Sabtu, 20 Juni 2009

Hilangnya Suara Binatang

PERI HEWAN HILANG SUARA


Di jaman purba, hewan bisa berbicara seperti manusia. Mereka memakai bahasa binatang yang dimengerti semua jenis binatang. Jadi gajah, jangkerik, burung dan ikan bisa saling menyapa.

Pada suatu hari Ibu Peri Penjaga Hutan, Ibu Peri Penjaga Air dan Ibu Peri Penjaga angin berkumpul. Mereka memuji dan mengunggulkan binatang-binatang yang dijaganya. Peri Hutan memuji binatang-binatang hutan, Peri Air memuliakan ikan-ikan di laut dan Peri Angin memuji burung Garuda-nya. Mereka menyatakan bahwa binatang yang dijaganya adalah yang paling unggul. Hal ini menimbulkan pertengkaran hebat diteruskan dengan adu kekuatan sampai di kahyangan.

Kahyangan menjadi geger. Dewa Bumi marah besar hingga tiga Peri pembantunya tersebut ditangkap.

Dewa Bumi berkata, “Wahai para Peri, semua binatang punya tugas masing-masing. Tak ada yang lebih unggul. Kalian bersalah jika saling unjuk keunggulan, apalagi sampai berkelahi, merusak tanaman hias milik istana kahyangan. Lihat daun jenmani dan Gelombang CInta milik Kahyangan banyak yang patah. Padahal harganya kan selangit!”

Peri Air menjawab, “Duh Tuan Dewa Penguasa Bumi, apakah saya bersalah? Bukankah tanpa air, tak ada kehidupan di dunia ini? Lihat, planet Mars, Neptunus atau Bulan, disana tak ada makhluk hidup karena tak ada air. Jadi bukankah air adalah sarana paling unggul untuk hidup.”

Peri Angin menimpali, “Bukan demikian Tuan Dewa Bumi. Tanpa angin, bumi akan panas, binatang-binatang peliharaan Peri Hutan akan terbakar.”

Peri Hutan membela, “Itu tidak benar Dewa Bumi. Tanpa hutan-hutan di bumi, burung-burung tak bisa mencari makan.”

Dewa Bumi geleng-geleng kepala. “O o, kalian koq rada-rada gendeng. Otak kalian kerbau semua. Tahukah, semua benda dan makhluk yang dibuat Sang Pencipta punya hubungan simbiosis mutualis, saling terkait, saling berhubungan dan saling bahu membahu menyelamatkan bumi agar awet.”

Tiga Peri tadi merasa sangat bersalah menyadari ketololan mereka dan bersedia dihukum.

Maka Dewa Bumi bersabda, “Peri air, kamu dihukum. Ikan-ikanmu akan kehilangan suara. Ikan jadi hewan bisu saja. Peri Hutan, kamu dihukum, binatang hutan hanya bisa bersuara satu jenis dan mereka akan memilih suaranya sendiri. Peri Angin, kamu juga dihukum. Tetapi burung-burung bisa bersiul. Sebagai ganti adanya suara, aku akan mohon kepada Sang Pencipta untuk mendatangkan manusia yang bisa berbicara agar hidup di bumi, yakni Adam dan Hawa. Keputusan ini berlaku lusa.”

Peri ikan dan Peri Hutan langsung mengajukan protes karena hukumannya tidak sama. Tetapi putusan Dewa Bumi tak dapat diganggu gugat, mutlak milik Sabdo Pandita Dewa Bumi.

Dengan bersungut-sungut ketiga Peri tadi pergi ke habitatnya sendiri untuk mengumumkan kepada rakyat. Begitu ikan-ikan tahu bahwa lusa mereka akan menjadi binatang bisu, serentak mereka berteriak sekeras-kerasnya sampai lusa. Laut dan sungai pun guncang oleh teriakan segenap hewan air.

Sementara di hutan, Peri Hutan dikerubungi rakyatnya yang ribut memilih suara khas mereka. Harimau protes, “Mengapa harus ada manusia?” Peri Hutan menjawab, “Manusia sedang diuji apakah mampu berbicara dengan bahasa kita.” Kalian diperintahkan untuk mencari bahasa dan suara baru. Ini berlaku mulai lusa. Maka cepatlah memilih suara! Kalau tidak, kalian akan bisu seperti ikan.”

