MERAH DARAH RAKYAT BANTENG
Padang rumput paling subur bernama Padang Eco selalu ramai dikunjungi semua binatang pemakan rumput. Rumputnya gemuk, panjang, gede-gede, hijau segar dan rasanya nikmat. Apalagi pemandangan disini juga sangat indah, bisa melihat nun jauh disana, tampak lautan biru. Adapun di bawah bukit kecil itu juga penuh dengan tanaman hijau, buah-buahan dan sayur mayur.
Rumput di Eco tak pernah habis. Tiap kali dilahap hewan-hewan, esok paginya sudah tumbuh lagi. Kian banyak hewan yang datang, rumputnya makin luas saja, tak pernah habis, tak pernah kering dan tak pernah gundul. Kabar ini tersebar di segala penjuru dunia, hingga banyak hewan yang datang untuk menikmati sedapnya rumput Padang Eco.
Rumput nikmat Padang Eco ini dinamakan Rumput Gajah. Kadang Gajah amat marah, rumput yang bukan makanan kesukaannya dinamai Rumput Gajah. Maklum Gajah lebih suka buah-buahan daripada rumput atau jerami. Seperti saat itu, didengarnya kawanan berbagai binatang sedang ramai makan siang di padang Eco. Termasuk kawanan Banteng yang rumahnya jauh di tengah hutan. Mereka kadang-kadang datang ke padang Eco untuk melahap nikmatnya rumput padang Eco.
“Aku suka makan disini karena Rumput Gajah-nya enak sekali, maklum rumputnya gemuk-gemuk dan gede-gede, persis seperti Pak Gajah. Andai rumputnya punya belalai, pasti lebih enak, kayak makan pizza ditambah es krim,” kata Banteng jantan yang gemuk. Gajah yang mendengar komentar Banteng merasa tersinggung karena rumput dikaitkan dengan belalainya.
Tetapi Gajah tidak berani mendamprat kawanan Banteng, maklum jumlah kawanan Gajah hanya se RT, sedangkan kawanan Banteng datang sekampung. Gajah-gajah itu kemudian menjauh dari kawanan Banteng dan pergi ke kubangan untuk berendam lumpur.
Pada suatu hari, musim kemarau tak juga berhenti. Hujan yang diharapkan datang, tak kunjung turun. Air sungai sudah kering, telaga berganti persawahan dan danaupun telah mengeras menjadi padang tanah tandus yang tanahnya pecah-pecah. Tidaklah heran jika padang rumput Eco yang subur itu lama-lama kian menipis. Padahal binatang yang datang disana kian banyak karena lumbung rumput di daerah lain sudah gundul klimis. Maka semua binatang hutan akhirnya menumpahkan harapan hidup pada rumput Eco.
Akhirnya rumput Eco tak mampu tumbuh cepat karena si pemakan lebih banyak dibanding pertumbuhannya. Dalam waktu tak lebih dari sebulan persediaan rumput Eco untuk pertama kalinya tak mampu mencukupi kebutuhan makan binatang hutan. Tiap pagi, Eco sudah penuh binatang yang takut tak kebagian rumput. Lama-lama rumput jadi rebutan, meningkat menjadi pertengkaran, lalu perang mulut hingga adu kekuatan.
Keadaan ini sangat meresahkan penduduk Eco. Perang antar binatang karena berebut rumput sudah sering terjadi. Hujan tak kunjung turun, Eco kian akrab dengan darah hasil perkelahian antar binatang. Rumput Eco jadi tak nikmat karena tercampur bau bangkai dari hewan-hewan yang kalah dihajar lawan.
Sebenarnya Gajah suka dengan keadaan ini. Ia masih bisa makan buah dan kini nama Rumput Gajah tak populer karena rumput Eco sudah kecil, kuning dan tidak enak dimakan. Eco juga kian sepi. Entah kemana binatang-binatang mencari makan. Kabarnya banyak hewan yang migrasi mencari kehidupan baru.
Sedangkan di tengah hutan, Banteng-banteng juga sudah kehabisan rumput. Mereka bermaksud pergi ke Padang Eco untuk mencari makan. “Kawan-kawan, karena rumput di rumah sudah habis, besok pagi kita pergi ke Padang Eco untuk mencari makan. Rumput Gajah disana nikmat, kan,” kata ketua Bantengnya. Maka di pagi-pagi buta, se kampung Banteng sudah berjalan beriringan. Siang harinya mereka sudah sampai. Betapa kaget kawanan Banteng mendapati Padang Eco nyaris sepi, hampir gundul dan bau bangkai.
“Wah, ini bahaya buat kita. Rumputnya habis, rasanya tak enak dan baunya busuk,” kata ketua Banteng. “Tetapi, jika kalian lapar, cobalah makan seadanya. Aku akan bertanya kepada Kerbau, apa yang terjadi disini,” kata Ketua Banteng. Kerbau yang ditanya menceritakan banyaknya perkelahian akibat rebutan rumput.
“Aduh kasihan, mengapa Peri Hujan tega banget, hampir setahun kita tak diberi hujan,” tanya Ketua Banteng kepada diri sendiri. Niatnya untuk mencari keadilan tiba-tiba muncul dari lubuk hatinya. Ia duduk termenung mencari cara agar Padang Eco kembali menjadi surga makanan segenap binatang hutan.
“Aku harus berbuat sesuatu, tetapi apa dan bagaimana, ya? Emangnya aku pahlawan,” pikir Ketua Banteng yang kian sedih tak bisa mencari solusinya. Pak Ketua Banteng tiba-tiba melihat bayangan Peri yang sedang melayang. Ia mengira bahwa Peri itu adalah Peri Hujan. Seketika ia berteriak memanggil.
“Wahai Ibu Peri, berhentilah disini sebentar, akan kulaporkan cerita hebat,” seru Banteng seadanya. Peri itu terkejut dipanggil seekor Banteng. Iapun berhenti dan mendekati Banteng. “Ada apa Banteng?” tanya Peri.
“Ibu Peri, tidakkah tergerak hatimu melihat Padang Eco berantakan dan bau busuk begini?” tanya Kerbau.
“Aku Peri Warna-warni, tugasku membuat warna agar bumi tidak hanya hitam putih seperti kamu. Aku tak mau ikut campur urusan tugas Peri Hutan. Nah, Banteng, cerita hebat apa yang mau kau sampaikan?” tanya Peri Warna-warni. Banteng yang ingin berbuat sesuatu bagi kesuburan padang Eco, tanpa takut melanjutkan usulnya.
“Rumah kami di tengah hutan kini berwarna coklat kering karena tak lagi ada rumput. Sejak sebulan kami tak kesini karena sibuk berdoa agar Peri Hujan mencurahkan airnya. Kami kesini mencari makan. Ternyata keadaannya sudah berubah. Dulu rumputnya segar nikmat, sekarang rumputnya kering dan bau busuk. Dulu makan disini sambil piknik. Sekarang siapa sudi melihat padang gundul? Wahai Ibu Peri, mengapa hatimu tidak tergerak untuk menjadikan padang hijau ini sebagai pertamanan dengan warna-warni bunga indah buatan Ibu Peri Warna-warni?” rayu Ketua Banteng.
“Padang Eco ini milik Peri Hutan, aku tak enak mencampuri urusannya,” jawab Peri Warna-warni. Banteng sgera menimpali, “Habis, Peri Hutan tak peduli, koq! Padang Eco sudah mati dan dibiarkan merana. Maka rawatlah Padang ini agar banyak pengunjungnya. Jadikan sebagai tempat wisata dengan bunga aneka warna,” rayu Banteng kembali.
Peri Warna-warni ragu-ragu. Di saat masih menimbang-nimbang, dari jauh tampak puluhan ribu Kuda Zebra dari Afrika akan hadir di Padang Eco. Zebra mendengar nikmatnya Padang Eco dimana rumputnya tak pernah mengering. Dengan penuh lapar di perutnya Zebra Afrikapun ingin merasakan rumput Eco. Ternyata rumput yang ada tinggal sedikit. Maka Zebra-zebra itu langsung menyerbu dan memakannya. Kawanan Banteng jadi terdesak, tetapi karena lapar, para Banteng tetap bertahan.
Rebutan rumput pun terjadi lagi. Gajah yang melihat dari kejauhan, rupanya timbul niat jahatnya. Akibat sering diejek tentang masalah nama Rumput Gajah, kawanan Gajah yang dendam kepada Banteng, ikut menyerbu. Bukan untuk ikut makan, ia bermaksud akan membalas dendam kepada Banteng-banteng itu. Zebra akan dipakai sebagai alat mengadu domba. Maka Bos Gajah membisiki raja Zebra. “Zebra, rumputnya sudah menipis. Bukankah rakyatmu masih puluhan ribu? Jika berbagi dengan Banteng, nanti keburu habis. Usir saja Bantengnya, mereka sudah makan sejak kemarin!” bisik Gajah.
Raja Zebra terpengaruh. Tanpa ampun, kawanan Zebra menyerbu kawanan Banteng. Tak alang kepalang, serbuannya membabi buta. Mendapat serangan mendadak, kawanan Banteng tidak menduga dan tidak siap tempur. Maka dalam sekejap banyak Banteng yang mati dikeroyok. Jika ada Banteng yang tersungkur, Gajah sengaja menginjaknya hingga tewas.
Darah bercucuran dari tubuh para Banteng dan membanjir di Padang Eco. Padang Eco pun berubah dari warna hijau kuning coklat menjadi merah darah. Karena padang rumput berubah menjadi banjir darah, Zebra-zebra tak lagi berselera makan dan pergi mencari makanan di tempat lain.
Melihat pembantaian itu, Ketua Banteng memerintah rakyatnya agar menyingkir. Banteng-banteng itu pontang-panting melarikan diri. Kesedihan Ketua Banteng tak alang kepalang rakyatnya banyak yang mati sahid. Ia menangis meraung-raung, namun tak punya daya untuk membalas dendam karena kalah pasukan. Akhirnya Ketua Banteng hanya bisa mengadu kepada Peri Warna-warni.
“Duh Ibu Peri, kini bisa melihat sendiri hukum rimba di padang ini. Dimana Peri Hutan? Mengapa di saat yang genting begini beliau tidur? Tolonglah kami Ibu Peri, jangan ada lagidarah mengalir. Cukup darah merah kami yang terakhir kali mengucur di padang Eco,” rintih Ketua Banteng. Peri Warna-warni jadi kasihan dan kagum kepada Ketua Banteng.
“Banteng, Peri Hutan sedang merawat Dewa Sepuh yang sakit. Baiklah akan kuajukan masalah ini dalam sidang dewa-dewa malam nanti. Akan kuminta Peri Hujan turun dan kujadikan Padang Eco tempat wisata bunga aneka warna,” jawab Peri Warna-warni langsung pergi.
“Aku tak akan pergi sebelum janjimu kau tepati Ibu Peri. Ingat, demi darah merah rakyatku, Padang Eco harus berubah. Darah rakyatku harus ditebus dengan bunga-bunga aneka warna dan harum mewangi,” seru Ketua Banteng sambil tak henti meraung-raung menangisi nyawa rakyatnya.
Syahdan pada sidang dewa-dewa, Peri Warna-warni melaporkan pembantaian Banteng di Padang Eco. Akhirnya Peri Hujan sanggup memberi hujan selama semusim sejak malam itu juga. Sementara Peri Hutan mengizinkan Padang Eco dipenuhi bunga aneka warna oleh Peri Warna-warni dengan syarat rumput Gajah tetap tumbuh menghijau disana.
Beberapa hari kemudian, Ketua Banteng telah bisa tersenyum. Meski kesedihan masih tetap membebani hatinya, namun ia yakin, bangkai-bangkai, bau busuk dan darah merah di padang Eco telah tersingikir oleh air hujan yang amat lebat selama seminggu. Padang Eco kembali merimbun, tetapi kini telah berbeda. Selain rumputnya hijau segar, bunga-bunga pun bertumbuhan dengan subur. Banyak kupu-kupu yang menjadi penduduk pendatang baru. Padang Eco menjadi daerah kebun bunga dan kebun binatang alami.
Ketua Banteng tak mau kembali ke rumahnya di tengah hutan. Ia akan tetap menjadi tetua di Padang Eco sambil berdoa bagi arwah rakyatnya disini. Jika ia melihat warna merah, ia akan teringat darah rakyatnya yang dibantai kawanan Zebra dan Gajah. Sejak itu ia jadi benci melihat warna merah. Maka para gladiator akan menggoda para Banteng dengan kain berwarna merah untuk memancing kemarahan Banteng.
NONI
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar