MERAH DARAH RAKYAT BANTENG
Padang rumput paling subur bernama Padang Eco selalu ramai dikunjungi semua binatang pemakan rumput. Rumputnya gemuk, panjang, gede-gede, hijau segar dan rasanya nikmat. Apalagi pemandangan disini juga sangat indah, bisa melihat nun jauh disana, tampak lautan biru. Adapun di bawah bukit kecil itu juga penuh dengan tanaman hijau, buah-buahan dan sayur mayur.
Rumput di Eco tak pernah habis. Tiap kali dilahap hewan-hewan, esok paginya sudah tumbuh lagi. Kian banyak hewan yang datang, rumputnya makin luas saja, tak pernah habis, tak pernah kering dan tak pernah gundul. Kabar ini tersebar di segala penjuru dunia, hingga banyak hewan yang datang untuk menikmati sedapnya rumput Padang Eco.
Rumput nikmat Padang Eco ini dinamakan Rumput Gajah. Kadang Gajah amat marah, rumput yang bukan makanan kesukaannya dinamai Rumput Gajah. Maklum Gajah lebih suka buah-buahan daripada rumput atau jerami. Seperti saat itu, didengarnya kawanan berbagai binatang sedang ramai makan siang di padang Eco. Termasuk kawanan Banteng yang rumahnya jauh di tengah hutan. Mereka kadang-kadang datang ke padang Eco untuk melahap nikmatnya rumput padang Eco.
“Aku suka makan disini karena Rumput Gajah-nya enak sekali, maklum rumputnya gemuk-gemuk dan gede-gede, persis seperti Pak Gajah. Andai rumputnya punya belalai, pasti lebih enak, kayak makan pizza ditambah es krim,” kata Banteng jantan yang gemuk. Gajah yang mendengar komentar Banteng merasa tersinggung karena rumput dikaitkan dengan belalainya.
Tetapi Gajah tidak berani mendamprat kawanan Banteng, maklum jumlah kawanan Gajah hanya se RT, sedangkan kawanan Banteng datang sekampung. Gajah-gajah itu kemudian menjauh dari kawanan Banteng dan pergi ke kubangan untuk berendam lumpur.
Pada suatu hari, musim kemarau tak juga berhenti. Hujan yang diharapkan datang, tak kunjung turun. Air sungai sudah kering, telaga berganti persawahan dan danaupun telah mengeras menjadi padang tanah tandus yang tanahnya pecah-pecah. Tidaklah heran jika padang rumput Eco yang subur itu lama-lama kian menipis. Padahal binatang yang datang disana kian banyak karena lumbung rumput di daerah lain sudah gundul klimis. Maka semua binatang hutan akhirnya menumpahkan harapan hidup pada rumput Eco.
Akhirnya rumput Eco tak mampu tumbuh cepat karena si pemakan lebih banyak dibanding pertumbuhannya. Dalam waktu tak lebih dari sebulan persediaan rumput Eco untuk pertama kalinya tak mampu mencukupi kebutuhan makan binatang hutan. Tiap pagi, Eco sudah penuh binatang yang takut tak kebagian rumput. Lama-lama rumput jadi rebutan, meningkat menjadi pertengkaran, lalu perang mulut hingga adu kekuatan.
Keadaan ini sangat meresahkan penduduk Eco. Perang antar binatang karena berebut rumput sudah sering terjadi. Hujan tak kunjung turun, Eco kian akrab dengan darah hasil perkelahian antar binatang. Rumput Eco jadi tak nikmat karena tercampur bau bangkai dari hewan-hewan yang kalah dihajar lawan.
Sebenarnya Gajah suka dengan keadaan ini. Ia masih bisa makan buah dan kini nama Rumput Gajah tak populer karena rumput Eco sudah kecil, kuning dan tidak enak dimakan. Eco juga kian sepi. Entah kemana binatang-binatang mencari makan. Kabarnya banyak hewan yang migrasi mencari kehidupan baru.
Sedangkan di tengah hutan, Banteng-banteng juga sudah kehabisan rumput. Mereka bermaksud pergi ke Padang Eco untuk mencari makan. “Kawan-kawan, karena rumput di rumah sudah habis, besok pagi kita pergi ke Padang Eco untuk mencari makan. Rumput Gajah disana nikmat, kan,” kata ketua Bantengnya. Maka di pagi-pagi buta, se kampung Banteng sudah berjalan beriringan. Siang harinya mereka sudah sampai. Betapa kaget kawanan Banteng mendapati Padang Eco nyaris sepi, hampir gundul dan bau bangkai.
“Wah, ini bahaya buat kita. Rumputnya habis, rasanya tak enak dan baunya busuk,” kata ketua Banteng. “Tetapi, jika kalian lapar, cobalah makan seadanya. Aku akan bertanya kepada Kerbau, apa yang terjadi disini,” kata Ketua Banteng. Kerbau yang ditanya menceritakan banyaknya perkelahian akibat rebutan rumput.
“Aduh kasihan, mengapa Peri Hujan tega banget, hampir setahun kita tak diberi hujan,” tanya Ketua Banteng kepada diri sendiri. Niatnya untuk mencari keadilan tiba-tiba muncul dari lubuk hatinya. Ia duduk termenung mencari cara agar Padang Eco kembali menjadi surga makanan segenap binatang hutan.
“Aku harus berbuat sesuatu, tetapi apa dan bagaimana, ya? Emangnya aku pahlawan,” pikir Ketua Banteng yang kian sedih tak bisa mencari solusinya. Pak Ketua Banteng tiba-tiba melihat bayangan Peri yang sedang melayang. Ia mengira bahwa Peri itu adalah Peri Hujan. Seketika ia berteriak memanggil.
“Wahai Ibu Peri, berhentilah disini sebentar, akan kulaporkan cerita hebat,” seru Banteng seadanya. Peri itu terkejut dipanggil seekor Banteng. Iapun berhenti dan mendekati Banteng. “Ada apa Banteng?” tanya Peri.
“Ibu Peri, tidakkah tergerak hatimu melihat Padang Eco berantakan dan bau busuk begini?” tanya Kerbau.
“Aku Peri Warna-warni, tugasku membuat warna agar bumi tidak hanya hitam putih seperti kamu. Aku tak mau ikut campur urusan tugas Peri Hutan. Nah, Banteng, cerita hebat apa yang mau kau sampaikan?” tanya Peri Warna-warni. Banteng yang ingin berbuat sesuatu bagi kesuburan padang Eco, tanpa takut melanjutkan usulnya.
“Rumah kami di tengah hutan kini berwarna coklat kering karena tak lagi ada rumput. Sejak sebulan kami tak kesini karena sibuk berdoa agar Peri Hujan mencurahkan airnya. Kami kesini mencari makan. Ternyata keadaannya sudah berubah. Dulu rumputnya segar nikmat, sekarang rumputnya kering dan bau busuk. Dulu makan disini sambil piknik. Sekarang siapa sudi melihat padang gundul? Wahai Ibu Peri, mengapa hatimu tidak tergerak untuk menjadikan padang hijau ini sebagai pertamanan dengan warna-warni bunga indah buatan Ibu Peri Warna-warni?” rayu Ketua Banteng.
“Padang Eco ini milik Peri Hutan, aku tak enak mencampuri urusannya,” jawab Peri Warna-warni. Banteng sgera menimpali, “Habis, Peri Hutan tak peduli, koq! Padang Eco sudah mati dan dibiarkan merana. Maka rawatlah Padang ini agar banyak pengunjungnya. Jadikan sebagai tempat wisata dengan bunga aneka warna,” rayu Banteng kembali.
Peri Warna-warni ragu-ragu. Di saat masih menimbang-nimbang, dari jauh tampak puluhan ribu Kuda Zebra dari Afrika akan hadir di Padang Eco. Zebra mendengar nikmatnya Padang Eco dimana rumputnya tak pernah mengering. Dengan penuh lapar di perutnya Zebra Afrikapun ingin merasakan rumput Eco. Ternyata rumput yang ada tinggal sedikit. Maka Zebra-zebra itu langsung menyerbu dan memakannya. Kawanan Banteng jadi terdesak, tetapi karena lapar, para Banteng tetap bertahan.
Rebutan rumput pun terjadi lagi. Gajah yang melihat dari kejauhan, rupanya timbul niat jahatnya. Akibat sering diejek tentang masalah nama Rumput Gajah, kawanan Gajah yang dendam kepada Banteng, ikut menyerbu. Bukan untuk ikut makan, ia bermaksud akan membalas dendam kepada Banteng-banteng itu. Zebra akan dipakai sebagai alat mengadu domba. Maka Bos Gajah membisiki raja Zebra. “Zebra, rumputnya sudah menipis. Bukankah rakyatmu masih puluhan ribu? Jika berbagi dengan Banteng, nanti keburu habis. Usir saja Bantengnya, mereka sudah makan sejak kemarin!” bisik Gajah.
Raja Zebra terpengaruh. Tanpa ampun, kawanan Zebra menyerbu kawanan Banteng. Tak alang kepalang, serbuannya membabi buta. Mendapat serangan mendadak, kawanan Banteng tidak menduga dan tidak siap tempur. Maka dalam sekejap banyak Banteng yang mati dikeroyok. Jika ada Banteng yang tersungkur, Gajah sengaja menginjaknya hingga tewas.
Darah bercucuran dari tubuh para Banteng dan membanjir di Padang Eco. Padang Eco pun berubah dari warna hijau kuning coklat menjadi merah darah. Karena padang rumput berubah menjadi banjir darah, Zebra-zebra tak lagi berselera makan dan pergi mencari makanan di tempat lain.
Melihat pembantaian itu, Ketua Banteng memerintah rakyatnya agar menyingkir. Banteng-banteng itu pontang-panting melarikan diri. Kesedihan Ketua Banteng tak alang kepalang rakyatnya banyak yang mati sahid. Ia menangis meraung-raung, namun tak punya daya untuk membalas dendam karena kalah pasukan. Akhirnya Ketua Banteng hanya bisa mengadu kepada Peri Warna-warni.
“Duh Ibu Peri, kini bisa melihat sendiri hukum rimba di padang ini. Dimana Peri Hutan? Mengapa di saat yang genting begini beliau tidur? Tolonglah kami Ibu Peri, jangan ada lagidarah mengalir. Cukup darah merah kami yang terakhir kali mengucur di padang Eco,” rintih Ketua Banteng. Peri Warna-warni jadi kasihan dan kagum kepada Ketua Banteng.
“Banteng, Peri Hutan sedang merawat Dewa Sepuh yang sakit. Baiklah akan kuajukan masalah ini dalam sidang dewa-dewa malam nanti. Akan kuminta Peri Hujan turun dan kujadikan Padang Eco tempat wisata bunga aneka warna,” jawab Peri Warna-warni langsung pergi.
“Aku tak akan pergi sebelum janjimu kau tepati Ibu Peri. Ingat, demi darah merah rakyatku, Padang Eco harus berubah. Darah rakyatku harus ditebus dengan bunga-bunga aneka warna dan harum mewangi,” seru Ketua Banteng sambil tak henti meraung-raung menangisi nyawa rakyatnya.
Syahdan pada sidang dewa-dewa, Peri Warna-warni melaporkan pembantaian Banteng di Padang Eco. Akhirnya Peri Hujan sanggup memberi hujan selama semusim sejak malam itu juga. Sementara Peri Hutan mengizinkan Padang Eco dipenuhi bunga aneka warna oleh Peri Warna-warni dengan syarat rumput Gajah tetap tumbuh menghijau disana.
Beberapa hari kemudian, Ketua Banteng telah bisa tersenyum. Meski kesedihan masih tetap membebani hatinya, namun ia yakin, bangkai-bangkai, bau busuk dan darah merah di padang Eco telah tersingikir oleh air hujan yang amat lebat selama seminggu. Padang Eco kembali merimbun, tetapi kini telah berbeda. Selain rumputnya hijau segar, bunga-bunga pun bertumbuhan dengan subur. Banyak kupu-kupu yang menjadi penduduk pendatang baru. Padang Eco menjadi daerah kebun bunga dan kebun binatang alami.
Ketua Banteng tak mau kembali ke rumahnya di tengah hutan. Ia akan tetap menjadi tetua di Padang Eco sambil berdoa bagi arwah rakyatnya disini. Jika ia melihat warna merah, ia akan teringat darah rakyatnya yang dibantai kawanan Zebra dan Gajah. Sejak itu ia jadi benci melihat warna merah. Maka para gladiator akan menggoda para Banteng dengan kain berwarna merah untuk memancing kemarahan Banteng.
NONI
Senin, 23 Februari 2009
Serial Dewa-dewa - Serangan Kerbau
SERANGAN KERBAU
Di saat Kerbau-kerbau sedang membajak sawah, di hutan ada seekor Gajah Raksasa yang berhasil ditangkap tentara Kerajaan Kota. Anak Gajah sebagai saksi mata penangkapan itu meratap sesenggukan. Gajah Kecil itu tidak ikut dibawa ke kerajaan karena dinilai tidak cukup kuat menjadi binatang tunggangan raja. Gajah Kecil hanya menangis melihat ayahnya ditaklukkan seorang pawang. Organ di bawah kening Gajah Kecil itu segera menyuarakan suara paraunya untuk mengadu kepada induknya di tengah hutan. Dengan cara ini Gajah memang bisa saling berkomunikasi dalam jarak jauh.
Namun semuanya telah terlambat. Tentara kerajaan sudah jauh menuju istana. Gajah Raksasa, demikian nama Gajah yang berhasil ditangkap tentara kerajaan. Raja amat gembira menerima upeti seekor Gajah Raksasa. Raja amat ingin menjadikannya tunggangan ketika bepergian dan berangkat ke medan perang.
Mengetahui hal ini, Peri Hutan amat sedih. Namun demikianlah nasib rakyatnya. Mereka memang ditakdirkan sebagai hewan yang harus menjadi obyek kebutuhan manusia. Tetapi ketika Peri Hutan melihat bahwa Gajah Raksasanya dipelihara dengan sangat baik oleh Baginda Raja, Peri Hutan merasa sangat lega.
Apalagi Gajah Raksasa itu tak pernah kekurangan makan dan sangat dimanjakan para pawangnya. Raja juga selalu memuja Gajahnya dan dipamerkan dimana-mana. Tidak perlu waktu lama, Raja sudah berani naik Gajah Raksasa ini karena ia jinak. Ia sudah menjadi binatang peliharaan yang manis. Ia sudah tahu tugasnya. Gajah Raksasa ini malah bangga menjadi binatang tunggangan Baginda Raja karena dimana-mana ia juga dielu-elukan. Enak benar nasibku, daripada di hutan tak kenal manusia, di istana, aku seperti raja kecil, bathin si Gajah. Iapun melupakan rindunya pada anak isterinya.
Setiap hari, Gajah Raksasa dikandangkan. Kebetulan kandangnya bersebelahan dengan kandang Kerbau-kerbau. Jadi, setiap hari Gajah Raksasa bertemu dengan kawanan Kerbau. Pertamanya, Gajah merasa senang punya kawan, sehingga ia bisa menyampaikan rasa bangganya dielu-elukan penduduk ketika mengantar Baginda Raja berjalan-jalan.
Sedangkan kepada Gajah, Kerbau selalu mengeluhkan tentang beban pekerjaannya. Setiap hari Kerbau mengeluh tak henti-henti. Ia mengeluh sering digebugi si pawang. Ia mengeluh kepanasan ketika membajak sawah. Sehabis itu ia mengeluh karena harus mencari makanan sendiri di ladang. Tak seperti Gajah yang makanannya enak-enak, dari kelapa hingga waluh bahkan kacang kecil hingga air untuk mandi, semua sudah disiapkan si pawang di kandang Gajah. Kerbau memang iri, tetapi ia tak dapat berbuat apa-apa.
Lama-lama Gajah sangat jenuh mendengar omelan kawanan Kerbau. Menurut Gajah, Kerbau tidak berusaha mencari cara supaya tidak mengeluh. Saking jenuhnya, Gajah selalu berpura-pura tidur jika kawanan Kerbau datang. Artinya Gajah berusaha tidak berbagi cerita dan tidak mau mendengarkan keluhan Kerbau.
Merasa dijauhi Gajah, kawanan Kerbau akhirnya malas berkawana dengan Gajah. Kerbau istana lebih senang bercanda dengan kawanan Burung Unta peliharaan kerajaan. Nasib Burung Unta sama dengan Gajah. Saking cantiknya Burung Unta, sang Ratu juga sangat senang jika bepergian dengan menumpang Burung Unta. Terkadang jika ada upacara penting, Raja dan Ratu berjalan beriringan, Raja naik Gajah dan Ratu naik Burung Unta. Tetapi karena Burung Unta tampak lebih ramah, Kerbau lebih suka berteman dengan Burung Unta karena tidak sesombong Gajah.
Pada Suatu hari Raja dan Ratu akan bepergian ke negara tetangga. Gajah Raksasa dan Burung Unta sudah dihias dengan dampar kencana di punggung mereka. Aduh betapa gagah dan cantiknya Gajah dan Burung Unta itu. Tentu saja semua hewan sangat iri atas kebaikan nasib mereka. Dua tunggangan Raja dan Ratu itu pun akan diiringi Kuda-kuda yang dinaiki para hulubalang. Sebelum berangkat, binatang hutan itu berbaris di halaman menunggu Banginda Raja keluar dari istana.
Burung Unta yang paling tinggi berdiri di belakang Gajah sedangkan Kuda-kuda berbaris di kiri kanan mereka. Tiba-tiba kawanan Kerbau datang dengan cepat dan langsung menyerudug hewan-hewan istana itu. Mengetahui diserang secara liar, Gajah Raksasa tetap berdiri tegak sambil mengacung-acungkan belalainya. Maka tak seekor Kerbaupun yang berani mendekatinya.
Adapun Kuda-kuda berlari ketakutan karena kaget. Suasana menjadi gempar. Hewan-hewan berlarian dikejar Kerbau-kerbau. Karena Kerbau membabi buta, Gajah Raksasa langsung menggunakan belalainya untuk menyiram debu di arena perang antara Kerbau melawan Kuda. Anehnya, tak satupun Kerbau yang menyerang Burung Unta. Maklum Burung Unta sudah dianggap kawan paling baik yang bersedia mendengar keluhan-keluhan Kerbau.
Patih segera turun tangan. Segenap pawang diperintah langsung terjun ke arena perang. Kuda-kuda diamankan, sedangkan Kerbau-kerbau dipecuti digiring ke kandang mereka. Keberangkatan Raja dan Ratu akhirnya ditunda.
Pada malam harinya, Peri Hutan dan Peri Angin hadir di istana. Sebelum menemui Baginda Raja, dua Peri ini mencari data-data kepada Gajah, Kuda, Kerbau dan Burung Unta. Hasilnya didapati bahwa perkelahian siang tadi akibat kecemburuan Kerbau sebagai binatang yang mendapat perlakuan buruk sehingga sangat marah dan iri. Para Peri ini segera mendatangi Kerbau.
Melihat datangnya Peri junjungannya, Kerbau-kerbau itu menghaturkan sembah dan langsung mengadukan nasibnya. “Wahai Ibu Peri, mengapa kau jadikan kami hewan babu? Badanku kuat, tetapi tak bisa berperang seperti kuda. Tubuhku besar, tetapi Raja malu naik di punggungku dan memilih naik Gajah. Perutku sebesar Burung Unta, tetapi Ratu tak perduli. Tandukku gagah, tetapi gading gajah lebih berharga,” keluh Kerbau.
Peri Angin dan Peri Hutan yang selalu ejek mengejek tersenyum kecut mendengar keluhan Kerbau. “Ibu Peri, kami ingin menjadi bagian penting di istana raja. Kami jenuh terus-menerus menjadi buruh di sawah. Kami mengaku bersalah menyerang Kuda-kuda kerajaan. Kami rakyat yang ingin berbakti kepada Raja, tetapi berilah kami tempat yang layak,” pinta Kerbau dengan belas kasihnya.
“Baiklah Kerbau. Aku kabulkan permintaanmu, tetapi dengan syarat, kamu harus diuji intelegensimu dulu,” kata Peri Hutan. Kerbau-kerbau itu bersedia diuji lagi. Merekapun bersiap menjawab test pertanyaan yang akan diberikan oleh Peri Hutan. Maka testingpun dimulai.
“Wahai Kerbau, tahukah kamu, lebih cepat mana larimu dibandingkan larinya burung Unta?” tanya Peri Hutan.
“Ibu Peri, kakiku empat, kaki burung Unta hanya dua. Meski ia burung, tetapi tak bisa terbang. Jadi, tentu lariku lebih cepat,” jawab Kerbau.
“Lha kamu salah Bau. Meski tak dapat terbang, Burung Unta dapat berlari sangat cepat dengan dua kakinya,” kata Peri Angin.
“Tetapi Ibu Peri Angin, jari Unta hanya dua, pasti tak kuat berlari!” teriak Kerbau.
“Lha kamu salah lagi. Satu jarinya jauh lebih besar yang dipakainya untuk berlari dan menendang penghalangnya. Kamu Kerbau yang kebesaran perut sehingga berjalanmu lamban sekali,” jelas Peri Angin. Atas penjelasan itu Kerbau-kerbau tertunduk malu.
“Pertanyaan yang kedua. Kamu kuat membajak sawah. Kuda kuat berlari seharian. Di antara kalian, mana yang lebih kuat?” tanya Peri Hutan.
“Ibu Peri, tentu aku lebih kuat. Aku membajak sawah agar manusia dapat makan. Kuda hanya kesana kemari, tak berguna dan bikin boros saja,” jawab Kerbau.
“Wah, kau harus tahu bahwa Kuda bisa pergi berhari-hari menggendong tuannya. Ia seperti Anjing, sangat setia dan tidak pernah meninggalkan tuannya. Ia tidak pernah mengeluh dan tidak pernah berdemo seperti kamu.” Lagi-lagi Kerbau tertunduk malu.
Lalu Peri Hutan memberi satu pertanyaan lagi. “Punggungmu dan punggung Gajah bisa membawa beban. Lebih banyak mana, beban yang kau bawa dibandingkan yang dibawa Gajah?” tanya Peri Hutan.
“Ibu Peri, anak-anak Gembala selalu naik dipunggungku antara 4 sampai 5 anak. Gajah hanya dinaiki Baginda Raja saja. Kami bekerja membajak sawah seharian, kerjaan Gajah hanya makan sebanyak-banyaknya,” jawab Kerbau yang menjawab sepengetahuannya melihat Gajah Istana hanya ditunggangi Baginda Raja. Peri Hutan tersenyum mendengar jawaban Kerbau.
“Kerbau, kamu itu kuper sih. Kamu egois dan kamu sangat bodoh. Makanya kamu hanya bernasib jelek menjadi babu. Memangnya hanya Raja yang bisa naik Gajah, semua orang atau barang apapun bisa dinaikkan di punggung gajah. Ia sekuat buldoser, bisa menumbangkan pohon, bisa merubuhkan rumah,” seru Peri Hutan.
Kerbau-kerbau membenarkan jawaban Peri sehaingga lagi-lagi mereka tertunduk malu. “Tetapi Ibu Peri, meskipun kami bodoh, berilah kami tempat yang layak karena kami telah membantu manusia membajak sawah,” pinta Kerbau.
“Baiklah. Tetapi hanya satu keluarga Kerbau yang akan kujadikan Kerbau idaman. Mereka adalah keluarga Kerbau Bule dan akan menjadi simbol di Istana Raja. Nantinya Kerbau Bule akan mengangkat nama Kerbau, sebab tahinya saja akan menjadi rebutan manusia karena bisa menjadi obat masuk angin,” janji Peri Hutan.
Mendengar janji Peri Hutan, Kerbau-kerbau bertepuk tangan dan langsung sungkem di hadapan Peri Hutan. “Wahai Ibu Peri, kami berterima kasih sekali. Tidaklah sia-sia demonstrasi serangan kami kepada Kuda-kuda siang tadi. Kami akan demo lagi jika kami dianiaya. Hidup Ibu Peri…hidup Ibu Peri…” teriak Kerbau-kerbau.
Dua Peri tadi sangat kaget oleh teriakan Kerbau. “Eee…, jangan kau kira karena demo lantas kukabulkan permintaanmu. Kamu memang Kerbau bodoh, karena itu kamulah binatang yang nantinya akan menjadi contoh bagi orang-orang bodoh yang berbuat salah.”
“Apa maksudnya Ibu Peri….?” tanya Kerbau serentak.
“Jika ada orang bodoh, maka dia akan dikatakan “Si Bodoh Longa-longo kayak Kerbau…” Berkata demikian dua Peri itu langsung kabur meninggalkan Kerbau yang sangat menyesal dijadikan ejekan contoh bagi orang bodoh. Maka sejak saat itupun jika ada orang bodoh, maka mereka akan dijuluki Si Bodoh seperti Kerbau.
Selesai mencapai kesepakatan dengan Kerbau, dua Peri tadi menemui Baginda Raja dan memberitahu keinginan Kerbau untuk menjadikan Kerbau Bule sebagai simbol kerajaan. Raja tidak keberatan, malah merasa bersyukur, karena Kerbau Bule akan menjadi ikon dalam upacara-upacara tradisi di istana raja.
Setelah menemui raja, Peri-peri itu menemui Gajah, Kuda dan Burung Unta. Gajah Raksasa akhirnya berjanji mau berteman lagi dengan Kerbau. Ia menitipkan salam untuk anak isterinya lewat Peri Hutan. Adapun Kuda-kuda minta tambahan kekuatan agar tidak menjadi hewan yang cepat terkejut dan lari tunggang langgang jika mendengar suara aneh dan berjanji tidak akan dendam kepada Kerbau. Sedangkan Burung Unta hanya melambaikan tangan kepada Peri Angin karena ia terlepas dari bencana serangan Kerbau.
NONI
Di saat Kerbau-kerbau sedang membajak sawah, di hutan ada seekor Gajah Raksasa yang berhasil ditangkap tentara Kerajaan Kota. Anak Gajah sebagai saksi mata penangkapan itu meratap sesenggukan. Gajah Kecil itu tidak ikut dibawa ke kerajaan karena dinilai tidak cukup kuat menjadi binatang tunggangan raja. Gajah Kecil hanya menangis melihat ayahnya ditaklukkan seorang pawang. Organ di bawah kening Gajah Kecil itu segera menyuarakan suara paraunya untuk mengadu kepada induknya di tengah hutan. Dengan cara ini Gajah memang bisa saling berkomunikasi dalam jarak jauh.
Namun semuanya telah terlambat. Tentara kerajaan sudah jauh menuju istana. Gajah Raksasa, demikian nama Gajah yang berhasil ditangkap tentara kerajaan. Raja amat gembira menerima upeti seekor Gajah Raksasa. Raja amat ingin menjadikannya tunggangan ketika bepergian dan berangkat ke medan perang.
Mengetahui hal ini, Peri Hutan amat sedih. Namun demikianlah nasib rakyatnya. Mereka memang ditakdirkan sebagai hewan yang harus menjadi obyek kebutuhan manusia. Tetapi ketika Peri Hutan melihat bahwa Gajah Raksasanya dipelihara dengan sangat baik oleh Baginda Raja, Peri Hutan merasa sangat lega.
Apalagi Gajah Raksasa itu tak pernah kekurangan makan dan sangat dimanjakan para pawangnya. Raja juga selalu memuja Gajahnya dan dipamerkan dimana-mana. Tidak perlu waktu lama, Raja sudah berani naik Gajah Raksasa ini karena ia jinak. Ia sudah menjadi binatang peliharaan yang manis. Ia sudah tahu tugasnya. Gajah Raksasa ini malah bangga menjadi binatang tunggangan Baginda Raja karena dimana-mana ia juga dielu-elukan. Enak benar nasibku, daripada di hutan tak kenal manusia, di istana, aku seperti raja kecil, bathin si Gajah. Iapun melupakan rindunya pada anak isterinya.
Setiap hari, Gajah Raksasa dikandangkan. Kebetulan kandangnya bersebelahan dengan kandang Kerbau-kerbau. Jadi, setiap hari Gajah Raksasa bertemu dengan kawanan Kerbau. Pertamanya, Gajah merasa senang punya kawan, sehingga ia bisa menyampaikan rasa bangganya dielu-elukan penduduk ketika mengantar Baginda Raja berjalan-jalan.
Sedangkan kepada Gajah, Kerbau selalu mengeluhkan tentang beban pekerjaannya. Setiap hari Kerbau mengeluh tak henti-henti. Ia mengeluh sering digebugi si pawang. Ia mengeluh kepanasan ketika membajak sawah. Sehabis itu ia mengeluh karena harus mencari makanan sendiri di ladang. Tak seperti Gajah yang makanannya enak-enak, dari kelapa hingga waluh bahkan kacang kecil hingga air untuk mandi, semua sudah disiapkan si pawang di kandang Gajah. Kerbau memang iri, tetapi ia tak dapat berbuat apa-apa.
Lama-lama Gajah sangat jenuh mendengar omelan kawanan Kerbau. Menurut Gajah, Kerbau tidak berusaha mencari cara supaya tidak mengeluh. Saking jenuhnya, Gajah selalu berpura-pura tidur jika kawanan Kerbau datang. Artinya Gajah berusaha tidak berbagi cerita dan tidak mau mendengarkan keluhan Kerbau.
Merasa dijauhi Gajah, kawanan Kerbau akhirnya malas berkawana dengan Gajah. Kerbau istana lebih senang bercanda dengan kawanan Burung Unta peliharaan kerajaan. Nasib Burung Unta sama dengan Gajah. Saking cantiknya Burung Unta, sang Ratu juga sangat senang jika bepergian dengan menumpang Burung Unta. Terkadang jika ada upacara penting, Raja dan Ratu berjalan beriringan, Raja naik Gajah dan Ratu naik Burung Unta. Tetapi karena Burung Unta tampak lebih ramah, Kerbau lebih suka berteman dengan Burung Unta karena tidak sesombong Gajah.
Pada Suatu hari Raja dan Ratu akan bepergian ke negara tetangga. Gajah Raksasa dan Burung Unta sudah dihias dengan dampar kencana di punggung mereka. Aduh betapa gagah dan cantiknya Gajah dan Burung Unta itu. Tentu saja semua hewan sangat iri atas kebaikan nasib mereka. Dua tunggangan Raja dan Ratu itu pun akan diiringi Kuda-kuda yang dinaiki para hulubalang. Sebelum berangkat, binatang hutan itu berbaris di halaman menunggu Banginda Raja keluar dari istana.
Burung Unta yang paling tinggi berdiri di belakang Gajah sedangkan Kuda-kuda berbaris di kiri kanan mereka. Tiba-tiba kawanan Kerbau datang dengan cepat dan langsung menyerudug hewan-hewan istana itu. Mengetahui diserang secara liar, Gajah Raksasa tetap berdiri tegak sambil mengacung-acungkan belalainya. Maka tak seekor Kerbaupun yang berani mendekatinya.
Adapun Kuda-kuda berlari ketakutan karena kaget. Suasana menjadi gempar. Hewan-hewan berlarian dikejar Kerbau-kerbau. Karena Kerbau membabi buta, Gajah Raksasa langsung menggunakan belalainya untuk menyiram debu di arena perang antara Kerbau melawan Kuda. Anehnya, tak satupun Kerbau yang menyerang Burung Unta. Maklum Burung Unta sudah dianggap kawan paling baik yang bersedia mendengar keluhan-keluhan Kerbau.
Patih segera turun tangan. Segenap pawang diperintah langsung terjun ke arena perang. Kuda-kuda diamankan, sedangkan Kerbau-kerbau dipecuti digiring ke kandang mereka. Keberangkatan Raja dan Ratu akhirnya ditunda.
Pada malam harinya, Peri Hutan dan Peri Angin hadir di istana. Sebelum menemui Baginda Raja, dua Peri ini mencari data-data kepada Gajah, Kuda, Kerbau dan Burung Unta. Hasilnya didapati bahwa perkelahian siang tadi akibat kecemburuan Kerbau sebagai binatang yang mendapat perlakuan buruk sehingga sangat marah dan iri. Para Peri ini segera mendatangi Kerbau.
Melihat datangnya Peri junjungannya, Kerbau-kerbau itu menghaturkan sembah dan langsung mengadukan nasibnya. “Wahai Ibu Peri, mengapa kau jadikan kami hewan babu? Badanku kuat, tetapi tak bisa berperang seperti kuda. Tubuhku besar, tetapi Raja malu naik di punggungku dan memilih naik Gajah. Perutku sebesar Burung Unta, tetapi Ratu tak perduli. Tandukku gagah, tetapi gading gajah lebih berharga,” keluh Kerbau.
Peri Angin dan Peri Hutan yang selalu ejek mengejek tersenyum kecut mendengar keluhan Kerbau. “Ibu Peri, kami ingin menjadi bagian penting di istana raja. Kami jenuh terus-menerus menjadi buruh di sawah. Kami mengaku bersalah menyerang Kuda-kuda kerajaan. Kami rakyat yang ingin berbakti kepada Raja, tetapi berilah kami tempat yang layak,” pinta Kerbau dengan belas kasihnya.
“Baiklah Kerbau. Aku kabulkan permintaanmu, tetapi dengan syarat, kamu harus diuji intelegensimu dulu,” kata Peri Hutan. Kerbau-kerbau itu bersedia diuji lagi. Merekapun bersiap menjawab test pertanyaan yang akan diberikan oleh Peri Hutan. Maka testingpun dimulai.
“Wahai Kerbau, tahukah kamu, lebih cepat mana larimu dibandingkan larinya burung Unta?” tanya Peri Hutan.
“Ibu Peri, kakiku empat, kaki burung Unta hanya dua. Meski ia burung, tetapi tak bisa terbang. Jadi, tentu lariku lebih cepat,” jawab Kerbau.
“Lha kamu salah Bau. Meski tak dapat terbang, Burung Unta dapat berlari sangat cepat dengan dua kakinya,” kata Peri Angin.
“Tetapi Ibu Peri Angin, jari Unta hanya dua, pasti tak kuat berlari!” teriak Kerbau.
“Lha kamu salah lagi. Satu jarinya jauh lebih besar yang dipakainya untuk berlari dan menendang penghalangnya. Kamu Kerbau yang kebesaran perut sehingga berjalanmu lamban sekali,” jelas Peri Angin. Atas penjelasan itu Kerbau-kerbau tertunduk malu.
“Pertanyaan yang kedua. Kamu kuat membajak sawah. Kuda kuat berlari seharian. Di antara kalian, mana yang lebih kuat?” tanya Peri Hutan.
“Ibu Peri, tentu aku lebih kuat. Aku membajak sawah agar manusia dapat makan. Kuda hanya kesana kemari, tak berguna dan bikin boros saja,” jawab Kerbau.
“Wah, kau harus tahu bahwa Kuda bisa pergi berhari-hari menggendong tuannya. Ia seperti Anjing, sangat setia dan tidak pernah meninggalkan tuannya. Ia tidak pernah mengeluh dan tidak pernah berdemo seperti kamu.” Lagi-lagi Kerbau tertunduk malu.
Lalu Peri Hutan memberi satu pertanyaan lagi. “Punggungmu dan punggung Gajah bisa membawa beban. Lebih banyak mana, beban yang kau bawa dibandingkan yang dibawa Gajah?” tanya Peri Hutan.
“Ibu Peri, anak-anak Gembala selalu naik dipunggungku antara 4 sampai 5 anak. Gajah hanya dinaiki Baginda Raja saja. Kami bekerja membajak sawah seharian, kerjaan Gajah hanya makan sebanyak-banyaknya,” jawab Kerbau yang menjawab sepengetahuannya melihat Gajah Istana hanya ditunggangi Baginda Raja. Peri Hutan tersenyum mendengar jawaban Kerbau.
“Kerbau, kamu itu kuper sih. Kamu egois dan kamu sangat bodoh. Makanya kamu hanya bernasib jelek menjadi babu. Memangnya hanya Raja yang bisa naik Gajah, semua orang atau barang apapun bisa dinaikkan di punggung gajah. Ia sekuat buldoser, bisa menumbangkan pohon, bisa merubuhkan rumah,” seru Peri Hutan.
Kerbau-kerbau membenarkan jawaban Peri sehaingga lagi-lagi mereka tertunduk malu. “Tetapi Ibu Peri, meskipun kami bodoh, berilah kami tempat yang layak karena kami telah membantu manusia membajak sawah,” pinta Kerbau.
“Baiklah. Tetapi hanya satu keluarga Kerbau yang akan kujadikan Kerbau idaman. Mereka adalah keluarga Kerbau Bule dan akan menjadi simbol di Istana Raja. Nantinya Kerbau Bule akan mengangkat nama Kerbau, sebab tahinya saja akan menjadi rebutan manusia karena bisa menjadi obat masuk angin,” janji Peri Hutan.
Mendengar janji Peri Hutan, Kerbau-kerbau bertepuk tangan dan langsung sungkem di hadapan Peri Hutan. “Wahai Ibu Peri, kami berterima kasih sekali. Tidaklah sia-sia demonstrasi serangan kami kepada Kuda-kuda siang tadi. Kami akan demo lagi jika kami dianiaya. Hidup Ibu Peri…hidup Ibu Peri…” teriak Kerbau-kerbau.
Dua Peri tadi sangat kaget oleh teriakan Kerbau. “Eee…, jangan kau kira karena demo lantas kukabulkan permintaanmu. Kamu memang Kerbau bodoh, karena itu kamulah binatang yang nantinya akan menjadi contoh bagi orang-orang bodoh yang berbuat salah.”
“Apa maksudnya Ibu Peri….?” tanya Kerbau serentak.
“Jika ada orang bodoh, maka dia akan dikatakan “Si Bodoh Longa-longo kayak Kerbau…” Berkata demikian dua Peri itu langsung kabur meninggalkan Kerbau yang sangat menyesal dijadikan ejekan contoh bagi orang bodoh. Maka sejak saat itupun jika ada orang bodoh, maka mereka akan dijuluki Si Bodoh seperti Kerbau.
Selesai mencapai kesepakatan dengan Kerbau, dua Peri tadi menemui Baginda Raja dan memberitahu keinginan Kerbau untuk menjadikan Kerbau Bule sebagai simbol kerajaan. Raja tidak keberatan, malah merasa bersyukur, karena Kerbau Bule akan menjadi ikon dalam upacara-upacara tradisi di istana raja.
Setelah menemui raja, Peri-peri itu menemui Gajah, Kuda dan Burung Unta. Gajah Raksasa akhirnya berjanji mau berteman lagi dengan Kerbau. Ia menitipkan salam untuk anak isterinya lewat Peri Hutan. Adapun Kuda-kuda minta tambahan kekuatan agar tidak menjadi hewan yang cepat terkejut dan lari tunggang langgang jika mendengar suara aneh dan berjanji tidak akan dendam kepada Kerbau. Sedangkan Burung Unta hanya melambaikan tangan kepada Peri Angin karena ia terlepas dari bencana serangan Kerbau.
NONI
Serial dewa-dewa - Tupai dan Tarzan
PERI : ANTARA TUPAI DAN TARZAN
Tupai adalah makhluk mungil nan cantik. Ia tidak pernah bikin ribut. Ia selalu mengalah kepada siapa saja. Ia juga binatang yang suka menolong sesama untuk memecahkan barang-barang berkulit keras. Maklum ia pemakan buah kenari yang keras. Namun suatu saat, Tupai mengadu kepada Peri Hutan. Ia sangat keberatan jika kepandaiannya dijiplak Tarzan.
Peri Hutan kaget. Dia merasa tidak pernah menciptakan binatang bernama Tarzan. Kontan binatang hutan mengetawai Peri junjungannya ini. “Aduh Ibu Peri, mengapa koq kuper? Tarzan itu manusia peliharaan Monyet sejak bayinya hingga dewasa,” demikian Bebek menceritakan sambil memegal-megolkan bokongnya mengejek Peri Hutan.
“Sejak bayi hingga dewasa? Wah, aku kecolongan selama 20 tahun. Masakan aku tak pernah melihat adanya Tarzan di hutanku. Tetapi jika Tarzan berguna bagi kalian, aku akan mengangkatnya menjadi salah satu rakyatku. Jika ia merugikan, aku akan mengirimkannya kepada manusia,” kata Peri Hutan.
“Dia baik Ibu Peri, kami mengangkatnya menjadi pengganti Ibu Peri jika Ibu pergi ke Istana Dewa,” serentak rakyat hutan membela Tarzan. Peri Hutan tambah kaget lagi.
“Benarkah? Tetapi mengapa Tupai marah? Kepandaian apa yang dijiplak dari Tupai.” tanya Peri Hutan.
“Ia berjalan menggunakan akar gantung pohon hutan untuk kesana kemari, persis seperti Tupai. Jika Tupai mengadu adalah karena kepandaiannya melompat dari satu dahan ke dahan lain, merupakan hak ciptanya Tupai!” jawab Gajah.
Peri Hutan tersenyum lebar. Ada-ada saja si Tupai, pakai hak cipta segala. Memang punya hak macam mana? Semua kepandaian makhluk adalah ciptaan Yang Maha Pencipta, bathin Peri Hutan. Tetapi Peri Hutan penasaran, seperti apakah manusia yang bernama Tarzan itu?
Syahdan, Peri Hutan kini menyamar menjadi manusia tua yang tersesat di hutan. Ia sudah berada pada jarak yang amat dekat dengan Tarzan. Tak lama kemudian keduanya sudah saling berhadapan. Tarzan kaget tak alang kepalang.
Di tengah hutan begini, ada nenek tua yang masih sangat sehat. Buru-buru Tarzan yang sedang berayun di akar beringin, meluncur turun dengan lincah. Nenek tua sangat kagum atas kegesitan Tarzan
“Eh eh, anak muda yang ngganteng, jangan membuat kaget nenek ya…” kata Nenek.
“Aaauuuuuua,” jawab Tarzan. Nenek tua kaget. Koq dijawab dengan auman Monyet.
“Hai Pemuda ngganteng, siapa namamu? Mengapa berada di tengah hutan ini?”
“Aaauuuuaaa,” jawab Tarzan.
Nenek tua akhirnya tahu bahwa Tarzan tidak bisa menangkap bahasa manusia yang ia gunakan. Maka ia ganti bertanya dengan menggunakan bahasa binatang.
“Aku mau ketemu ibumu,” kata nenek tua. Tarzan malah kaget, ada manusia bisa bahasa binatang. “Siapa kau?” tanya Tarzan yang memang hanya bisa berbahasa binatang. “Aku Peri Hutan!” berkata demikian nenek tua itu sudah mengubah dirinya menjadi Peri Hutan.
“Aduh Ibu Peri, maafkan saya tak tahu ada Ibu Peri disini,” kata Tarzan sambil menyembah. “Oh, sudahlah Tarzan. Aku hanya bertanya, siapa yang mengajarimu meluncur dari dahan ke dahan?” tanya Peri Hutan.
“Dari semua binatang hutan, terutama ibuku, Monyet!” jawab Tarzan yang mengaku anaknya Monyet.
“Kalau dari Tupai, apanya yang kau tiru?” tanya Peri Hutan lagi.
“Oh Tupai, ia binatang peloncat paling hebat. Aku menirunya ketika Tupai jatuh dari ketinggian dengan tetap tegak di keempat kakinya,’ jawab Tarzan.
“Kau tahu Tarzan, Tupai marah atas penjiplakanmu itu,” kata Peri Hutan.
“Ohhh, maafkanlah. Lalu apakah aku akan dihukum? Aku tidak menjual penjiplakanku ini untuk kepentingan bisnis. Semua melulu untuk menolong sesama binatang hutan jika manusia bikin celaka mereka,” bela Tarzan.
“Ohhh, begitu Ya sudah!” berkata demikia Peri Hutan menghilang.
Peri Hutan menemui Tupai lagi. Maka sidang langsung digelar di ranah Tupai-tupai. Mereka terus-terusan meneriakkan yel-yel anti Tarzan.
“Wahai para Tupai, Tarzan belajar ilmu dari semua binatang termasuk Tupai. Ia tidak membisniskan penjiplakannya itu kepada umum,” kata Peri Hutan.
“Yang kami adukan bukan sekedar penjiplakannya Ibu Peri, tetapi kami takut, Tarzan bisa mengembangkan ilmu kami itu melebihi kami. Sedangkan kami tak bisa menciptakan kepandaian lain selain yang kami bisa sebagai Tupai,” kata raja Tupai merengek.
“Oh oh oh, Tupai, manusia diciptakan dengan tambahan akal untuk menciptakan kelebihan. Setiap tahun bumi bertaMbah maju karena adanya manusia,” kata Peri Hutan.
“Kalau begitu, mengapa Tarzan yang manusia diambil anak oleh Monyet? Sedangkan jika binatang diambil manusia, hanya dijadikan bahan makanan?”
“Lhoo… sebenarnya, apa yang kamu keluhkan? Penjiplakan Tarzan atau manusia menyembelih binatang?”
“Yang kami inginkan adalah tidak ada manusia menghuni hutan ini. Tarzan harus pergi.”
“Semua binatang Hutan menyayanginya, bahkan mengangkat Tarzan menjadi wakilku!”
“Wah, kami keberatan Ibu Peri. Itu tidak adil. Manusia harus diperangi karena pemakan binatang.”
“Dengar Tupai, Tarzan penolong binatang yang dianiaya manusia,” kata Peri Hutan.
“Bohong Ibu Peri. Kami melihat Tarzan suka membuat kambing guling, gulai ayam dan bestik lidah sapi,” kata Tupai.
“Hahhh, benarkah?”
Saking kagetnya Peri Hutan, ia langsung menghilang dan menemui Tarzan kembali.
“Hai Tarzan, kata Tupai, kau suka bikin kambing guling, gulai ayam dan bestik lidah sapi,” tanya Peri Hutan.
“Ternyata enak juga Ibu Peri, tetapi aku dikasih Polisi Hutan koq. Dialah temanku satu-satunya. Jika aku makan, Tupai melihatku, kayaknya dia juga kepingin,” bela Tarzan.
Ibu Peri makin kebingungan. Buru-buru dia menghilang dan kembali menemui Tupai.
“Wahai Tupai, Tarzan makan gulai ayam, kambing guling dan berstik lidah sapi karena dikasih Polisi Hutan, kamu kepingin ya…?” tanya Peri Hutan.
“Ibu Peri... habis, kami hanya diberi porsi memakan biji kenari hazelnut di pohon yang tinggiiiii banget. Gigi kami capek mengeratnya, meski gigi kami kuat dan tajam, kami juga harus loncat-loncat begitu tinggi,’ keluh Raja Tupai.
Seketika Peri Hutan tak dapat menahan ketawanya. Dasar Tupai bodoh dan tak tahu diuntung. Sudah diberi keistimewaan sebagai binatang paling dahsyat yang bisa terbang tanpa sayap dari jarak 30 meter di ketinggian 100 meter, masih belum cukup juga.
“Tupai, kau pandai melompat dari satu pohon ke pohon lainnya tanpa terjatuh layaknya pemain sirkus. Kau bisa mendapatkan makananmu, buah kenari dan buah-buahan berkulit keras di pucuk pohon yang tinggi. Kau bisa mengumpulkan makanan di berbagai musim di dalam sarangmu. Kau punya ekor yang jadi kemudi saat kau terbang. Kau punya kumis untuk menjaga keseimbangan. Kumismu juga untuk mengenali benda-benda di malam hari. Dan kau punya selaput terbang, bisa membuat 6 lompatan berturutan, menempuh jarak 530 meter. Kau memang diciptakan seistimewa itu. Masih kurangkah, Tupai?!” seru Peri Hutan.
Tiba-tiba hampir semua binatang hutan ikut masuk di ruang sidang, termasuk Tarzan.
“Wahai Ibu Peri, mohon ampuni semua rakyatmu. Tentu saja Tupai tidak berani protes pada Ibu Peri. Itu semua hanyalah akal-akalan rakyatmu, agar Ibu Peri mengenal Tarzan,” seru Beruang yang mengkomandani penghuni hutan. Memang sebenarnya aksi protes Tupai kepada Peri Hutan dibuat agar Peri Hutan berkenalan dengan Tarzan,”
“Jadi…” seru Peri Hutan dan Tarzan yang juga dikerjai dan dikibuli binatang hutan. Peri dan Tarzan akhirnya tertawa riang bersama Tupai dan segenap binatang hutan. Meski dikerjai, Peri Hutan dan Tarzan tidak marah.
NONI
Tupai adalah makhluk mungil nan cantik. Ia tidak pernah bikin ribut. Ia selalu mengalah kepada siapa saja. Ia juga binatang yang suka menolong sesama untuk memecahkan barang-barang berkulit keras. Maklum ia pemakan buah kenari yang keras. Namun suatu saat, Tupai mengadu kepada Peri Hutan. Ia sangat keberatan jika kepandaiannya dijiplak Tarzan.
Peri Hutan kaget. Dia merasa tidak pernah menciptakan binatang bernama Tarzan. Kontan binatang hutan mengetawai Peri junjungannya ini. “Aduh Ibu Peri, mengapa koq kuper? Tarzan itu manusia peliharaan Monyet sejak bayinya hingga dewasa,” demikian Bebek menceritakan sambil memegal-megolkan bokongnya mengejek Peri Hutan.
“Sejak bayi hingga dewasa? Wah, aku kecolongan selama 20 tahun. Masakan aku tak pernah melihat adanya Tarzan di hutanku. Tetapi jika Tarzan berguna bagi kalian, aku akan mengangkatnya menjadi salah satu rakyatku. Jika ia merugikan, aku akan mengirimkannya kepada manusia,” kata Peri Hutan.
“Dia baik Ibu Peri, kami mengangkatnya menjadi pengganti Ibu Peri jika Ibu pergi ke Istana Dewa,” serentak rakyat hutan membela Tarzan. Peri Hutan tambah kaget lagi.
“Benarkah? Tetapi mengapa Tupai marah? Kepandaian apa yang dijiplak dari Tupai.” tanya Peri Hutan.
“Ia berjalan menggunakan akar gantung pohon hutan untuk kesana kemari, persis seperti Tupai. Jika Tupai mengadu adalah karena kepandaiannya melompat dari satu dahan ke dahan lain, merupakan hak ciptanya Tupai!” jawab Gajah.
Peri Hutan tersenyum lebar. Ada-ada saja si Tupai, pakai hak cipta segala. Memang punya hak macam mana? Semua kepandaian makhluk adalah ciptaan Yang Maha Pencipta, bathin Peri Hutan. Tetapi Peri Hutan penasaran, seperti apakah manusia yang bernama Tarzan itu?
Syahdan, Peri Hutan kini menyamar menjadi manusia tua yang tersesat di hutan. Ia sudah berada pada jarak yang amat dekat dengan Tarzan. Tak lama kemudian keduanya sudah saling berhadapan. Tarzan kaget tak alang kepalang.
Di tengah hutan begini, ada nenek tua yang masih sangat sehat. Buru-buru Tarzan yang sedang berayun di akar beringin, meluncur turun dengan lincah. Nenek tua sangat kagum atas kegesitan Tarzan
“Eh eh, anak muda yang ngganteng, jangan membuat kaget nenek ya…” kata Nenek.
“Aaauuuuuua,” jawab Tarzan. Nenek tua kaget. Koq dijawab dengan auman Monyet.
“Hai Pemuda ngganteng, siapa namamu? Mengapa berada di tengah hutan ini?”
“Aaauuuuaaa,” jawab Tarzan.
Nenek tua akhirnya tahu bahwa Tarzan tidak bisa menangkap bahasa manusia yang ia gunakan. Maka ia ganti bertanya dengan menggunakan bahasa binatang.
“Aku mau ketemu ibumu,” kata nenek tua. Tarzan malah kaget, ada manusia bisa bahasa binatang. “Siapa kau?” tanya Tarzan yang memang hanya bisa berbahasa binatang. “Aku Peri Hutan!” berkata demikian nenek tua itu sudah mengubah dirinya menjadi Peri Hutan.
“Aduh Ibu Peri, maafkan saya tak tahu ada Ibu Peri disini,” kata Tarzan sambil menyembah. “Oh, sudahlah Tarzan. Aku hanya bertanya, siapa yang mengajarimu meluncur dari dahan ke dahan?” tanya Peri Hutan.
“Dari semua binatang hutan, terutama ibuku, Monyet!” jawab Tarzan yang mengaku anaknya Monyet.
“Kalau dari Tupai, apanya yang kau tiru?” tanya Peri Hutan lagi.
“Oh Tupai, ia binatang peloncat paling hebat. Aku menirunya ketika Tupai jatuh dari ketinggian dengan tetap tegak di keempat kakinya,’ jawab Tarzan.
“Kau tahu Tarzan, Tupai marah atas penjiplakanmu itu,” kata Peri Hutan.
“Ohhh, maafkanlah. Lalu apakah aku akan dihukum? Aku tidak menjual penjiplakanku ini untuk kepentingan bisnis. Semua melulu untuk menolong sesama binatang hutan jika manusia bikin celaka mereka,” bela Tarzan.
“Ohhh, begitu Ya sudah!” berkata demikia Peri Hutan menghilang.
Peri Hutan menemui Tupai lagi. Maka sidang langsung digelar di ranah Tupai-tupai. Mereka terus-terusan meneriakkan yel-yel anti Tarzan.
“Wahai para Tupai, Tarzan belajar ilmu dari semua binatang termasuk Tupai. Ia tidak membisniskan penjiplakannya itu kepada umum,” kata Peri Hutan.
“Yang kami adukan bukan sekedar penjiplakannya Ibu Peri, tetapi kami takut, Tarzan bisa mengembangkan ilmu kami itu melebihi kami. Sedangkan kami tak bisa menciptakan kepandaian lain selain yang kami bisa sebagai Tupai,” kata raja Tupai merengek.
“Oh oh oh, Tupai, manusia diciptakan dengan tambahan akal untuk menciptakan kelebihan. Setiap tahun bumi bertaMbah maju karena adanya manusia,” kata Peri Hutan.
“Kalau begitu, mengapa Tarzan yang manusia diambil anak oleh Monyet? Sedangkan jika binatang diambil manusia, hanya dijadikan bahan makanan?”
“Lhoo… sebenarnya, apa yang kamu keluhkan? Penjiplakan Tarzan atau manusia menyembelih binatang?”
“Yang kami inginkan adalah tidak ada manusia menghuni hutan ini. Tarzan harus pergi.”
“Semua binatang Hutan menyayanginya, bahkan mengangkat Tarzan menjadi wakilku!”
“Wah, kami keberatan Ibu Peri. Itu tidak adil. Manusia harus diperangi karena pemakan binatang.”
“Dengar Tupai, Tarzan penolong binatang yang dianiaya manusia,” kata Peri Hutan.
“Bohong Ibu Peri. Kami melihat Tarzan suka membuat kambing guling, gulai ayam dan bestik lidah sapi,” kata Tupai.
“Hahhh, benarkah?”
Saking kagetnya Peri Hutan, ia langsung menghilang dan menemui Tarzan kembali.
“Hai Tarzan, kata Tupai, kau suka bikin kambing guling, gulai ayam dan bestik lidah sapi,” tanya Peri Hutan.
“Ternyata enak juga Ibu Peri, tetapi aku dikasih Polisi Hutan koq. Dialah temanku satu-satunya. Jika aku makan, Tupai melihatku, kayaknya dia juga kepingin,” bela Tarzan.
Ibu Peri makin kebingungan. Buru-buru dia menghilang dan kembali menemui Tupai.
“Wahai Tupai, Tarzan makan gulai ayam, kambing guling dan berstik lidah sapi karena dikasih Polisi Hutan, kamu kepingin ya…?” tanya Peri Hutan.
“Ibu Peri... habis, kami hanya diberi porsi memakan biji kenari hazelnut di pohon yang tinggiiiii banget. Gigi kami capek mengeratnya, meski gigi kami kuat dan tajam, kami juga harus loncat-loncat begitu tinggi,’ keluh Raja Tupai.
Seketika Peri Hutan tak dapat menahan ketawanya. Dasar Tupai bodoh dan tak tahu diuntung. Sudah diberi keistimewaan sebagai binatang paling dahsyat yang bisa terbang tanpa sayap dari jarak 30 meter di ketinggian 100 meter, masih belum cukup juga.
“Tupai, kau pandai melompat dari satu pohon ke pohon lainnya tanpa terjatuh layaknya pemain sirkus. Kau bisa mendapatkan makananmu, buah kenari dan buah-buahan berkulit keras di pucuk pohon yang tinggi. Kau bisa mengumpulkan makanan di berbagai musim di dalam sarangmu. Kau punya ekor yang jadi kemudi saat kau terbang. Kau punya kumis untuk menjaga keseimbangan. Kumismu juga untuk mengenali benda-benda di malam hari. Dan kau punya selaput terbang, bisa membuat 6 lompatan berturutan, menempuh jarak 530 meter. Kau memang diciptakan seistimewa itu. Masih kurangkah, Tupai?!” seru Peri Hutan.
Tiba-tiba hampir semua binatang hutan ikut masuk di ruang sidang, termasuk Tarzan.
“Wahai Ibu Peri, mohon ampuni semua rakyatmu. Tentu saja Tupai tidak berani protes pada Ibu Peri. Itu semua hanyalah akal-akalan rakyatmu, agar Ibu Peri mengenal Tarzan,” seru Beruang yang mengkomandani penghuni hutan. Memang sebenarnya aksi protes Tupai kepada Peri Hutan dibuat agar Peri Hutan berkenalan dengan Tarzan,”
“Jadi…” seru Peri Hutan dan Tarzan yang juga dikerjai dan dikibuli binatang hutan. Peri dan Tarzan akhirnya tertawa riang bersama Tupai dan segenap binatang hutan. Meski dikerjai, Peri Hutan dan Tarzan tidak marah.
NONI
Serial Dewa-dewa -Siluet di Pinggir Pantai
SILUET DI PINGGIR PANTAI
Hampir semua ikan di Selat Biru pernah melihat seorang puteri yang amat khusyuk bertapa. Ia bersandar pada ranting-ranting kering dengan dedaunan liar yang tumbuh di pinggir pantai. Tubuhnya terbenam air, hanya kepalanya saja yang tampak. Gadis itu bertekad tidak akan meninggalkan pertapaannya barang sedetikpun sebelum doanya terkabul.
Pada suatu malam yang dingin di bulan ke delapan dari tapanya, Siluet, demikian nama puteri itu, tiba-tiba merasakan belaian tangan di kepalanya. Siluet kaget sekali, ia segera.mendongakkan kepalanya. Dilihatnya seorang puteri cantik bersama lelaki tampan yang mukanya luar biasa bercahaya.
“Wahai Paduka, Dewa-Dewi-kah yang telah mengusap kepala hamba?” tanya Siluet.
“Siluet, Aku Dewi Malam bersama Dewa Laut. Kami kagum pada tekadmu bertapa. Sudah tujuh bulan kau lakukan taba brata seperti ini. Sebenarnya apa maumu?” tanya Dewi Malam.
“Duh Dewi. Entahlah apa yang kucari karena aku tak tahu. Yang kuingin adalah melihat dengan mata kepalaku sendiri, apa yang bercahaya nun jauh di laut itu. Setiap malam aku melihat cahaya berkelap-kelip di permukaan laut. Apakah di dasar laut juga demikian? Aku ingin mengambil cahaya itu, lalu kutempel di wajahku, agar wajahku cantik bercahaya seperti Dewi Malam,” pinta Siluet berterus terang.
“Yang bercahaya di permukaan laut itu adalah Cacing Laut Betina. Cacing Laut Betina hanya hidup di tengah laut Segitiga Bermuda dan Segitiga Masalembo,” demikian Dewa Laut menerangkan.
“Sungguh hebat ciptaan Dewa Laut. Bolehkan hamba ingin melihat secara dekat Cacing Laut Betina. Sebab jika hamba mendekatinya dengan sampan, cahaya itu hilang. Jika kucari dengan menyelam, cahaya itupun tak tampak lagi. Di dasar laut yang dalam, aku juga mendengar bahwa ada Ubur-Ubur bercahaya yang amat indah. Wahai Dewa Laut, izinkanlah hamba melihatnya langsung.”
“Hanya itukah keinginanmu hingga bertapa 7 bulan di pinggir pantai?” tanya Dewa Laut.
“Ya Dewa, andai bawah laut memang demikian indah, Izinkanlah hamba menjadi ikan dan manusia yang cantik bercahaya,” pinta Siluet.
“Wahhh, aneh sekali permintaanmu! Kau ingin menjadi ikan? Begini saja, marilah kuajak melihat Cacing Laut Betina di tengah laut. Lalu menyelam di dasar laut yang dalam melihat Ubur-Ubur bercahaya. Jika kau suka, akan kupertimbangkan permohonanmu,” ajak Dewa Laut. Tentu saja Siluet sangat gembira diajak melihat hal-hal yang bercahaya di tengah laut. Artinya permohonan tapanya selama ini dikabulkan.
Maka berangkatlah Siluet diajak terbang oleh Dewa Laut dan Dewa Malam ke tengah laut. Siluet tidak takut. Ia bahkan sangat menikmati dibawa terbang oleh para Dewa hingga sampai di tengah laut. Dari atas, cahaya di tengah laut sudah tampak begitu indah.
Itulah Cacing Laut Betina. Ia hewan seperti Kunang-kunang di sawah, berkelip-kelip. ketika memperagakan kilau cahaya untuk menarik perhatian Cacing Laut Jantan dengan lampu kecilnya. Siluet amat kagum oleh permainan cahaya di tengah laut. Ribuan Cacing-cacing Betina dan Jantan berkumpul jadi satu selama beberapa lama hingga muncul planet Bulan di langit. Cahaya planet Bulan membuat Cacing-cacing itu menyelam di dasar laut, takut jika cahayanya direbut planet Bulan.
Siluet kecewa, Cacing-cacning itu hanya muncul tak lebih dari setengah jam. Padahal ia masih ingin melihat lebih lama. Akhirnya Dewa Laut mengajak Siluet menyelam di air.
“Tetapi kau tak mungkin bisa menyelam lebih dari 15 detik. Kamu harus berubah menjadi Ikan Duyung jika ingin melihat kedalaman dasar laut. Jika kau mau, kami juga akan menemanimu menjadi Ikan Duyung,” bujuk Dewa Laut dan Dewi Malam.
“Apakah Ikan Duyung itu Dewa Laut?”
“Ikan Duyung adalah manusia setengah ikan. Ekornya ikan kepalanya manusia. Mau?”
Tentu saja Siluet tidak menolak. Inilah saat yang ditunggu-tunggu, meski menjadi Ikan, itu tidak masalah asal ia bisa melihat apa yang ada di dasar laut. Maka tiba-tiba mereka bertiga sudah tercebur di tengah laut.
“Siluet, saat ini kakimu berubah menjadi ekor ikan. Jika kembali ke darat, kakimu akan berubah lagi menjadi kaki manusia biasa,” Siluet mengangguk. Ia sudah tak sabar diajak menyelam ke dasar laut.
“Kita gunakan tali, agar tidak terpisah, sebab di dalam laut gelap sekali.” Maka ketiga Duyung itu digandeng dengan tali dan mereka pun menyelam. Memang di dalam laut gelap sekali. Malam cukup dingin, cahaya Bulan tak bisa menembus kedalaman laut lebih dari 5 meter. Siluet tak bisa melihat apapun. Padahal mereka terus menyelam ke tambah dalam karena ingin melihat dasar laut.
“Siluet kita sudah berada 600 meter di bawah permukaan air laut,” kata Dewa Laut.
“Wah dalam sekali,” seru Siluet. “Sstt. tenanglah, sebentar lagi akan kau lihat sesuatu yang amat indah.”
Benar, sedikit ke dalam lagi, Siluet melihat pemandangan menakjubkan dari kegelapan lautan. Mereka adalah makhluk dasar laut. Jika di permukaan ada Cacing Laut Betina, di dasar laut ada makhluk yang memancarkan cahaya merah, hijau, biru, kuning dll. Dialah Ubur-ubur. Pertunjukan cahaya ini seperti melihat seni lukis hidup yang diperankan oleh Ubur-ubur. Tubuh Ubur-ubur lunak dan lembut seperti kaca. Ketika mengeluarkan cahaya, sinarnya memantul indah, apalagi ketika bergerak, pantulan cahaya bergoyang bersamaan dengan lenggak lenggoknya air. Sungguh memukau.
Siluet puas melihat dasar laut. Ia seperti bermimpi berada di antara cahaya yang bersimpangan di sekitar tubuhnya. Ia ingin menangkap, tetapi tangannya dijerat tali agar tidak terpisah dari Dewa Laut. Siluet gembira sekali. Iapun bermain-main dengan Ubur-ubur, bercakap-cakap dan bergembira bersama Ubur-ubur.
Ketika badannya terasa sangat lelah, Sikuet dibawa kembali ke pertapannya oleh Dewa Laut dan Dewi Malam. Ia mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada para Dewa. Namun ia tetap masih ingin sesuatu.
“Apalagi yang kau inginkan, Siluet?” tanya Dewi Malam.
“Hamba belum melihat dasar laut di siang hari. Sedangkan di dasar laut malam tadi, hamba tak sempat mengambil cahaya dari makhluk laut untuk kutempel di wajahku agar hamba menjadi cantik jelita,” kata Siluet.
“Di siang hari, dasar laut penuh dengan terumbu dan karang-karang dengan hiasan ikan laut aneka warna yang sangat indah,” kata Dewa Laut.
“Mohon hamba diajak kesana, dan bagaimana dengan cahaya di wajahku?” pinta Siluet.
“Siluet, kami harus segera pulang ke istana Dewa,” kata Dewi Malam. Siluet terus mendesak hingga kedua Dewa kewalahan. Akhirnya Siluet disuruh melihat sendiri dasar laut di siang hari.
“Baiklah. Agar bisa melihat dasar laut kapan pun kau mau, kau akan menjadi Ikan Duyung jika tubuhmu tersentuh air laut. Jika di darat, kau kembali menjadi manusia yang cantik bercahaya karena cahaya laut sudah menempel di wajahmu,” kata Dewa Laut dan Dewa Malam. Bersamaan dengan itu, tubuh Siluet mengalami kejang-kejang dan panas tinggi. Dewa Laut tertawa melihat Siluet amat kesakitan.
“Tidak apa-apa Siluet, hanya sakit sebentar karena adanya tambahan insang di dalam dadamu. Kalau kau panas tinggi itu karena masuknya cahaya jelita di wajahmu. Sekarang kami akan pulang ke Istana Dewa,” pamit dua Dewa yang telah hilang dari pandangan Siluet.
Kini Siluet bahagia sekali, tapa bratanya telah terkabul. Rasa penasaran tiap hari melihat kelap kelip di laut, sudah dibuktikan dengan melihat Cacing Laut Bercahaya. Sebelumnya tiap hari Siluet memang melihat laut karena rumahnya di pinggir pantai. Ketika hendak pergi bertapa, ayah ibunya melarang, sehingga ia pergi tanpa pamit. Kini ia akan pulang dengan segudang cerita indah kepada ayah ibu dan saudara-saudaranya.
Syahdan, kepulangan Siluet disambut dengan sangat bahagia oleh segenap keluarga dan penduduk kampungnya. Apalagi kini Siluet bertambah sangat cantik jelita, wajahnya bercahaya, kulitnya putih halus, sikapnya lembut, hatinya baik dan pandai bercerita tentang kehidupan bawah laut dengan sangat mempesona, sehingga pendengarnya terkagum-kagum oleh cerita Siluet.
Karena rumahnya di pinggir pantai, ia sering diajak teman-temannya berenang di pantai. Saat tersentuh air, ia menjadi Ikan Duyung kembali, dan ia langsung menyelam ke air hingga ke dasar- laut. Tak ada seorang penduduk kampungpun yang mampu mencari Siluet di dasar laut. Tak lama kemudian ketika teman-teman masih ribut mencari Siluet, Siluet sudah menampakkan diri di dataran tinggi sambil melambai-lambai.
Namun rahasia Siluet akhirnya tersingkap juga. Banyak penduduk yang pernah memergoki Siluet menjadi Ikan Duyung. Ketika didesak, akhirnya Siluet mengakui bahwa ia akan menjadi Ikan Duyung jika tersentuh air laut. Berita ini mengagetkan seluruh penduduk kampung. Maka cerita Siluet tentang kehidupan bawah laut akhirnya dipercayai.
Keberadaan Siluet sebagai manusia Ikan terdengar hingga istana raja. Pangeran Mahkota ingin berkenalan dengan puteri pantai yang katanya cantik jelita itu. Maka datanglah Sang Pangeran berkunjung ke rumah Siluet. Benar, Pangeran langsung jatuh cinta dan ingin melamarnya. Tentu Siluet tidak menolak, dan kini ia menjadi Ratu di Kerajaan Kota.
Jika malam amat gelap dan Siluet rindu berjoget dengan Ubur-ubur, ia pun terjun ke laut. Dan jika kangen melihat terumbu karang dan ikan laut yang indah-indah, Siluet juga terjun ke laut di siang hari. Pangeran Mahkota hanya menunggu di kapal kerajaan di tengah laut. Pangeran tidak pernah marah jika Siluet ingin bercanda dengan teman-teman lautnya.
Demikianlah cerita Siluet. Tekadnya untuk melihat cahaya di laut dikejar dengan tapa brata tanpa mengeluh. Ketika telah menjadi Ratu, Siluet tetap menjadi gadis ramah dan selalu mengunjungi teman Ubur-ubur dan Cacing Laut bercahaya. Siluet tidak canggung dengan sebutan Ratu Ikan Duyung. Ia malah bangga menjadi manusia setengah ikan.
NONI
Hampir semua ikan di Selat Biru pernah melihat seorang puteri yang amat khusyuk bertapa. Ia bersandar pada ranting-ranting kering dengan dedaunan liar yang tumbuh di pinggir pantai. Tubuhnya terbenam air, hanya kepalanya saja yang tampak. Gadis itu bertekad tidak akan meninggalkan pertapaannya barang sedetikpun sebelum doanya terkabul.
Pada suatu malam yang dingin di bulan ke delapan dari tapanya, Siluet, demikian nama puteri itu, tiba-tiba merasakan belaian tangan di kepalanya. Siluet kaget sekali, ia segera.mendongakkan kepalanya. Dilihatnya seorang puteri cantik bersama lelaki tampan yang mukanya luar biasa bercahaya.
“Wahai Paduka, Dewa-Dewi-kah yang telah mengusap kepala hamba?” tanya Siluet.
“Siluet, Aku Dewi Malam bersama Dewa Laut. Kami kagum pada tekadmu bertapa. Sudah tujuh bulan kau lakukan taba brata seperti ini. Sebenarnya apa maumu?” tanya Dewi Malam.
“Duh Dewi. Entahlah apa yang kucari karena aku tak tahu. Yang kuingin adalah melihat dengan mata kepalaku sendiri, apa yang bercahaya nun jauh di laut itu. Setiap malam aku melihat cahaya berkelap-kelip di permukaan laut. Apakah di dasar laut juga demikian? Aku ingin mengambil cahaya itu, lalu kutempel di wajahku, agar wajahku cantik bercahaya seperti Dewi Malam,” pinta Siluet berterus terang.
“Yang bercahaya di permukaan laut itu adalah Cacing Laut Betina. Cacing Laut Betina hanya hidup di tengah laut Segitiga Bermuda dan Segitiga Masalembo,” demikian Dewa Laut menerangkan.
“Sungguh hebat ciptaan Dewa Laut. Bolehkan hamba ingin melihat secara dekat Cacing Laut Betina. Sebab jika hamba mendekatinya dengan sampan, cahaya itu hilang. Jika kucari dengan menyelam, cahaya itupun tak tampak lagi. Di dasar laut yang dalam, aku juga mendengar bahwa ada Ubur-Ubur bercahaya yang amat indah. Wahai Dewa Laut, izinkanlah hamba melihatnya langsung.”
“Hanya itukah keinginanmu hingga bertapa 7 bulan di pinggir pantai?” tanya Dewa Laut.
“Ya Dewa, andai bawah laut memang demikian indah, Izinkanlah hamba menjadi ikan dan manusia yang cantik bercahaya,” pinta Siluet.
“Wahhh, aneh sekali permintaanmu! Kau ingin menjadi ikan? Begini saja, marilah kuajak melihat Cacing Laut Betina di tengah laut. Lalu menyelam di dasar laut yang dalam melihat Ubur-Ubur bercahaya. Jika kau suka, akan kupertimbangkan permohonanmu,” ajak Dewa Laut. Tentu saja Siluet sangat gembira diajak melihat hal-hal yang bercahaya di tengah laut. Artinya permohonan tapanya selama ini dikabulkan.
Maka berangkatlah Siluet diajak terbang oleh Dewa Laut dan Dewa Malam ke tengah laut. Siluet tidak takut. Ia bahkan sangat menikmati dibawa terbang oleh para Dewa hingga sampai di tengah laut. Dari atas, cahaya di tengah laut sudah tampak begitu indah.
Itulah Cacing Laut Betina. Ia hewan seperti Kunang-kunang di sawah, berkelip-kelip. ketika memperagakan kilau cahaya untuk menarik perhatian Cacing Laut Jantan dengan lampu kecilnya. Siluet amat kagum oleh permainan cahaya di tengah laut. Ribuan Cacing-cacing Betina dan Jantan berkumpul jadi satu selama beberapa lama hingga muncul planet Bulan di langit. Cahaya planet Bulan membuat Cacing-cacing itu menyelam di dasar laut, takut jika cahayanya direbut planet Bulan.
Siluet kecewa, Cacing-cacning itu hanya muncul tak lebih dari setengah jam. Padahal ia masih ingin melihat lebih lama. Akhirnya Dewa Laut mengajak Siluet menyelam di air.
“Tetapi kau tak mungkin bisa menyelam lebih dari 15 detik. Kamu harus berubah menjadi Ikan Duyung jika ingin melihat kedalaman dasar laut. Jika kau mau, kami juga akan menemanimu menjadi Ikan Duyung,” bujuk Dewa Laut dan Dewi Malam.
“Apakah Ikan Duyung itu Dewa Laut?”
“Ikan Duyung adalah manusia setengah ikan. Ekornya ikan kepalanya manusia. Mau?”
Tentu saja Siluet tidak menolak. Inilah saat yang ditunggu-tunggu, meski menjadi Ikan, itu tidak masalah asal ia bisa melihat apa yang ada di dasar laut. Maka tiba-tiba mereka bertiga sudah tercebur di tengah laut.