Gajah cepat-cepat menyela, “Ya sudah Ibu Peri. Aku pilih suara dan lagu seperti ini, aueikkkkk!” Singa juga cepat memilih suara, “Aouuuuum.” Peri Hutan kagum lalu berkomentar, “Wah bagus, suaramu sangat gagah, sesuai dengan besarnya tubuhmu. Kalau kau anjing?”
Anjing lalu menggonggong, “Guk guk guk.”

Seketika ribuan binatang memilih suara mereka masing-masing sehingga hutan menjadi riuh rendah.

Kucing mengeong, “Meong, meong.”
Kodok lalu mengorek, “Mbeoek Ngook!”
Tokek memilih suaranya, “Tokek, tokek”
Bebek memilih ‘ wekwek’, ayam jantan ‘kukuruyuk’, ayam betinanya ‘petok- petok. Kuda memilih iek iek iek iek. Kambing mengembik ‘embik embik’, babi ‘ngoook ngokkk’, sapi melenguh ‘uhhh’, ular mendesis, kera menjerit, lalu tikus mencicit.

Semua hewan hutan telah memilih suaranya sendiri. Peri Hutan lega, rakyatnya tidak melakukan demo atas keputusan Dewa Bumi yang terpaksa harus diterima.

Bagaimana dengan Peri Angin? Dia juga sibuk bersama rakyatnya. Namun Peri Angin sangat senang. Burung-burungnya telah memilih suara dan lagu yang bagus-bagus. Suara burung Kenari sangat indah dengan lagunya yang tak pernah berhenti…. ‘priyik-yik-yik-yik, priyuk-yuk-yuk’. Burung Cocakrowo berkicau amat merdu. Burung Perkutut bernyanyi ‘huwung kung kung kung’. Derkuku bernyanyi ‘kuk geruuuk koook… kuk geruuuk koook. Kini semua burung telah menemukan siulan suara dan melagukannya. Peri Angin bangga sekali, burung-burungnya sangat kreatif menciptakan suara dan lagu.

Tiba-tiba Peri Angin melihat burung Beo tiba-tiba datang.
Peri Angin: “Beo, kamu dari mana? Kamu pilih suara dan lagu seperti apa, coba aku dengarkan?”
Beo: “Ibu Peri, saat ini perutku mulas karena tak dapat menahan tertawaku… aku dari hutan melihat hewan hutan memilih suaranya, hahahahaha….!”
Semua burung-burung penasaran ingin mendengar kelucuannya. Peri pun ikut penasaran sehingga mengizinkan Beo untuk menirukan suara binatang hutan.
Sambil terpingkal-pingkal, Beo menirukan satu per satu suara binatang hutan.

‘”Suara kuda seperti kuntilanak. Ular seperti kehabisan nafas. Sapi seperti kesakitan disembelih., hahahahaha.... Suara Anjing seperti sedang digebuki, Kucing seperti sedang kelaparan. Singa dan Serigala seperti suara hantu mencari mangsa, hiiii.”

Burung-burung yang beterbangan di angkasa ini tertawa bersama mengejek binatang hutan.
Lalu Peri Angin kembali menanyakan suara Beo. “Lalu suara dan lagumu sendiri seperti apa Beo?”

Beo lalu melagukan suaranya. “Mbek mbek mbeeeeekkk, eh bukan, itu suara si Kambing. Meonghhh ong...ong...eh bukan, itu mirip suara si Kucing. Suaraku ini krik..krik-krik...krik kriikk.... eh, eh bukan, bukan, itu suara Jangkrik. Aduh Ibu Peri, bagaimana ya? Lho, lho, aku jadi lupa belum menciptakan suara dan lagunya. Aku tadi terlalu sibuk mendengarkan dan mengejek binatang hutan. Ibu Peri mohon ampunilah aku. Aku tidak mau menjadi burung bisu!”

Peri Angin tersenyum, lalu berkata, “Ya sudah, karena kamu seekor peniru, maka kamu akan tetap menirukan suara apapun yang kau dengar.” Akhirnya burung Beo selalu bisa menirukan suara-suara yang diajarkan atau yang didengarnya.

NONI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar