan ejekan contoh bagi orang bodoh. Maka sejak saat itupun jika ada orang bodoh, maka mereka akan dijuluki Si Bodoh seperti Kerbau.
Selesai mencapai kesepakatan dengan Kerbau, dua Peri tadi menemui Baginda Raja dan memberitahu keinginan Kerbau untuk menjadikan Kerbau Bule sebagai simbol kerajaan. Raja tidak keberatan, malah merasa bersyukur, karena Kerbau Bule akan menjadi ikon dalam upacara-upacara tradisi di istana raja.
Setelah menemui raja, Peri-peri itu menemui Gajah, Kuda dan Burung Unta. Gajah Raksasa akhirnya berjanji mau berteman lagi dengan Kerbau. Ia menitipkan salam untuk anak isterinya lewat Peri Hutan. Adapun Kuda-kuda minta tambahan kekuatan agar tidak menjadi hewan yang cepat terkejut dan lari tunggang langgang jika mendengar suara aneh dan berjanji tidak akan dendam kepada Kerbau. Sedangkan Burung Unta hanya melambaikan tangan kepada Peri Angin karena ia terlepas dari bencana serangan Kerbau.
NONI
Serial dewa-dewa - Tupai dan Tarzan
PERI : ANTARA TUPAI DAN TARZAN
Tupai adalah makhluk mungil nan cantik. Ia tidak pernah bikin ribut. Ia selalu mengalah kepada siapa saja. Ia juga binatang yang suka menolong sesama untuk memecahkan barang-barang berkulit keras. Maklum ia pemakan buah kenari yang keras. Namun suatu saat, Tupai mengadu kepada Peri Hutan. Ia sangat keberatan jika kepandaiannya dijiplak Tarzan.
Peri Hutan kaget. Dia merasa tidak pernah menciptakan binatang bernama Tarzan. Kontan binatang hutan mengetawai Peri junjungannya ini. “Aduh Ibu Peri, mengapa koq kuper? Tarzan itu manusia peliharaan Monyet sejak bayinya hingga dewasa,” demikian Bebek menceritakan sambil memegal-megolkan bokongnya mengejek Peri Hutan.
“Sejak bayi hingga dewasa? Wah, aku kecolongan selama 20 tahun. Masakan aku tak pernah melihat adanya Tarzan di hutanku. Tetapi jika Tarzan berguna bagi kalian, aku akan mengangkatnya menjadi salah satu rakyatku. Jika ia merugikan, aku akan mengirimkannya kepada manusia,” kata Peri Hutan.
“Dia baik Ibu Peri, kami mengangkatnya menjadi pengganti Ibu Peri jika Ibu pergi ke Istana Dewa,” serentak rakyat hutan membela Tarzan. Peri Hutan tambah kaget lagi.
“Benarkah? Tetapi mengapa Tupai marah? Kepandaian apa yang dijiplak dari Tupai.” tanya Peri Hutan.
“Ia berjalan menggunakan akar gantung pohon hutan untuk kesana kemari, persis seperti Tupai. Jika Tupai mengadu adalah karena kepandaiannya melompat dari satu dahan ke dahan lain, merupakan hak ciptanya Tupai!” jawab Gajah.
Peri Hutan tersenyum lebar. Ada-ada saja si Tupai, pakai hak cipta segala. Memang punya hak macam mana? Semua kepandaian makhluk adalah ciptaan Yang Maha Pencipta, bathin Peri Hutan. Tetapi Peri Hutan penasaran, seperti apakah manusia yang bernama Tarzan itu?
Syahdan, Peri Hutan kini menyamar menjadi manusia tua yang tersesat di hutan. Ia sudah berada pada jarak yang amat dekat dengan Tarzan. Tak lama kemudian keduanya sudah saling berhadapan. Tarzan kaget tak alang kepalang.
Di tengah hutan begini, ada nenek tua yang masih sangat sehat. Buru-buru Tarzan yang sedang berayun di akar beringin, meluncur turun dengan lincah. Nenek tua sangat kagum atas kegesitan Tarzan
“Eh eh, anak muda yang ngganteng, jangan membuat kaget nenek ya…” kata Nenek.
“Aaauuuuuua,” jawab Tarzan. Nenek tua kaget. Koq dijawab dengan auman Monyet.
“Hai Pemuda ngganteng, siapa namamu? Mengapa berada di tengah hutan ini?”
“Aaauuuuaaa,” jawab Tarzan.
Nenek tua akhirnya tahu bahwa Tarzan tidak bisa menangkap bahasa manusia yang ia gunakan. Maka ia ganti bertanya dengan menggunakan bahasa binatang.
“Aku mau ketemu ibumu,” kata nenek tua. Tarzan malah kaget, ada manusia bisa bahasa binatang. “Siapa kau?” tanya Tarzan yang memang hanya bisa berbahasa binatang. “Aku Peri Hutan!” berkata demikian nenek tua itu sudah mengubah dirinya menjadi Peri Hutan.
“Aduh Ibu Peri, maafkan saya tak tahu ada Ibu Peri disini,” kata Tarzan sambil menyembah. “Oh, sudahlah Tarzan. Aku hanya bertanya, siapa yang mengajarimu meluncur dari dahan ke dahan?” tanya Peri Hutan.
“Dari semua binatang hutan, terutama ibuku, Monyet!” jawab Tarzan yang mengaku anaknya Monyet.
“Kalau dari Tupai, apanya yang kau tiru?” tanya Peri Hutan lagi.
“Oh Tupai, ia binatang peloncat paling hebat. Aku menirunya ketika Tupai jatuh dari ketinggian dengan tetap tegak di keempat kakinya,’ jawab Tarzan.
“Kau tahu Tarzan, Tupai marah atas penjiplakanmu itu,” kata Peri Hutan.
“Ohhh, maafkanlah. Lalu apakah aku akan dihukum? Aku tidak menjual penjiplakanku ini untuk kepentingan bisnis. Semua melulu untuk menolong sesama binatang hutan jika manusia bikin celaka mereka,” bela Tarzan.
“Ohhh, begitu Ya sudah!” berkata demikia Peri Hutan menghilang.
Peri Hutan menemui Tupai lagi. Maka sidang langsung digelar di ranah Tupai-tupai. Mereka terus-terusan meneriakkan yel-yel anti Tarzan.
“Wahai para Tupai, Tarzan belajar ilmu dari semua binatang termasuk Tupai. Ia tidak membisniskan penjiplakannya itu kepada umum,” kata Peri Hutan.
“Yang kami adukan bukan sekedar penjiplakannya Ibu Peri, tetapi kami takut, Tarzan bisa mengembangkan ilmu kami itu melebihi kami. Sedangkan kami tak bisa menciptakan kepandaian lain selain yang kami bisa sebagai Tupai,” kata raja Tupai merengek.
“Oh oh oh, Tupai, manusia diciptakan dengan tambahan akal untuk menciptakan kelebihan. Setiap tahun bumi bertaMbah maju karena adanya manusia,” kata Peri Hutan.
“Kalau begitu, mengapa Tarzan yang manusia diambil anak oleh Monyet? Sedangkan jika binatang diambil manusia, hanya dijadikan bahan makanan?”
“Lhoo… sebenarnya, apa yang kamu keluhkan? Penjiplakan Tarzan atau manusia menyembelih binatang?”
“Yang kami inginkan adalah tidak ada manusia menghuni hutan ini. Tarzan harus pergi.”
“Semua binatang Hutan menyayanginya, bahkan mengangkat Tarzan menjadi wakilku!”
“Wah, kami keberatan Ibu Peri. Itu tidak adil. Manusia harus diperangi karena pemakan binatang.”
“Dengar Tupai, Tarzan penolong binatang yang dianiaya manusia,” kata Peri Hutan.
“Bohong Ibu Peri. Kami melihat Tarzan suka membuat kambing guling, gulai ayam dan bestik lidah sapi,” kata Tupai.
“Hahhh, benarkah?”
Saking kagetnya Peri Hutan, ia langsung menghilang dan menemui Tarzan kembali.
“Hai Tarzan, kata Tupai, kau suka bikin kambing guling, gulai ayam dan bestik lidah sapi,” tanya Peri Hutan.
“Ternyata enak juga Ibu Peri, tetapi aku dikasih Polisi Hutan koq. Dialah temanku satu-satunya. Jika aku makan, Tupai melihatku, kayaknya dia juga kepingin,” bela Tarzan.
Ibu Peri makin kebingungan. Buru-buru dia menghilang dan kembali menemui Tupai.
“Wahai Tupai, Tarzan makan gulai ayam, kambing guling dan berstik lidah sapi karena dikasih Polisi Hutan, kamu kepingin ya…?” tanya Peri Hutan.
“Ibu Peri... habis, kami hanya diberi porsi memakan biji kenari hazelnut di pohon yang tinggiiiii banget. Gigi kami capek mengeratnya, meski gigi kami kuat dan tajam, kami juga harus loncat-loncat begitu tinggi,’ keluh Raja Tupai.
Seketika Peri Hutan tak dapat menahan ketawanya. Dasar Tupai bodoh dan tak tahu diuntung. Sudah diberi keistimewaan sebagai binatang paling dahsyat yang bisa terbang tanpa sayap dari jarak 30 meter di ketinggian 100 meter, masih belum cukup juga.
“Tupai, kau pandai melompat dari satu pohon ke pohon lainnya tanpa terjatuh layaknya pemain sirkus. Kau bisa mendapatkan makananmu, buah kenari dan buah-buahan berkulit keras di pucuk pohon yang tinggi. Kau bisa mengumpulkan makanan di berbagai musim di dalam sarangmu. Kau punya ekor yang jadi kemudi saat kau terbang. Kau punya kumis untuk menjaga keseimbangan. Kumismu juga untuk mengenali benda-benda di malam hari. Dan kau punya selaput terbang, bisa membuat 6 lompatan berturutan, menempuh jarak 530 meter. Kau memang diciptakan seistimewa itu. Masih kurangkah, Tupai?!” seru Peri Hutan.
Tiba-tiba hampir semua binatang hutan ikut masuk di ruang sidang, termasuk Tarzan.
“Wahai Ibu Peri, mohon ampuni semua rakyatmu. Tentu saja Tupai tidak berani protes pada Ibu Peri. Itu semua hanyalah akal-akalan rakyatmu, agar Ibu Peri mengenal Tarzan,” seru Beruang yang mengkomandani penghuni hutan. Memang sebenarnya aksi protes Tupai kepada Peri Hutan dibuat agar Peri Hutan berkenalan dengan Tarzan,”
“Jadi…” seru Peri Hutan dan Tarzan yang juga dikerjai dan dikibuli binatang hutan. Peri dan Tarzan akhirnya tertawa riang bersama Tupai dan segenap binatang hutan. Meski dikerjai, Peri Hutan dan Tarzan tidak marah.
NONI
Tupai adalah makhluk mungil nan cantik. Ia tidak pernah bikin ribut. Ia selalu mengalah kepada siapa saja. Ia juga binatang yang suka menolong sesama untuk memecahkan barang-barang berkulit keras. Maklum ia pemakan buah kenari yang keras. Namun suatu saat, Tupai mengadu kepada Peri Hutan. Ia sangat keberatan jika kepandaiannya dijiplak Tarzan.
Peri Hutan kaget. Dia merasa tidak pernah menciptakan binatang bernama Tarzan. Kontan binatang hutan mengetawai Peri junjungannya ini. “Aduh Ibu Peri, mengapa koq kuper? Tarzan itu manusia peliharaan Monyet sejak bayinya hingga dewasa,” demikian Bebek menceritakan sambil memegal-megolkan bokongnya mengejek Peri Hutan.
“Sejak bayi hingga dewasa? Wah, aku kecolongan selama 20 tahun. Masakan aku tak pernah melihat adanya Tarzan di hutanku. Tetapi jika Tarzan berguna bagi kalian, aku akan mengangkatnya menjadi salah satu rakyatku. Jika ia merugikan, aku akan mengirimkannya kepada manusia,” kata Peri Hutan.
“Dia baik Ibu Peri, kami mengangkatnya menjadi pengganti Ibu Peri jika Ibu pergi ke Istana Dewa,” serentak rakyat hutan membela Tarzan. Peri Hutan tambah kaget lagi.
“Benarkah? Tetapi mengapa Tupai marah? Kepandaian apa yang dijiplak dari Tupai.” tanya Peri Hutan.
“Ia berjalan menggunakan akar gantung pohon hutan untuk kesana kemari, persis seperti Tupai. Jika Tupai mengadu adalah karena kepandaiannya melompat dari satu dahan ke dahan lain, merupakan hak ciptanya Tupai!” jawab Gajah.
Peri Hutan tersenyum lebar. Ada-ada saja si Tupai, pakai hak cipta segala. Memang punya hak macam mana? Semua kepandaian makhluk adalah ciptaan Yang Maha Pencipta, bathin Peri Hutan. Tetapi Peri Hutan penasaran, seperti apakah manusia yang bernama Tarzan itu?
Syahdan, Peri Hutan kini menyamar menjadi manusia tua yang tersesat di hutan. Ia sudah berada pada jarak yang amat dekat dengan Tarzan. Tak lama kemudian keduanya sudah saling berhadapan. Tarzan kaget tak alang kepalang.
Di tengah hutan begini, ada nenek tua yang masih sangat sehat. Buru-buru Tarzan yang sedang berayun di akar beringin, meluncur turun dengan lincah. Nenek tua sangat kagum atas kegesitan Tarzan
“Eh eh, anak muda yang ngganteng, jangan membuat kaget nenek ya…” kata Nenek.
“Aaauuuuuua,” jawab Tarzan. Nenek tua kaget. Koq dijawab dengan auman Monyet.
“Hai Pemuda ngganteng, siapa namamu? Mengapa berada di tengah hutan ini?”
“Aaauuuuaaa,” jawab Tarzan.
Nenek tua akhirnya tahu bahwa Tarzan tidak bisa menangkap bahasa manusia yang ia gunakan. Maka ia ganti bertanya dengan menggunakan bahasa binatang.
“Aku mau ketemu ibumu,” kata nenek tua. Tarzan malah kaget, ada manusia bisa bahasa binatang. “Siapa kau?” tanya Tarzan yang memang hanya bisa berbahasa binatang. “Aku Peri Hutan!” berkata demikian nenek tua itu sudah mengubah dirinya menjadi Peri Hutan.
“Aduh Ibu Peri, maafkan saya tak tahu ada Ibu Peri disini,” kata Tarzan sambil menyembah. “Oh, sudahlah Tarzan. Aku hanya bertanya, siapa yang mengajarimu meluncur dari dahan ke dahan?” tanya Peri Hutan.
“Dari semua binatang hutan, terutama ibuku, Monyet!” jawab Tarzan yang mengaku anaknya Monyet.
“Kalau dari Tupai, apanya yang kau tiru?” tanya Peri Hutan lagi.
“Oh Tupai, ia binatang peloncat paling hebat. Aku menirunya ketika Tupai jatuh dari ketinggian dengan tetap tegak di keempat kakinya,’ jawab Tarzan.
“Kau tahu Tarzan, Tupai marah atas penjiplakanmu itu,” kata Peri Hutan.
“Ohhh, maafkanlah. Lalu apakah aku akan dihukum? Aku tidak menjual penjiplakanku ini untuk kepentingan bisnis. Semua melulu untuk menolong sesama binatang hutan jika manusia bikin celaka mereka,” bela Tarzan.
“Ohhh, begitu Ya sudah!” berkata demikia Peri Hutan menghilang.
Peri Hutan menemui Tupai lagi. Maka sidang langsung digelar di ranah Tupai-tupai. Mereka terus-terusan meneriakkan yel-yel anti Tarzan.
“Wahai para Tupai, Tarzan belajar ilmu dari semua binatang termasuk Tupai. Ia tidak membisniskan penjiplakannya itu kepada umum,” kata Peri Hutan.
“Yang kami adukan bukan sekedar penjiplakannya Ibu Peri, tetapi kami takut, Tarzan bisa mengembangkan ilmu kami itu melebihi kami. Sedangkan kami tak bisa menciptakan kepandaian lain selain yang kami bisa sebagai Tupai,” kata raja Tupai merengek.
“Oh oh oh, Tupai, manusia diciptakan dengan tambahan akal untuk menciptakan kelebihan. Setiap tahun bumi bertaMbah maju karena adanya manusia,” kata Peri Hutan.
“Kalau begitu, mengapa Tarzan yang manusia diambil anak oleh Monyet? Sedangkan jika binatang diambil manusia, hanya dijadikan bahan makanan?”
“Lhoo… sebenarnya, apa yang kamu keluhkan? Penjiplakan Tarzan atau manusia menyembelih binatang?”
“Yang kami inginkan adalah tidak ada manusia menghuni hutan ini. Tarzan harus pergi.”
“Semua binatang Hutan menyayanginya, bahkan mengangkat Tarzan menjadi wakilku!”
“Wah, kami keberatan Ibu Peri. Itu tidak adil. Manusia harus diperangi karena pemakan binatang.”
“Dengar Tupai, Tarzan penolong binatang yang dianiaya manusia,” kata Peri Hutan.
“Bohong Ibu Peri. Kami melihat Tarzan suka membuat kambing guling, gulai ayam dan bestik lidah sapi,” kata Tupai.
“Hahhh, benarkah?”
Saking kagetnya Peri Hutan, ia langsung menghilang dan menemui Tarzan kembali.
“Hai Tarzan, kata Tupai, kau suka bikin kambing guling, gulai ayam dan bestik lidah sapi,” tanya Peri Hutan.
“Ternyata enak juga Ibu Peri, tetapi aku dikasih Polisi Hutan koq. Dialah temanku satu-satunya. Jika aku makan, Tupai melihatku, kayaknya dia juga kepingin,” bela Tarzan.
Ibu Peri makin kebingungan. Buru-buru dia menghilang dan kembali menemui Tupai.
“Wahai Tupai, Tarzan makan gulai ayam, kambing guling dan berstik lidah sapi karena dikasih Polisi Hutan, kamu kepingin ya…?” tanya Peri Hutan.
“Ibu Peri... habis, kami hanya diberi porsi memakan biji kenari hazelnut di pohon yang tinggiiiii banget. Gigi kami capek mengeratnya, meski gigi kami kuat dan tajam, kami juga harus loncat-loncat begitu tinggi,’ keluh Raja Tupai.
Seketika Peri Hutan tak dapat menahan ketawanya. Dasar Tupai bodoh dan tak tahu diuntung. Sudah diberi keistimewaan sebagai binatang paling dahsyat yang bisa terbang tanpa sayap dari jarak 30 meter di ketinggian 100 meter, masih belum cukup juga.
“Tupai, kau pandai melompat dari satu pohon ke pohon lainnya tanpa terjatuh layaknya pemain sirkus. Kau bisa mendapatkan makananmu, buah kenari dan buah-buahan berkulit keras di pucuk pohon yang tinggi. Kau bisa mengumpulkan makanan di berbagai musim di dalam sarangmu. Kau punya ekor yang jadi kemudi saat kau terbang. Kau punya kumis untuk menjaga keseimbangan. Kumismu juga untuk mengenali benda-benda di malam hari. Dan kau punya selaput terbang, bisa membuat 6 lompatan berturutan, menempuh jarak 530 meter. Kau memang diciptakan seistimewa itu. Masih kurangkah, Tupai?!” seru Peri Hutan.
Tiba-tiba hampir semua binatang hutan ikut masuk di ruang sidang, termasuk Tarzan.
“Wahai Ibu Peri, mohon ampuni semua rakyatmu. Tentu saja Tupai tidak berani protes pada Ibu Peri. Itu semua hanyalah akal-akalan rakyatmu, agar Ibu Peri mengenal Tarzan,” seru Beruang yang mengkomandani penghuni hutan. Memang sebenarnya aksi protes Tupai kepada Peri Hutan dibuat agar Peri Hutan berkenalan dengan Tarzan,”
“Jadi…” seru Peri Hutan dan Tarzan yang juga dikerjai dan dikibuli binatang hutan. Peri dan Tarzan akhirnya tertawa riang bersama Tupai dan segenap binatang hutan. Meski dikerjai, Peri Hutan dan Tarzan tidak marah.
NONI
Serial Dewa-dewa -Siluet di Pinggir Pantai
SILUET DI PINGGIR PANTAI
Hampir semua ikan di Selat Biru pernah melihat seorang puteri yang amat khusyuk bertapa. Ia bersandar pada ranting-ranting kering dengan dedaunan liar yang tumbuh di pinggir pantai. Tubuhnya terbenam air, hanya kepalanya saja yang tampak. Gadis itu bertekad tidak akan meninggalkan pertapaannya barang sedetikpun sebelum doanya terkabul.
Pada suatu malam yang dingin di bulan ke delapan dari tapanya, Siluet, demikian nama puteri itu, tiba-tiba merasakan belaian tangan di kepalanya. Siluet kaget sekali, ia segera.mendongakkan kepalanya. Dilihatnya seorang puteri cantik bersama lelaki tampan yang mukanya luar biasa bercahaya.
“Wahai Paduka, Dewa-Dewi-kah yang telah mengusap kepala hamba?” tanya Siluet.
“Siluet, Aku Dewi Malam bersama Dewa Laut. Kami kagum pada tekadmu bertapa. Sudah tujuh bulan kau lakukan taba brata seperti ini. Sebenarnya apa maumu?” tanya Dewi Malam.
“Duh Dewi. Entahlah apa yang kucari karena aku tak tahu. Yang kuingin adalah melihat dengan mata kepalaku sendiri, apa yang bercahaya nun jauh di laut itu. Setiap malam aku melihat cahaya berkelap-kelip di permukaan laut. Apakah di dasar laut juga demikian? Aku ingin mengambil cahaya itu, lalu kutempel di wajahku, agar wajahku cantik bercahaya seperti Dewi Malam,” pinta Siluet berterus terang.
“Yang bercahaya di permukaan laut itu adalah Cacing Laut Betina. Cacing Laut Betina hanya hidup di tengah laut Segitiga Bermuda dan Segitiga Masalembo,” demikian Dewa Laut menerangkan.
“Sungguh hebat ciptaan Dewa Laut. Bolehkan hamba ingin melihat secara dekat Cacing Laut Betina. Sebab jika hamba mendekatinya dengan sampan, cahaya itu hilang. Jika kucari dengan menyelam, cahaya itupun tak tampak lagi. Di dasar laut yang dalam, aku juga mendengar bahwa ada Ubur-Ubur bercahaya yang amat indah. Wahai Dewa Laut, izinkanlah hamba melihatnya langsung.”
“Hanya itukah keinginanmu hingga bertapa 7 bulan di pinggir pantai?” tanya Dewa Laut.
“Ya Dewa, andai bawah laut memang demikian indah, Izinkanlah hamba menjadi ikan dan manusia yang cantik bercahaya,” pinta Siluet.
“Wahhh, aneh sekali permintaanmu! Kau ingin menjadi ikan? Begini saja, marilah kuajak melihat Cacing Laut Betina di tengah laut. Lalu menyelam di dasar laut yang dalam melihat Ubur-Ubur bercahaya. Jika kau suka, akan kupertimbangkan permohonanmu,” ajak Dewa Laut. Tentu saja Siluet sangat gembira diajak melihat hal-hal yang bercahaya di tengah laut. Artinya permohonan tapanya selama ini dikabulkan.
Maka berangkatlah Siluet diajak terbang oleh Dewa Laut dan Dewa Malam ke tengah laut. Siluet tidak takut. Ia bahkan sangat menikmati dibawa terbang oleh para Dewa hingga sampai di tengah laut. Dari atas, cahaya di tengah laut sudah tampak begitu indah.
Itulah Cacing Laut Betina. Ia hewan seperti Kunang-kunang di sawah, berkelip-kelip. ketika memperagakan kilau cahaya untuk menarik perhatian Cacing Laut Jantan dengan lampu kecilnya. Siluet amat kagum oleh permainan cahaya di tengah laut. Ribuan Cacing-cacing Betina dan Jantan berkumpul jadi satu selama beberapa lama hingga muncul planet Bulan di langit. Cahaya planet Bulan membuat Cacing-cacing itu menyelam di dasar laut, takut jika cahayanya direbut planet Bulan.
Siluet kecewa, Cacing-cacning itu hanya muncul tak lebih dari setengah jam. Padahal ia masih ingin melihat lebih lama. Akhirnya Dewa Laut mengajak Siluet menyelam di air.
“Tetapi kau tak mungkin bisa menyelam lebih dari 15 detik. Kamu harus berubah menjadi Ikan Duyung jika ingin melihat kedalaman dasar laut. Jika kau mau, kami juga akan menemanimu menjadi Ikan Duyung,” bujuk Dewa Laut dan Dewi Malam.
“Apakah Ikan Duyung itu Dewa Laut?”
“Ikan Duyung adalah manusia setengah ikan. Ekornya ikan kepalanya manusia. Mau?”
Tentu saja Siluet tidak menolak. Inilah saat yang ditunggu-tunggu, meski menjadi Ikan, itu tidak masalah asal ia bisa melihat apa yang ada di dasar laut. Maka tiba-tiba mereka bertiga sudah tercebur di tengah laut.
“Siluet, saat ini kakimu berubah menjadi ekor ikan. Jika kembali ke darat, kakimu akan berubah lagi menjadi kaki manusia biasa,” Siluet mengangguk. Ia sudah tak sabar diajak menyelam ke dasar laut.
“Kita gunakan tali, agar tidak terpisah, sebab di dalam laut gelap sekali.” Maka ketiga Duyung itu digandeng dengan tali dan mereka pun menyelam. Memang di dalam laut gelap sekali. Malam cukup dingin, cahaya Bulan tak bisa menembus kedalaman laut lebih dari 5 meter. Siluet tak bisa melihat apapun. Padahal mereka terus menyelam ke tambah dalam karena ingin melihat dasar laut.
“Siluet kita sudah berada 600 meter di bawah permukaan air laut,” kata Dewa Laut.
“Wah dalam sekali,” seru Siluet. “Sstt. tenanglah, sebentar lagi akan kau lihat sesuatu yang amat indah.”
Benar, sedikit ke dalam lagi, Siluet melihat pemandangan menakjubkan dari kegelapan lautan. Mereka adalah makhluk dasar laut. Jika di permukaan ada Cacing Laut Betina, di dasar laut ada makhluk yang memancarkan cahaya merah, hijau, biru, kuning dll. Dialah Ubur-ubur. Pertunjukan cahaya ini seperti melihat seni lukis hidup yang diperankan oleh Ubur-ubur. Tubuh Ubur-ubur lunak dan lembut seperti kaca. Ketika mengeluarkan cahaya, sinarnya memantul indah, apalagi ketika bergerak, pantulan cahaya bergoyang bersamaan dengan lenggak lenggoknya air. Sungguh memukau.
Siluet puas melihat dasar laut. Ia seperti bermimpi berada di antara cahaya yang bersimpangan di sekitar tubuhnya. Ia ingin menangkap, tetapi tangannya dijerat tali agar tidak terpisah dari Dewa Laut. Siluet gembira sekali. Iapun bermain-main dengan Ubur-ubur, bercakap-cakap dan bergembira bersama Ubur-ubur.
Ketika badannya terasa sangat lelah, Sikuet dibawa kembali ke pertapannya oleh Dewa Laut dan Dewi Malam. Ia mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada para Dewa. Namun ia tetap masih ingin sesuatu.
“Apalagi yang kau inginkan, Siluet?” tanya Dewi Malam.
“Hamba belum melihat dasar laut di siang hari. Sedangkan di dasar laut malam tadi, hamba tak sempat mengambil cahaya dari makhluk laut untuk kutempel di wajahku agar hamba menjadi cantik jelita,” kata Siluet.
“Di siang hari, dasar laut penuh dengan terumbu dan karang-karang dengan hiasan ikan laut aneka warna yang sangat indah,” kata Dewa Laut.
“Mohon hamba diajak kesana, dan bagaimana dengan cahaya di wajahku?” pinta Siluet.
“Siluet, kami harus segera pulang ke istana Dewa,” kata Dewi Malam. Siluet terus mendesak hingga kedua Dewa kewalahan. Akhirnya Siluet disuruh melihat sendiri dasar laut di siang hari.
“Baiklah. Agar bisa melihat dasar laut kapan pun kau mau, kau akan menjadi Ikan Duyung jika tubuhmu tersentuh air laut. Jika di darat, kau kembali menjadi manusia yang cantik bercahaya karena cahaya laut sudah menempel di wajahmu,” kata Dewa Laut dan Dewa Malam. Bersamaan dengan itu, tubuh Siluet mengalami kejang-kejang dan panas tinggi. Dewa Laut tertawa melihat Siluet amat kesakitan.
“Tidak apa-apa Siluet, hanya sakit sebentar karena adanya tambahan insang di dalam dadamu. Kalau kau panas tinggi itu karena masuknya cahaya jelita di wajahmu. Sekarang kami akan pulang ke Istana Dewa,” pamit dua Dewa yang telah hilang dari pandangan Siluet.
Kini Siluet bahagia sekali, tapa bratanya telah terkabul. Rasa penasaran tiap hari melihat kelap kelip di laut, sudah dibuktikan dengan melihat Cacing Laut Bercahaya. Sebelumnya tiap hari Siluet memang melihat laut karena rumahnya di pinggir pantai. Ketika hendak pergi bertapa, ayah ibunya melarang, sehingga ia pergi tanpa pamit. Kini ia akan pulang dengan segudang cerita indah kepada ayah ibu dan saudara-saudaranya.
Syahdan, kepulangan Siluet disambut dengan sangat bahagia oleh segenap keluarga dan penduduk kampungnya. Apalagi kini Siluet bertambah sangat cantik jelita, wajahnya bercahaya, kulitnya putih halus, sikapnya lembut, hatinya baik dan pandai bercerita tentang kehidupan bawah laut dengan sangat mempesona, sehingga pendengarnya terkagum-kagum oleh cerita Siluet.
Karena rumahnya di pinggir pantai, ia sering diajak teman-temannya berenang di pantai. Saat tersentuh air, ia menjadi Ikan Duyung kembali, dan ia langsung menyelam ke air hingga ke dasar- laut. Tak ada seorang penduduk kampungpun yang mampu mencari Siluet di dasar laut. Tak lama kemudian ketika teman-teman masih ribut mencari Siluet, Siluet sudah menampakkan diri di dataran tinggi sambil melambai-lambai.
Namun rahasia Siluet akhirnya tersingkap juga. Banyak penduduk yang pernah memergoki Siluet menjadi Ikan Duyung. Ketika didesak, akhirnya Siluet mengakui bahwa ia akan menjadi Ikan Duyung jika tersentuh air laut. Berita ini mengagetkan seluruh penduduk kampung. Maka cerita Siluet tentang kehidupan bawah laut akhirnya dipercayai.
Keberadaan Siluet sebagai manusia Ikan terdengar hingga istana raja. Pangeran Mahkota ingin berkenalan dengan puteri pantai yang katanya cantik jelita itu. Maka datanglah Sang Pangeran berkunjung ke rumah Siluet. Benar, Pangeran langsung jatuh cinta dan ingin melamarnya. Tentu Siluet tidak menolak, dan kini ia menjadi Ratu di Kerajaan Kota.
Jika malam amat gelap dan Siluet rindu berjoget dengan Ubur-ubur, ia pun terjun ke laut. Dan jika kangen melihat terumbu karang dan ikan laut yang indah-indah, Siluet juga terjun ke laut di siang hari. Pangeran Mahkota hanya menunggu di kapal kerajaan di tengah laut. Pangeran tidak pernah marah jika Siluet ingin bercanda dengan teman-teman lautnya.
Demikianlah cerita Siluet. Tekadnya untuk melihat cahaya di laut dikejar dengan tapa brata tanpa mengeluh. Ketika telah menjadi Ratu, Siluet tetap menjadi gadis ramah dan selalu mengunjungi teman Ubur-ubur dan Cacing Laut bercahaya. Siluet tidak canggung dengan sebutan Ratu Ikan Duyung. Ia malah bangga menjadi manusia setengah ikan.
NONI
Hampir semua ikan di Selat Biru pernah melihat seorang puteri yang amat khusyuk bertapa. Ia bersandar pada ranting-ranting kering dengan dedaunan liar yang tumbuh di pinggir pantai. Tubuhnya terbenam air, hanya kepalanya saja yang tampak. Gadis itu bertekad tidak akan meninggalkan pertapaannya barang sedetikpun sebelum doanya terkabul.
Pada suatu malam yang dingin di bulan ke delapan dari tapanya, Siluet, demikian nama puteri itu, tiba-tiba merasakan belaian tangan di kepalanya. Siluet kaget sekali, ia segera.mendongakkan kepalanya. Dilihatnya seorang puteri cantik bersama lelaki tampan yang mukanya luar biasa bercahaya.
“Wahai Paduka, Dewa-Dewi-kah yang telah mengusap kepala hamba?” tanya Siluet.
“Siluet, Aku Dewi Malam bersama Dewa Laut. Kami kagum pada tekadmu bertapa. Sudah tujuh bulan kau lakukan taba brata seperti ini. Sebenarnya apa maumu?” tanya Dewi Malam.
“Duh Dewi. Entahlah apa yang kucari karena aku tak tahu. Yang kuingin adalah melihat dengan mata kepalaku sendiri, apa yang bercahaya nun jauh di laut itu. Setiap malam aku melihat cahaya berkelap-kelip di permukaan laut. Apakah di dasar laut juga demikian? Aku ingin mengambil cahaya itu, lalu kutempel di wajahku, agar wajahku cantik bercahaya seperti Dewi Malam,” pinta Siluet berterus terang.
“Yang bercahaya di permukaan laut itu adalah Cacing Laut Betina. Cacing Laut Betina hanya hidup di tengah laut Segitiga Bermuda dan Segitiga Masalembo,” demikian Dewa Laut menerangkan.
“Sungguh hebat ciptaan Dewa Laut. Bolehkan hamba ingin melihat secara dekat Cacing Laut Betina. Sebab jika hamba mendekatinya dengan sampan, cahaya itu hilang. Jika kucari dengan menyelam, cahaya itupun tak tampak lagi. Di dasar laut yang dalam, aku juga mendengar bahwa ada Ubur-Ubur bercahaya yang amat indah. Wahai Dewa Laut, izinkanlah hamba melihatnya langsung.”
“Hanya itukah keinginanmu hingga bertapa 7 bulan di pinggir pantai?” tanya Dewa Laut.
“Ya Dewa, andai bawah laut memang demikian indah, Izinkanlah hamba menjadi ikan dan manusia yang cantik bercahaya,” pinta Siluet.
“Wahhh, aneh sekali permintaanmu! Kau ingin menjadi ikan? Begini saja, marilah kuajak melihat Cacing Laut Betina di tengah laut. Lalu menyelam di dasar laut yang dalam melihat Ubur-Ubur bercahaya. Jika kau suka, akan kupertimbangkan permohonanmu,” ajak Dewa Laut. Tentu saja Siluet sangat gembira diajak melihat hal-hal yang bercahaya di tengah laut. Artinya permohonan tapanya selama ini dikabulkan.
Maka berangkatlah Siluet diajak terbang oleh Dewa Laut dan Dewa Malam ke tengah laut. Siluet tidak takut. Ia bahkan sangat menikmati dibawa terbang oleh para Dewa hingga sampai di tengah laut. Dari atas, cahaya di tengah laut sudah tampak begitu indah.
Itulah Cacing Laut Betina. Ia hewan seperti Kunang-kunang di sawah, berkelip-kelip. ketika memperagakan kilau cahaya untuk menarik perhatian Cacing Laut Jantan dengan lampu kecilnya. Siluet amat kagum oleh permainan cahaya di tengah laut. Ribuan Cacing-cacing Betina dan Jantan berkumpul jadi satu selama beberapa lama hingga muncul planet Bulan di langit. Cahaya planet Bulan membuat Cacing-cacing itu menyelam di dasar laut, takut jika cahayanya direbut planet Bulan.
Siluet kecewa, Cacing-cacning itu hanya muncul tak lebih dari setengah jam. Padahal ia masih ingin melihat lebih lama. Akhirnya Dewa Laut mengajak Siluet menyelam di air.
“Tetapi kau tak mungkin bisa menyelam lebih dari 15 detik. Kamu harus berubah menjadi Ikan Duyung jika ingin melihat kedalaman dasar laut. Jika kau mau, kami juga akan menemanimu menjadi Ikan Duyung,” bujuk Dewa Laut dan Dewi Malam.
“Apakah Ikan Duyung itu Dewa Laut?”
“Ikan Duyung adalah manusia setengah ikan. Ekornya ikan kepalanya manusia. Mau?”
Tentu saja Siluet tidak menolak. Inilah saat yang ditunggu-tunggu, meski menjadi Ikan, itu tidak masalah asal ia bisa melihat apa yang ada di dasar laut. Maka tiba-tiba mereka bertiga sudah tercebur di tengah laut.
“Siluet, saat ini kakimu berubah menjadi ekor ikan. Jika kembali ke darat, kakimu akan berubah lagi menjadi kaki manusia biasa,” Siluet mengangguk. Ia sudah tak sabar diajak menyelam ke dasar laut.
“Kita gunakan tali, agar tidak terpisah, sebab di dalam laut gelap sekali.” Maka ketiga Duyung itu digandeng dengan tali dan mereka pun menyelam. Memang di dalam laut gelap sekali. Malam cukup dingin, cahaya Bulan tak bisa menembus kedalaman laut lebih dari 5 meter. Siluet tak bisa melihat apapun. Padahal mereka terus menyelam ke tambah dalam karena ingin melihat dasar laut.
“Siluet kita sudah berada 600 meter di bawah permukaan air laut,” kata Dewa Laut.
“Wah dalam sekali,” seru Siluet. “Sstt. tenanglah, sebentar lagi akan kau lihat sesuatu yang amat indah.”
Benar, sedikit ke dalam lagi, Siluet melihat pemandangan menakjubkan dari kegelapan lautan. Mereka adalah makhluk dasar laut. Jika di permukaan ada Cacing Laut Betina, di dasar laut ada makhluk yang memancarkan cahaya merah, hijau, biru, kuning dll. Dialah Ubur-ubur. Pertunjukan cahaya ini seperti melihat seni lukis hidup yang diperankan oleh Ubur-ubur. Tubuh Ubur-ubur lunak dan lembut seperti kaca. Ketika mengeluarkan cahaya, sinarnya memantul indah, apalagi ketika bergerak, pantulan cahaya bergoyang bersamaan dengan lenggak lenggoknya air. Sungguh memukau.
Siluet puas melihat dasar laut. Ia seperti bermimpi berada di antara cahaya yang bersimpangan di sekitar tubuhnya. Ia ingin menangkap, tetapi tangannya dijerat tali agar tidak terpisah dari Dewa Laut. Siluet gembira sekali. Iapun bermain-main dengan Ubur-ubur, bercakap-cakap dan bergembira bersama Ubur-ubur.
Ketika badannya terasa sangat lelah, Sikuet dibawa kembali ke pertapannya oleh Dewa Laut dan Dewi Malam. Ia mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada para Dewa. Namun ia tetap masih ingin sesuatu.
“Apalagi yang kau inginkan, Siluet?” tanya Dewi Malam.
“Hamba belum melihat dasar laut di siang hari. Sedangkan di dasar laut malam tadi, hamba tak sempat mengambil cahaya dari makhluk laut untuk kutempel di wajahku agar hamba menjadi cantik jelita,” kata Siluet.
“Di siang hari, dasar laut penuh dengan terumbu dan karang-karang dengan hiasan ikan laut aneka warna yang sangat indah,” kata Dewa Laut.
“Mohon hamba diajak kesana, dan bagaimana dengan cahaya di wajahku?” pinta Siluet.
“Siluet, kami harus segera pulang ke istana Dewa,” kata Dewi Malam. Siluet terus mendesak hingga kedua Dewa kewalahan. Akhirnya Siluet disuruh melihat sendiri dasar laut di siang hari.
“Baiklah. Agar bisa melihat dasar laut kapan pun kau mau, kau akan menjadi Ikan Duyung jika tubuhmu tersentuh air laut. Jika di darat, kau kembali menjadi manusia yang cantik bercahaya karena cahaya laut sudah menempel di wajahmu,” kata Dewa Laut dan Dewa Malam. Bersamaan dengan itu, tubuh Siluet mengalami kejang-kejang dan panas tinggi. Dewa Laut tertawa melihat Siluet amat kesakitan.
“Tidak apa-apa Siluet, hanya sakit sebentar karena adanya tambahan insang di dalam dadamu. Kalau kau panas tinggi itu karena masuknya cahaya jelita di wajahmu. Sekarang kami akan pulang ke Istana Dewa,” pamit dua Dewa yang telah hilang dari pandangan Siluet.
Kini Siluet bahagia sekali, tapa bratanya telah terkabul. Rasa penasaran tiap hari melihat kelap kelip di laut, sudah dibuktikan dengan melihat Cacing Laut Bercahaya. Sebelumnya tiap hari Siluet memang melihat laut karena rumahnya di pinggir pantai. Ketika hendak pergi bertapa, ayah ibunya melarang, sehingga ia pergi tanpa pamit. Kini ia akan pulang dengan segudang cerita indah kepada ayah ibu dan saudara-saudaranya.
Syahdan, kepulangan Siluet disambut dengan sangat bahagia oleh segenap keluarga dan penduduk kampungnya. Apalagi kini Siluet bertambah sangat cantik jelita, wajahnya bercahaya, kulitnya putih halus, sikapnya lembut, hatinya baik dan pandai bercerita tentang kehidupan bawah laut dengan sangat mempesona, sehingga pendengarnya terkagum-kagum oleh cerita Siluet.
Karena rumahnya di pinggir pantai, ia sering diajak teman-temannya berenang di pantai. Saat tersentuh air, ia menjadi Ikan Duyung kembali, dan ia langsung menyelam ke air hingga ke dasar- laut. Tak ada seorang penduduk kampungpun yang mampu mencari Siluet di dasar laut. Tak lama kemudian ketika teman-teman masih ribut mencari Siluet, Siluet sudah menampakkan diri di dataran tinggi sambil melambai-lambai.
Namun rahasia Siluet akhirnya tersingkap juga. Banyak penduduk yang pernah memergoki Siluet menjadi Ikan Duyung. Ketika didesak, akhirnya Siluet mengakui bahwa ia akan menjadi Ikan Duyung jika tersentuh air laut. Berita ini mengagetkan seluruh penduduk kampung. Maka cerita Siluet tentang kehidupan bawah laut akhirnya dipercayai.
Keberadaan Siluet sebagai manusia Ikan terdengar hingga istana raja. Pangeran Mahkota ingin berkenalan dengan puteri pantai yang katanya cantik jelita itu. Maka datanglah Sang Pangeran berkunjung ke rumah Siluet. Benar, Pangeran langsung jatuh cinta dan ingin melamarnya. Tentu Siluet tidak menolak, dan kini ia menjadi Ratu di Kerajaan Kota.
Jika malam amat gelap dan Siluet rindu berjoget dengan Ubur-ubur, ia pun terjun ke laut. Dan jika kangen melihat terumbu karang dan ikan laut yang indah-indah, Siluet juga terjun ke laut di siang hari. Pangeran Mahkota hanya menunggu di kapal kerajaan di tengah laut. Pangeran tidak pernah marah jika Siluet ingin bercanda dengan teman-teman lautnya.
Demikianlah cerita Siluet. Tekadnya untuk melihat cahaya di laut dikejar dengan tapa brata tanpa mengeluh. Ketika telah menjadi Ratu, Siluet tetap menjadi gadis ramah dan selalu mengunjungi teman Ubur-ubur dan Cacing Laut bercahaya. Siluet tidak canggung dengan sebutan Ratu Ikan Duyung. Ia malah bangga menjadi manusia setengah ikan.
NONI
Serial dewa-dewa - Ratu Burung Dipedaya
RATU BURUNG DIPERDAYA
Di hutan yang berbatasan dengan lading penduduk, burung-burung sedang berhias diri dengan sangat antusias. Maklum, selama ini mereka sudah jemu mengikuti idol; bernyanyi, bersiul dan bersuara bagus. Biasanya Cocakrowo dan Perkutut yang jadi pemenang. Maka ketika Peri Angin mengadakan lomba burung paling indah, paling cantik dan paling pintar bergaya, buru-buru semua burung pergi ke salon dan privat khusus modelling. Semuanya bermaksud ingin menjadi juara ratu burung terelok.
Sebelum lomba, suasananya ribut sekali. Untuk berhias, burung Kasuari minta bantuan ayam Kate. Maklum ayam Kate memang pintar berdandan. Si Kate sendiri mengejek Angsa yang hanya luluran memutihkan bulunya. Ada lagi burung Podang, ia bertapa memohon kepada Candik Ayu di langit agar diberi sinar kuning keemasan. Burung Dara mohon kecantikan pada planet Bulan, burung Betet menggosok paruhnya dengan kunir, sedangkan Bebek belajar goyang ngebor pada si Ratu Ngebor. Melihat Bebek ngebor, burung Bangau lantas meniru tingkah Jerapah yang sedang beraksi. Sementara itu burung-burung lain juga berbuat senada.
Tak terkecuali burung Merak. Agar menjadi juara, tak tanggung-tanggung, Merak langsung mengamati wibawa ratu bumi, Cleopatra. Bagaimana cara dan sikap Sang Ratu duduk, melangkahkan kaki, menggoyang bokong dan melirikkan bola mata, Merak sangat cermat menirunya. Agar bulunya indah, dia bertanya kepada para pelukis. Hebatnya Merak juga mengambil inti sinar matahari untuk menyilaukan warna bulunya.
Tepat pada hari lomba, semua burung memamerkan wajah dan gayanya. Burung-burung sangat pintar berhias, terutama burung Cendrawasih dari Irian. Termasuk Merak. Dengan gaya penuh PD, 30 Merak beraksi di panggung. Setelah memberi hormat pada juri, pelan-pelan bulu panjang Merak dinaikkan hingga membentang seperti kipas. Tiap bulu kipas dihiasi bulatan mata-mata belo di ujung-ujungnya.
Karena mereka memilih sejuta warna, jadilah pameran warna ajaib yang sangat alami. Apalagi di bawah kilau sinar matahari, bulu-bulu Merak memantulkan pesona warna gemerlap. Merak pun berjoget ketika musik dibunyikan. Tariannya sungguh mencengangkan. Kelembutan gerak tarinya tak kalah memukau dibandingkan gemulai penari Bedaya.