“Siluet, saat ini kakimu berubah menjadi ekor ikan. Jika kembali ke darat, kakimu akan berubah lagi menjadi kaki manusia biasa,” Siluet mengangguk. Ia sudah tak sabar diajak menyelam ke dasar laut.
“Kita gunakan tali, agar tidak terpisah, sebab di dalam laut gelap sekali.” Maka ketiga Duyung itu digandeng dengan tali dan mereka pun menyelam. Memang di dalam laut gelap sekali. Malam cukup dingin, cahaya Bulan tak bisa menembus kedalaman laut lebih dari 5 meter. Siluet tak bisa melihat apapun. Padahal mereka terus menyelam ke tambah dalam karena ingin melihat dasar laut.
“Siluet kita sudah berada 600 meter di bawah permukaan air laut,” kata Dewa Laut.
“Wah dalam sekali,” seru Siluet. “Sstt. tenanglah, sebentar lagi akan kau lihat sesuatu yang amat indah.”
Benar, sedikit ke dalam lagi, Siluet melihat pemandangan menakjubkan dari kegelapan lautan. Mereka adalah makhluk dasar laut. Jika di permukaan ada Cacing Laut Betina, di dasar laut ada makhluk yang memancarkan cahaya merah, hijau, biru, kuning dll. Dialah Ubur-ubur. Pertunjukan cahaya ini seperti melihat seni lukis hidup yang diperankan oleh Ubur-ubur. Tubuh Ubur-ubur lunak dan lembut seperti kaca. Ketika mengeluarkan cahaya, sinarnya memantul indah, apalagi ketika bergerak, pantulan cahaya bergoyang bersamaan dengan lenggak lenggoknya air. Sungguh memukau.
Siluet puas melihat dasar laut. Ia seperti bermimpi berada di antara cahaya yang bersimpangan di sekitar tubuhnya. Ia ingin menangkap, tetapi tangannya dijerat tali agar tidak terpisah dari Dewa Laut. Siluet gembira sekali. Iapun bermain-main dengan Ubur-ubur, bercakap-cakap dan bergembira bersama Ubur-ubur.
Ketika badannya terasa sangat lelah, Sikuet dibawa kembali ke pertapannya oleh Dewa Laut dan Dewi Malam. Ia mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada para Dewa. Namun ia tetap masih ingin sesuatu.
“Apalagi yang kau inginkan, Siluet?” tanya Dewi Malam.
“Hamba belum melihat dasar laut di siang hari. Sedangkan di dasar laut malam tadi, hamba tak sempat mengambil cahaya dari makhluk laut untuk kutempel di wajahku agar hamba menjadi cantik jelita,” kata Siluet.
“Di siang hari, dasar laut penuh dengan terumbu dan karang-karang dengan hiasan ikan laut aneka warna yang sangat indah,” kata Dewa Laut.
“Mohon hamba diajak kesana, dan bagaimana dengan cahaya di wajahku?” pinta Siluet.
“Siluet, kami harus segera pulang ke istana Dewa,” kata Dewi Malam. Siluet terus mendesak hingga kedua Dewa kewalahan. Akhirnya Siluet disuruh melihat sendiri dasar laut di siang hari.
“Baiklah. Agar bisa melihat dasar laut kapan pun kau mau, kau akan menjadi Ikan Duyung jika tubuhmu tersentuh air laut. Jika di darat, kau kembali menjadi manusia yang cantik bercahaya karena cahaya laut sudah menempel di wajahmu,” kata Dewa Laut dan Dewa Malam. Bersamaan dengan itu, tubuh Siluet mengalami kejang-kejang dan panas tinggi. Dewa Laut tertawa melihat Siluet amat kesakitan.
“Tidak apa-apa Siluet, hanya sakit sebentar karena adanya tambahan insang di dalam dadamu. Kalau kau panas tinggi itu karena masuknya cahaya jelita di wajahmu. Sekarang kami akan pulang ke Istana Dewa,” pamit dua Dewa yang telah hilang dari pandangan Siluet.
Kini Siluet bahagia sekali, tapa bratanya telah terkabul. Rasa penasaran tiap hari melihat kelap kelip di laut, sudah dibuktikan dengan melihat Cacing Laut Bercahaya. Sebelumnya tiap hari Siluet memang melihat laut karena rumahnya di pinggir pantai. Ketika hendak pergi bertapa, ayah ibunya melarang, sehingga ia pergi tanpa pamit. Kini ia akan pulang dengan segudang cerita indah kepada ayah ibu dan saudara-saudaranya.
Syahdan, kepulangan Siluet disambut dengan sangat bahagia oleh segenap keluarga dan penduduk kampungnya. Apalagi kini Siluet bertambah sangat cantik jelita, wajahnya bercahaya, kulitnya putih halus, sikapnya lembut, hatinya baik dan pandai bercerita tentang kehidupan bawah laut dengan sangat mempesona, sehingga pendengarnya terkagum-kagum oleh cerita Siluet.
Karena rumahnya di pinggir pantai, ia sering diajak teman-temannya berenang di pantai. Saat tersentuh air, ia menjadi Ikan Duyung kembali, dan ia langsung menyelam ke air hingga ke dasar- laut. Tak ada seorang penduduk kampungpun yang mampu mencari Siluet di dasar laut. Tak lama kemudian ketika teman-teman masih ribut mencari Siluet, Siluet sudah menampakkan diri di dataran tinggi sambil melambai-lambai.
Namun rahasia Siluet akhirnya tersingkap juga. Banyak penduduk yang pernah memergoki Siluet menjadi Ikan Duyung. Ketika didesak, akhirnya Siluet mengakui bahwa ia akan menjadi Ikan Duyung jika tersentuh air laut. Berita ini mengagetkan seluruh penduduk kampung. Maka cerita Siluet tentang kehidupan bawah laut akhirnya dipercayai.
Keberadaan Siluet sebagai manusia Ikan terdengar hingga istana raja. Pangeran Mahkota ingin berkenalan dengan puteri pantai yang katanya cantik jelita itu. Maka datanglah Sang Pangeran berkunjung ke rumah Siluet. Benar, Pangeran langsung jatuh cinta dan ingin melamarnya. Tentu Siluet tidak menolak, dan kini ia menjadi Ratu di Kerajaan Kota.
Jika malam amat gelap dan Siluet rindu berjoget dengan Ubur-ubur, ia pun terjun ke laut. Dan jika kangen melihat terumbu karang dan ikan laut yang indah-indah, Siluet juga terjun ke laut di siang hari. Pangeran Mahkota hanya menunggu di kapal kerajaan di tengah laut. Pangeran tidak pernah marah jika Siluet ingin bercanda dengan teman-teman lautnya.
Demikianlah cerita Siluet. Tekadnya untuk melihat cahaya di laut dikejar dengan tapa brata tanpa mengeluh. Ketika telah menjadi Ratu, Siluet tetap menjadi gadis ramah dan selalu mengunjungi teman Ubur-ubur dan Cacing Laut bercahaya. Siluet tidak canggung dengan sebutan Ratu Ikan Duyung. Ia malah bangga menjadi manusia setengah ikan.
NONI
Serial dewa-dewa - Ratu Burung Dipedaya
RATU BURUNG DIPERDAYA
Di hutan yang berbatasan dengan lading penduduk, burung-burung sedang berhias diri dengan sangat antusias. Maklum, selama ini mereka sudah jemu mengikuti idol; bernyanyi, bersiul dan bersuara bagus. Biasanya Cocakrowo dan Perkutut yang jadi pemenang. Maka ketika Peri Angin mengadakan lomba burung paling indah, paling cantik dan paling pintar bergaya, buru-buru semua burung pergi ke salon dan privat khusus modelling. Semuanya bermaksud ingin menjadi juara ratu burung terelok.
Sebelum lomba, suasananya ribut sekali. Untuk berhias, burung Kasuari minta bantuan ayam Kate. Maklum ayam Kate memang pintar berdandan. Si Kate sendiri mengejek Angsa yang hanya luluran memutihkan bulunya. Ada lagi burung Podang, ia bertapa memohon kepada Candik Ayu di langit agar diberi sinar kuning keemasan. Burung Dara mohon kecantikan pada planet Bulan, burung Betet menggosok paruhnya dengan kunir, sedangkan Bebek belajar goyang ngebor pada si Ratu Ngebor. Melihat Bebek ngebor, burung Bangau lantas meniru tingkah Jerapah yang sedang beraksi. Sementara itu burung-burung lain juga berbuat senada.
Tak terkecuali burung Merak. Agar menjadi juara, tak tanggung-tanggung, Merak langsung mengamati wibawa ratu bumi, Cleopatra. Bagaimana cara dan sikap Sang Ratu duduk, melangkahkan kaki, menggoyang bokong dan melirikkan bola mata, Merak sangat cermat menirunya. Agar bulunya indah, dia bertanya kepada para pelukis. Hebatnya Merak juga mengambil inti sinar matahari untuk menyilaukan warna bulunya.
Tepat pada hari lomba, semua burung memamerkan wajah dan gayanya. Burung-burung sangat pintar berhias, terutama burung Cendrawasih dari Irian. Termasuk Merak. Dengan gaya penuh PD, 30 Merak beraksi di panggung. Setelah memberi hormat pada juri, pelan-pelan bulu panjang Merak dinaikkan hingga membentang seperti kipas. Tiap bulu kipas dihiasi bulatan mata-mata belo di ujung-ujungnya.
Karena mereka memilih sejuta warna, jadilah pameran warna ajaib yang sangat alami. Apalagi di bawah kilau sinar matahari, bulu-bulu Merak memantulkan pesona warna gemerlap. Merak pun berjoget ketika musik dibunyikan. Tariannya sungguh mencengangkan. Kelembutan gerak tarinya tak kalah memukau dibandingkan gemulai penari Bedaya.
Tak heran jika keelokan Merak tak tersaingi. Mereka menjadi juara. Penonton bertepuk riuh mengagumi keelokan Merak. Salah satu penonton yang langsung jatuh hati, kagum dan jadi sangat sayang pada Merak adalah si raja hutan, Harimau.
Merak sangat bangga. Iapun terus menari dan memperlihatkan pesona keindahan bulu-bulunya kepada segenap binatang hutan. Saat seluruh binatang lain lari tunggang langgang karena datangnya singa lapar, Merak tak sadar sehingga tidak sempat melarikan diri. Padahal Singa dan Harimau sudah berada di hadapannya.
Namun, saking cantiknya Merak membuat Singa dan Harimau tidak tega memakannya. Merekapun akhirnya berteman akrab dan tak seekor Merak pun yang pernah di makan Harimau di hutan. Maka Merak jadi angkuh. Dialah satu-satunya penghuni hutan yang tidak takut terhadap harimau. Karena berteman dan berlindung kepada si raja hutan, Merak lepas dari incaran Beruang, Monyet atau Buaya atau binatang besar lainnya..
Tetapi pada suatu hari, hutan ladang sangat ribut. "Tok-tok keeeerrraaaooo! Tok-tok keeeerrraaaaoooo!" Teriakan histeris dikumandangkan burung-burung Merak. Hal ini sangat mengangetkan Peri Angin. Bagi Peri Angin, tidak biasanya burung paling indah di hutan ini berteriak. Mereka burung yang paling tak suka bikin ribut dan selalu dilindungi si Raja Hutan.
Ibu Peri menduga burung Merak pasti diganggu kawanan Babi Hutan sebab keindahan bulu-bulu Merak telah menimbulkan kecemburuan mereka. Memang, Babi Hutan sangat kecewa kepada Peri Hutan karena tubuhnya diciptakan sangat buruk. Kulitnya hitam, perutnya gendut, kepalanya kecil, mulutnya nyongor, kakinya pendek dan hidupnya di tempat kotor. Padahal Singa punya kulit yang indah. Adapun Gajah, meski berkulit hitam, tetapi tubuhnya besar, telinganya lebar dan punya belalai panjang. Babi takut protes kepada Peri Hutan. Salah-salah Peri Hutan marah, tubuhnya malah dibuat lebih buruk lagi.
Itulah sebabnya Babi Hutan sering menganggu Merak. Mengapa? Karena Babi Hutan tak mungkin menggoda atau cemburu pada Singa, bisa jadi malah dimangsa. Andai Babi mengganggu Gajah, bisa diinjak sampai remuk. Jadi si Ratu Burunglah yang jadi pelampiasan marahnya.
Maka pada pagi itu Peri Angin langsung mendatangi Peri Hutan. “Wahai Peri Hutan, kamu memang Peri yang tak punya selera seni. Rakyat ciptaanmu si buruk rupa Babi Hutan selalu mengganggu burung ciptaanku, si cantik Merak. Dengarlah, hutan-hutan ribut oleh teriakan Merak. Kamu harus menghukum Babi Hutan,” kata Peri Angin.
Didamprat demikian, Peri Hutan jadi malu. Tanpa pamit, Peri Hutan langsung turun ke bumi untuk menghukum Babi Hutan. Namun Peri Hutan melihat si Babi sedang tidur mendengkur, sama sekali tidak mengganggu burung Merak.
Tiba-tiba Peri Hutan melihat ada makhluk manusia berkepala Harimau yang sedang mengejar Merak untuk ditangkap. Solider kepada Peri Angin, Peri Hutan mengikuti tingkah laku manusia Harimau yang membawa bedil dengan moncong peluru yang siap ditembakkan.
Dengan cepat Peri Hutan meceritakan kesaksiannya kepada Peri Angin. Kontan Peri Angin khawatir. Selama ini banyak Merak yang terbantai. Ternyata manusia Harimau yang membunuhi rakyatnya. Peri Angin segera terbang ke hutan. Benar. Ada 3 manusia berkepala Harimau. Setelah diteliti, ternyata mereka adalah manusia yang memakai baju dan topeng Harimau. Mereka mengincar bulu-bulu indah Merak untuk dijual karena harganya selangit.
“Sebaiknya mereka diberi pelajaran agar Merak tidak punah karena terus diburu,” kata Peri Angin.
“Itu karena kamu Peri seniman, sehingga lupa tidak mengajari Merak berlari cepat. Merak menjadi burung yang malas terbang, lamban berjalan dan ekornya kebesaran,” hardik Peri Hutan membalas ejekan Peri Angin tadi.
“Kamu mengejek Ratu Burungku. Ingat Harimau-harimaumu memuja Merakku,” timpal Peri Angin.
“Itulah sebabnya Merak gampang ditipu. Orang berkepala Harimau dikira Harimau asli. Maka ia gampang ditangkap manusia bertopeng harimau, lalu dibunuh. Bulunya dicabuti, dijual dijadikan reog,” kata Peri Hutan.
Peri Angin menunduk malu. Singkat kata manusia berkepala harimau itu lalu ditangkap kedua Peri Hewan tadi, lalu diinterogasi.
“Wahai manusia, untuk apakah kau tangkap burung Merakku?”
“Karena bulunya indah, harganya mahal, sedangkan dagingnya empuk hingga enak dimakan,” jawab manusia.
“Harimau saja tak tega memakannya, kenapa manusia tega?” tanya Peri Angin lagi.
“Kami sulit menangkap Babi Hutan karena larinya cepat dan suka menyelip di semak belukar. Jika mendapat Babi Hutan, kulitnya tak laku dijual, dagingnya pun tidak enak dimakan. Maka kami lebih suka menangkap Merak,” bela manusia.
Kedua Peri saling berpandangan. Kini mereka tahu bahwa selama ini, Peri Hutan sibuk berpikir bagaimana binatang hutan bisa hidup kuat, bisa berperang mencari makan dan bisa bertahan agar tidak kalah. Makanya Peri Hutan mencipta hewan-hewannya tanpa rasa seni blasss, sama sekali tidak indah kecuali kuat dan gagah.
Sedangkan Peri Angin, ia terlalu sibuk mencipta keindahan burung-burungnya sehingga lupa memberi kekuatan fisik. Makanya burung Merak kekurangan daya tahan dan kurang akal jika diserang musuh. Setelah melepas manusia berkepala harimau, kedua peri itu pulang ke Istana Dewa sambil berpikir keras bagaimana memberi kelebihan yang sempurna kepada binatang-binatang yang masih banyak kekurangannya.
NONI
Di hutan yang berbatasan dengan lading penduduk, burung-burung sedang berhias diri dengan sangat antusias. Maklum, selama ini mereka sudah jemu mengikuti idol; bernyanyi, bersiul dan bersuara bagus. Biasanya Cocakrowo dan Perkutut yang jadi pemenang. Maka ketika Peri Angin mengadakan lomba burung paling indah, paling cantik dan paling pintar bergaya, buru-buru semua burung pergi ke salon dan privat khusus modelling. Semuanya bermaksud ingin menjadi juara ratu burung terelok.
Sebelum lomba, suasananya ribut sekali. Untuk berhias, burung Kasuari minta bantuan ayam Kate. Maklum ayam Kate memang pintar berdandan. Si Kate sendiri mengejek Angsa yang hanya luluran memutihkan bulunya. Ada lagi burung Podang, ia bertapa memohon kepada Candik Ayu di langit agar diberi sinar kuning keemasan. Burung Dara mohon kecantikan pada planet Bulan, burung Betet menggosok paruhnya dengan kunir, sedangkan Bebek belajar goyang ngebor pada si Ratu Ngebor. Melihat Bebek ngebor, burung Bangau lantas meniru tingkah Jerapah yang sedang beraksi. Sementara itu burung-burung lain juga berbuat senada.
Tak terkecuali burung Merak. Agar menjadi juara, tak tanggung-tanggung, Merak langsung mengamati wibawa ratu bumi, Cleopatra. Bagaimana cara dan sikap Sang Ratu duduk, melangkahkan kaki, menggoyang bokong dan melirikkan bola mata, Merak sangat cermat menirunya. Agar bulunya indah, dia bertanya kepada para pelukis. Hebatnya Merak juga mengambil inti sinar matahari untuk menyilaukan warna bulunya.
Tepat pada hari lomba, semua burung memamerkan wajah dan gayanya. Burung-burung sangat pintar berhias, terutama burung Cendrawasih dari Irian. Termasuk Merak. Dengan gaya penuh PD, 30 Merak beraksi di panggung. Setelah memberi hormat pada juri, pelan-pelan bulu panjang Merak dinaikkan hingga membentang seperti kipas. Tiap bulu kipas dihiasi bulatan mata-mata belo di ujung-ujungnya.
Karena mereka memilih sejuta warna, jadilah pameran warna ajaib yang sangat alami. Apalagi di bawah kilau sinar matahari, bulu-bulu Merak memantulkan pesona warna gemerlap. Merak pun berjoget ketika musik dibunyikan. Tariannya sungguh mencengangkan. Kelembutan gerak tarinya tak kalah memukau dibandingkan gemulai penari Bedaya.
Tak heran jika keelokan Merak tak tersaingi. Mereka menjadi juara. Penonton bertepuk riuh mengagumi keelokan Merak. Salah satu penonton yang langsung jatuh hati, kagum dan jadi sangat sayang pada Merak adalah si raja hutan, Harimau.
Merak sangat bangga. Iapun terus menari dan memperlihatkan pesona keindahan bulu-bulunya kepada segenap binatang hutan. Saat seluruh binatang lain lari tunggang langgang karena datangnya singa lapar, Merak tak sadar sehingga tidak sempat melarikan diri. Padahal Singa dan Harimau sudah berada di hadapannya.
Namun, saking cantiknya Merak membuat Singa dan Harimau tidak tega memakannya. Merekapun akhirnya berteman akrab dan tak seekor Merak pun yang pernah di makan Harimau di hutan. Maka Merak jadi angkuh. Dialah satu-satunya penghuni hutan yang tidak takut terhadap harimau. Karena berteman dan berlindung kepada si raja hutan, Merak lepas dari incaran Beruang, Monyet atau Buaya atau binatang besar lainnya..
Tetapi pada suatu hari, hutan ladang sangat ribut. "Tok-tok keeeerrraaaooo! Tok-tok keeeerrraaaaoooo!" Teriakan histeris dikumandangkan burung-burung Merak. Hal ini sangat mengangetkan Peri Angin. Bagi Peri Angin, tidak biasanya burung paling indah di hutan ini berteriak. Mereka burung yang paling tak suka bikin ribut dan selalu dilindungi si Raja Hutan.
Ibu Peri menduga burung Merak pasti diganggu kawanan Babi Hutan sebab keindahan bulu-bulu Merak telah menimbulkan kecemburuan mereka. Memang, Babi Hutan sangat kecewa kepada Peri Hutan karena tubuhnya diciptakan sangat buruk. Kulitnya hitam, perutnya gendut, kepalanya kecil, mulutnya nyongor, kakinya pendek dan hidupnya di tempat kotor. Padahal Singa punya kulit yang indah. Adapun Gajah, meski berkulit hitam, tetapi tubuhnya besar, telinganya lebar dan punya belalai panjang. Babi takut protes kepada Peri Hutan. Salah-salah Peri Hutan marah, tubuhnya malah dibuat lebih buruk lagi.
Itulah sebabnya Babi Hutan sering menganggu Merak. Mengapa? Karena Babi Hutan tak mungkin menggoda atau cemburu pada Singa, bisa jadi malah dimangsa. Andai Babi mengganggu Gajah, bisa diinjak sampai remuk. Jadi si Ratu Burunglah yang jadi pelampiasan marahnya.
Maka pada pagi itu Peri Angin langsung mendatangi Peri Hutan. “Wahai Peri Hutan, kamu memang Peri yang tak punya selera seni. Rakyat ciptaanmu si buruk rupa Babi Hutan selalu mengganggu burung ciptaanku, si cantik Merak. Dengarlah, hutan-hutan ribut oleh teriakan Merak. Kamu harus menghukum Babi Hutan,” kata Peri Angin.
Didamprat demikian, Peri Hutan jadi malu. Tanpa pamit, Peri Hutan langsung turun ke bumi untuk menghukum Babi Hutan. Namun Peri Hutan melihat si Babi sedang tidur mendengkur, sama sekali tidak mengganggu burung Merak.
Tiba-tiba Peri Hutan melihat ada makhluk manusia berkepala Harimau yang sedang mengejar Merak untuk ditangkap. Solider kepada Peri Angin, Peri Hutan mengikuti tingkah laku manusia Harimau yang membawa bedil dengan moncong peluru yang siap ditembakkan.
Dengan cepat Peri Hutan meceritakan kesaksiannya kepada Peri Angin. Kontan Peri Angin khawatir. Selama ini banyak Merak yang terbantai. Ternyata manusia Harimau yang membunuhi rakyatnya. Peri Angin segera terbang ke hutan. Benar. Ada 3 manusia berkepala Harimau. Setelah diteliti, ternyata mereka adalah manusia yang memakai baju dan topeng Harimau. Mereka mengincar bulu-bulu indah Merak untuk dijual karena harganya selangit.
“Sebaiknya mereka diberi pelajaran agar Merak tidak punah karena terus diburu,” kata Peri Angin.
“Itu karena kamu Peri seniman, sehingga lupa tidak mengajari Merak berlari cepat. Merak menjadi burung yang malas terbang, lamban berjalan dan ekornya kebesaran,” hardik Peri Hutan membalas ejekan Peri Angin tadi.
“Kamu mengejek Ratu Burungku. Ingat Harimau-harimaumu memuja Merakku,” timpal Peri Angin.
“Itulah sebabnya Merak gampang ditipu. Orang berkepala Harimau dikira Harimau asli. Maka ia gampang ditangkap manusia bertopeng harimau, lalu dibunuh. Bulunya dicabuti, dijual dijadikan reog,” kata Peri Hutan.
Peri Angin menunduk malu. Singkat kata manusia berkepala harimau itu lalu ditangkap kedua Peri Hewan tadi, lalu diinterogasi.
“Wahai manusia, untuk apakah kau tangkap burung Merakku?”
“Karena bulunya indah, harganya mahal, sedangkan dagingnya empuk hingga enak dimakan,” jawab manusia.
“Harimau saja tak tega memakannya, kenapa manusia tega?” tanya Peri Angin lagi.
“Kami sulit menangkap Babi Hutan karena larinya cepat dan suka menyelip di semak belukar. Jika mendapat Babi Hutan, kulitnya tak laku dijual, dagingnya pun tidak enak dimakan. Maka kami lebih suka menangkap Merak,” bela manusia.
Kedua Peri saling berpandangan. Kini mereka tahu bahwa selama ini, Peri Hutan sibuk berpikir bagaimana binatang hutan bisa hidup kuat, bisa berperang mencari makan dan bisa bertahan agar tidak kalah. Makanya Peri Hutan mencipta hewan-hewannya tanpa rasa seni blasss, sama sekali tidak indah kecuali kuat dan gagah.
Sedangkan Peri Angin, ia terlalu sibuk mencipta keindahan burung-burungnya sehingga lupa memberi kekuatan fisik. Makanya burung Merak kekurangan daya tahan dan kurang akal jika diserang musuh. Setelah melepas manusia berkepala harimau, kedua peri itu pulang ke Istana Dewa sambil berpikir keras bagaimana memberi kelebihan yang sempurna kepada binatang-binatang yang masih banyak kekurangannya.
NONI
Langganan:
Postingan (Atom)