Tak heran jika keelokan Merak tak tersaingi. Mereka menjadi juara. Penonton bertepuk riuh mengagumi keelokan Merak. Salah satu penonton yang langsung jatuh hati, kagum dan jadi sangat sayang pada Merak adalah si raja hutan, Harimau.
Merak sangat bangga. Iapun terus menari dan memperlihatkan pesona keindahan bulu-bulunya kepada segenap binatang hutan. Saat seluruh binatang lain lari tunggang langgang karena datangnya singa lapar, Merak tak sadar sehingga tidak sempat melarikan diri. Padahal Singa dan Harimau sudah berada di hadapannya.
Namun, saking cantiknya Merak membuat Singa dan Harimau tidak tega memakannya. Merekapun akhirnya berteman akrab dan tak seekor Merak pun yang pernah di makan Harimau di hutan. Maka Merak jadi angkuh. Dialah satu-satunya penghuni hutan yang tidak takut terhadap harimau. Karena berteman dan berlindung kepada si raja hutan, Merak lepas dari incaran Beruang, Monyet atau Buaya atau binatang besar lainnya..
Tetapi pada suatu hari, hutan ladang sangat ribut. "Tok-tok keeeerrraaaooo! Tok-tok keeeerrraaaaoooo!" Teriakan histeris dikumandangkan burung-burung Merak. Hal ini sangat mengangetkan Peri Angin. Bagi Peri Angin, tidak biasanya burung paling indah di hutan ini berteriak. Mereka burung yang paling tak suka bikin ribut dan selalu dilindungi si Raja Hutan.
Ibu Peri menduga burung Merak pasti diganggu kawanan Babi Hutan sebab keindahan bulu-bulu Merak telah menimbulkan kecemburuan mereka. Memang, Babi Hutan sangat kecewa kepada Peri Hutan karena tubuhnya diciptakan sangat buruk. Kulitnya hitam, perutnya gendut, kepalanya kecil, mulutnya nyongor, kakinya pendek dan hidupnya di tempat kotor. Padahal Singa punya kulit yang indah. Adapun Gajah, meski berkulit hitam, tetapi tubuhnya besar, telinganya lebar dan punya belalai panjang. Babi takut protes kepada Peri Hutan. Salah-salah Peri Hutan marah, tubuhnya malah dibuat lebih buruk lagi.
Itulah sebabnya Babi Hutan sering menganggu Merak. Mengapa? Karena Babi Hutan tak mungkin menggoda atau cemburu pada Singa, bisa jadi malah dimangsa. Andai Babi mengganggu Gajah, bisa diinjak sampai remuk. Jadi si Ratu Burunglah yang jadi pelampiasan marahnya.
Maka pada pagi itu Peri Angin langsung mendatangi Peri Hutan. “Wahai Peri Hutan, kamu memang Peri yang tak punya selera seni. Rakyat ciptaanmu si buruk rupa Babi Hutan selalu mengganggu burung ciptaanku, si cantik Merak. Dengarlah, hutan-hutan ribut oleh teriakan Merak. Kamu harus menghukum Babi Hutan,” kata Peri Angin.
Didamprat demikian, Peri Hutan jadi malu. Tanpa pamit, Peri Hutan langsung turun ke bumi untuk menghukum Babi Hutan. Namun Peri Hutan melihat si Babi sedang tidur mendengkur, sama sekali tidak mengganggu burung Merak.
Tiba-tiba Peri Hutan melihat ada makhluk manusia berkepala Harimau yang sedang mengejar Merak untuk ditangkap. Solider kepada Peri Angin, Peri Hutan mengikuti tingkah laku manusia Harimau yang membawa bedil dengan moncong peluru yang siap ditembakkan.
Dengan cepat Peri Hutan meceritakan kesaksiannya kepada Peri Angin. Kontan Peri Angin khawatir. Selama ini banyak Merak yang terbantai. Ternyata manusia Harimau yang membunuhi rakyatnya. Peri Angin segera terbang ke hutan. Benar. Ada 3 manusia berkepala Harimau. Setelah diteliti, ternyata mereka adalah manusia yang memakai baju dan topeng Harimau. Mereka mengincar bulu-bulu indah Merak untuk dijual karena harganya selangit.
“Sebaiknya mereka diberi pelajaran agar Merak tidak punah karena terus diburu,” kata Peri Angin.
“Itu karena kamu Peri seniman, sehingga lupa tidak mengajari Merak berlari cepat. Merak menjadi burung yang malas terbang, lamban berjalan dan ekornya kebesaran,” hardik Peri Hutan membalas ejekan Peri Angin tadi.
“Kamu mengejek Ratu Burungku. Ingat Harimau-harimaumu memuja Merakku,” timpal Peri Angin.
“Itulah sebabnya Merak gampang ditipu. Orang berkepala Harimau dikira Harimau asli. Maka ia gampang ditangkap manusia bertopeng harimau, lalu dibunuh. Bulunya dicabuti, dijual dijadikan reog,” kata Peri Hutan.
Peri Angin menunduk malu. Singkat kata manusia berkepala harimau itu lalu ditangkap kedua Peri Hewan tadi, lalu diinterogasi.
“Wahai manusia, untuk apakah kau tangkap burung Merakku?”
“Karena bulunya indah, harganya mahal, sedangkan dagingnya empuk hingga enak dimakan,” jawab manusia.
“Harimau saja tak tega memakannya, kenapa manusia tega?” tanya Peri Angin lagi.
“Kami sulit menangkap Babi Hutan karena larinya cepat dan suka menyelip di semak belukar. Jika mendapat Babi Hutan, kulitnya tak laku dijual, dagingnya pun tidak enak dimakan. Maka kami lebih suka menangkap Merak,” bela manusia.
Kedua Peri saling berpandangan. Kini mereka tahu bahwa selama ini, Peri Hutan sibuk berpikir bagaimana binatang hutan bisa hidup kuat, bisa berperang mencari makan dan bisa bertahan agar tidak kalah. Makanya Peri Hutan mencipta hewan-hewannya tanpa rasa seni blasss, sama sekali tidak indah kecuali kuat dan gagah.
Sedangkan Peri Angin, ia terlalu sibuk mencipta keindahan burung-burungnya sehingga lupa memberi kekuatan fisik. Makanya burung Merak kekurangan daya tahan dan kurang akal jika diserang musuh. Setelah melepas manusia berkepala harimau, kedua peri itu pulang ke Istana Dewa sambil berpikir keras bagaimana memberi kelebihan yang sempurna kepada binatang-binatang yang masih banyak kekurangannya.
NONI
Di hutan yang berbatasan dengan lading penduduk, burung-burung sedang berhias diri dengan sangat antusias. Maklum, selama ini mereka sudah jemu mengikuti idol; bernyanyi, bersiul dan bersuara bagus. Biasanya Cocakrowo dan Perkutut yang jadi pemenang. Maka ketika Peri Angin mengadakan lomba burung paling indah, paling cantik dan paling pintar bergaya, buru-buru semua burung pergi ke salon dan privat khusus modelling. Semuanya bermaksud ingin menjadi juara ratu burung terelok.
Sebelum lomba, suasananya ribut sekali. Untuk berhias, burung Kasuari minta bantuan ayam Kate. Maklum ayam Kate memang pintar berdandan. Si Kate sendiri mengejek Angsa yang hanya luluran memutihkan bulunya. Ada lagi burung Podang, ia bertapa memohon kepada Candik Ayu di langit agar diberi sinar kuning keemasan. Burung Dara mohon kecantikan pada planet Bulan, burung Betet menggosok paruhnya dengan kunir, sedangkan Bebek belajar goyang ngebor pada si Ratu Ngebor. Melihat Bebek ngebor, burung Bangau lantas meniru tingkah Jerapah yang sedang beraksi. Sementara itu burung-burung lain juga berbuat senada.
Tak terkecuali burung Merak. Agar menjadi juara, tak tanggung-tanggung, Merak langsung mengamati wibawa ratu bumi, Cleopatra. Bagaimana cara dan sikap Sang Ratu duduk, melangkahkan kaki, menggoyang bokong dan melirikkan bola mata, Merak sangat cermat menirunya. Agar bulunya indah, dia bertanya kepada para pelukis. Hebatnya Merak juga mengambil inti sinar matahari untuk menyilaukan warna bulunya.
Tepat pada hari lomba, semua burung memamerkan wajah dan gayanya. Burung-burung sangat pintar berhias, terutama burung Cendrawasih dari Irian. Termasuk Merak. Dengan gaya penuh PD, 30 Merak beraksi di panggung. Setelah memberi hormat pada juri, pelan-pelan bulu panjang Merak dinaikkan hingga membentang seperti kipas. Tiap bulu kipas dihiasi bulatan mata-mata belo di ujung-ujungnya.
Karena mereka memilih sejuta warna, jadilah pameran warna ajaib yang sangat alami. Apalagi di bawah kilau sinar matahari, bulu-bulu Merak memantulkan pesona warna gemerlap. Merak pun berjoget ketika musik dibunyikan. Tariannya sungguh mencengangkan. Kelembutan gerak tarinya tak kalah memukau dibandingkan gemulai penari Bedaya.
Tak heran jika keelokan Merak tak tersaingi. Mereka menjadi juara. Penonton bertepuk riuh mengagumi keelokan Merak. Salah satu penonton yang langsung jatuh hati, kagum dan jadi sangat sayang pada Merak adalah si raja hutan, Harimau.
Merak sangat bangga. Iapun terus menari dan memperlihatkan pesona keindahan bulu-bulunya kepada segenap binatang hutan. Saat seluruh binatang lain lari tunggang langgang karena datangnya singa lapar, Merak tak sadar sehingga tidak sempat melarikan diri. Padahal Singa dan Harimau sudah berada di hadapannya.
Namun, saking cantiknya Merak membuat Singa dan Harimau tidak tega memakannya. Merekapun akhirnya berteman akrab dan tak seekor Merak pun yang pernah di makan Harimau di hutan. Maka Merak jadi angkuh. Dialah satu-satunya penghuni hutan yang tidak takut terhadap harimau. Karena berteman dan berlindung kepada si raja hutan, Merak lepas dari incaran Beruang, Monyet atau Buaya atau binatang besar lainnya..
Tetapi pada suatu hari, hutan ladang sangat ribut. "Tok-tok keeeerrraaaooo! Tok-tok keeeerrraaaaoooo!" Teriakan histeris dikumandangkan burung-burung Merak. Hal ini sangat mengangetkan Peri Angin. Bagi Peri Angin, tidak biasanya burung paling indah di hutan ini berteriak. Mereka burung yang paling tak suka bikin ribut dan selalu dilindungi si Raja Hutan.
Ibu Peri menduga burung Merak pasti diganggu kawanan Babi Hutan sebab keindahan bulu-bulu Merak telah menimbulkan kecemburuan mereka. Memang, Babi Hutan sangat kecewa kepada Peri Hutan karena tubuhnya diciptakan sangat buruk. Kulitnya hitam, perutnya gendut, kepalanya kecil, mulutnya nyongor, kakinya pendek dan hidupnya di tempat kotor. Padahal Singa punya kulit yang indah. Adapun Gajah, meski berkulit hitam, tetapi tubuhnya besar, telinganya lebar dan punya belalai panjang. Babi takut protes kepada Peri Hutan. Salah-salah Peri Hutan marah, tubuhnya malah dibuat lebih buruk lagi.
Itulah sebabnya Babi Hutan sering menganggu Merak. Mengapa? Karena Babi Hutan tak mungkin menggoda atau cemburu pada Singa, bisa jadi malah dimangsa. Andai Babi mengganggu Gajah, bisa diinjak sampai remuk. Jadi si Ratu Burunglah yang jadi pelampiasan marahnya.
Maka pada pagi itu Peri Angin langsung mendatangi Peri Hutan. “Wahai Peri Hutan, kamu memang Peri yang tak punya selera seni. Rakyat ciptaanmu si buruk rupa Babi Hutan selalu mengganggu burung ciptaanku, si cantik Merak. Dengarlah, hutan-hutan ribut oleh teriakan Merak. Kamu harus menghukum Babi Hutan,” kata Peri Angin.
Didamprat demikian, Peri Hutan jadi malu. Tanpa pamit, Peri Hutan langsung turun ke bumi untuk menghukum Babi Hutan. Namun Peri Hutan melihat si Babi sedang tidur mendengkur, sama sekali tidak mengganggu burung Merak.
Tiba-tiba Peri Hutan melihat ada makhluk manusia berkepala Harimau yang sedang mengejar Merak untuk ditangkap. Solider kepada Peri Angin, Peri Hutan mengikuti tingkah laku manusia Harimau yang membawa bedil dengan moncong peluru yang siap ditembakkan.
Dengan cepat Peri Hutan meceritakan kesaksiannya kepada Peri Angin. Kontan Peri Angin khawatir. Selama ini banyak Merak yang terbantai. Ternyata manusia Harimau yang membunuhi rakyatnya. Peri Angin segera terbang ke hutan. Benar. Ada 3 manusia berkepala Harimau. Setelah diteliti, ternyata mereka adalah manusia yang memakai baju dan topeng Harimau. Mereka mengincar bulu-bulu indah Merak untuk dijual karena harganya selangit.
“Sebaiknya mereka diberi pelajaran agar Merak tidak punah karena terus diburu,” kata Peri Angin.
“Itu karena kamu Peri seniman, sehingga lupa tidak mengajari Merak berlari cepat. Merak menjadi burung yang malas terbang, lamban berjalan dan ekornya kebesaran,” hardik Peri Hutan membalas ejekan Peri Angin tadi.
“Kamu mengejek Ratu Burungku. Ingat Harimau-harimaumu memuja Merakku,” timpal Peri Angin.
“Itulah sebabnya Merak gampang ditipu. Orang berkepala Harimau dikira Harimau asli. Maka ia gampang ditangkap manusia bertopeng harimau, lalu dibunuh. Bulunya dicabuti, dijual dijadikan reog,” kata Peri Hutan.
Peri Angin menunduk malu. Singkat kata manusia berkepala harimau itu lalu ditangkap kedua Peri Hewan tadi, lalu diinterogasi.
“Wahai manusia, untuk apakah kau tangkap burung Merakku?”
“Karena bulunya indah, harganya mahal, sedangkan dagingnya empuk hingga enak dimakan,” jawab manusia.
“Harimau saja tak tega memakannya, kenapa manusia tega?” tanya Peri Angin lagi.
“Kami sulit menangkap Babi Hutan karena larinya cepat dan suka menyelip di semak belukar. Jika mendapat Babi Hutan, kulitnya tak laku dijual, dagingnya pun tidak enak dimakan. Maka kami lebih suka menangkap Merak,” bela manusia.
Kedua Peri saling berpandangan. Kini mereka tahu bahwa selama ini, Peri Hutan sibuk berpikir bagaimana binatang hutan bisa hidup kuat, bisa berperang mencari makan dan bisa bertahan agar tidak kalah. Makanya Peri Hutan mencipta hewan-hewannya tanpa rasa seni blasss, sama sekali tidak indah kecuali kuat dan gagah.
Sedangkan Peri Angin, ia terlalu sibuk mencipta keindahan burung-burungnya sehingga lupa memberi kekuatan fisik. Makanya burung Merak kekurangan daya tahan dan kurang akal jika diserang musuh. Setelah melepas manusia berkepala harimau, kedua peri itu pulang ke Istana Dewa sambil berpikir keras bagaimana memberi kelebihan yang sempurna kepada binatang-binatang yang masih banyak kekurangannya.
NONI
Langganan:
Postingan (Atom)