GIGITAN SETIAP HARI
Sidang-sidang di pengadilan hutan tidak pernah dimenangi penghuni rimba raya. Selalu binatang yang dikalahkan. Padahal manusia sangat jahat. Mereka terus memburu binatang hutan. Ada yang disembelih menjadi makanan setelah dimasak, ada yang dipelihara tetapi dikurung sebagai hewan untuk diadu atau hewan kesenangan.
Hal itu membuat si raja rimba marah. Harimau mengumpulkan binatang hutan lainnya untuk diajak berembug, siapa sebenarnya yang bersalah, manusia atau binatang. Maka berkumpullah Kucing, Monyet, Anjing, Kambing, Sapi, Gajah, Beruang, sampai Ayam Tupai, Tikus dan sebagainya.
“Kawan-kawan, mari kita kupas, perlukah kita membalas dendam kepada manusia?” seru Harimau membuka acara. “Kau Celeng dan Babi, kalian yang paling sering diburu manusia. Benar begitu?”
“Benar. Mereka menjerat kakiku. Kadang kami bisa lari, tetapi salah seorang kawan pasti ditembak mati,” aku Celeng dan Babi.
“Nah kawan-kawan, Celeng dan Babi hanya contoh saja. Sebagai sesama makhluk, binatang selalu menjadi jajahan manusia. Coba pikir, lebih baik mana, binatang atau manusia?” tanya Rusa.
“Binatang lebih baiiik…..!” teriak para binatang.
“Benar. Coba katakan, mengapa binatang lebih baik dari manusia. Kau yang jawab Tikus!?” suruh Harimau kepada Tikus. Tikus kaget disuruh Harimau. Tetapi ia sanggup menjawab karena Tikus sangat percaya diri bahwa meski kecil, tetapi sangat cerdas.
“Yang pertama, binatang diciptakan lebih dulu daripada manusia,” jawab Tikus.
“Benaaar…” seru semua binatang dengan riuh. Memang benar, binatang diciptakan lebih dulu daripada manusia.
“Yang kedua, kita dilahirkan sudah berbaju, manusia dilahirkan telanjang!” seru Tikus lagi. Semua terheran-heran mendengar uraian Tikus. “Maksudnya, kita lahir sudah diberi baju berupa bulu-bulu. Manusia lahir harus membuat kain untuk berbaju,” kata Tikus mengurai. Para binatang terawa terbahak-bahak sambil mengejek manusia.
“Yang ketiga, manusia makhluk yang tamak sehingga boros. Mereka rakus, semua dimakan, ada daging, tumbuhan hingga buah-buahan. Manusia makan harus dmasak, minum harus direbus, maka mereka perlu kayu untuk membuat api. Kita makan dan minum asli dari hasil alam,” seru Tikus lagi.
“Ya, manusia boros, manusia tamak, manusia sok…” timpal para binatang dengan gencar. “Teruskan Kus, terus… Tikus, teruskan bicaramu….”
“Manusia minum susu. Susunya susu kawan kita, Sapi,” segenap binatang makin tertawa gelak-gelak mendengar Tikus berpidato. Sapi yang hadir hanya tersenyum-senyum. Ger-geran itu diakhiri oleh seruan Tikus.
“Kita harus dendam pada manusia. Aku akan maju paling depan. Aku terus menyerang manusia langsung ke dapurnya. Seluruh makanan manusia kucicipi. Aku tidur dan buang kotoran di rumah mereka. Saat mereka tidur, kugigit kakinya, lalu kusebar penyakit pes pada mereka.”
Tepuk tangan meriah diberikan kepada Tikus. Wah Tikus makin besar kepala. Terdengar suara hewan hutan memuji-muji Tikus setinggi langit. “Kus, meski kamu kecil, tetapi kamulah momok manusia yang paling dibenci.” Suara celotehan semakin panas. Mereka menginginkan Tikus diangkat menjadi komandan perang.
Mengapa bukan Macan? Macan besar dan kuat. Dia gagah, galak, liar dan semua orang takut. Namun macan mudah diketahui karena besar, sehingga gampang ditembak. Kalau Tikus, dia kecil. Larinya cepat, bisa sembunyi di segala tempat, bisa mengecilkan tubuhnya dan yang penting cerdas. Maka secara aklamasi, Tikus dinobatkan sebagai Panglima Perang melawan manusia. Tepuk sorak makin membahana.
Ramainya hutan ladang membuat Ibu Peri Hutan terbangun. Agak lama Peri Hutan tidak turun ke bumi, iapun ketinggalan berita adanya pengangkatan Tikus menjadi Panglima Perang. Mendapat laporan itu Peri Hutan hanya mesam-mesem saja, tak berkomentar, tetapi juga tidak melarang.
“Ya terserah kalian. Kalian yang menjalani. Aku mesam-mesem saja,” kata Peri Hutan santai. “Lho koq begitu Ibu Peri, ini serius. Kami sangat benci pada manusia. Mereka bahkan menciptakan ayam sayur untuk konsumsi makanan enaknya,” protes Monyet.
“Ibu Peri, hidup manusia kan tergantung hewan. Si Kerbau dan Sapi malah disuruh membajak sawah, Monyet disuruh memanen kelapa, Kuda disuruh perang, Gajah mengangkut kayu jati curian dan Ayam Jago diadu. Ini membuat saya dendam kesumat,” protes Harimau.
“Jadi apa yang akan kalian lakukan? Menyerang manusia?” tanya Ibu Peri Hutan.
“Yach Ibu Peri, Tikus akan maju paling depan.”
“Ya sudah, dicoba saja,” kata Peri Hutan.
Maka genderang perang segera dibunyikan. Pasukan Tikus dikumpulkan. Semua Tikus hutan diwajib-militerkan. Mereka harus membela peri kehewanan demi menjaga keamanan dan ketentraman binatang hutan. Go, siap berangkat!!! Dreng deng deng…, dreng deng deng…. Tambur sudah ditabuh, terompet dibunyikan, te tet tet tet…. tet tet tet. Pasukan Tikus bergerak menyerbu langsung ke rumah-rumah penduduk.
Syahdan, ibu-ibu rumah tangga sering menjerit. Banyak makanan yang hilang digerogoti Tikus. Dimana-mana di semua ruang rumah diduduki Tikus. Di sawah, pasukan Tikus merusak padi yang menguning. Mereka mengejek manusia. Mereka sulit ditangkap karena pasukan Tikus sudah dibekali latihan perang. Latihannya berupa serang dan lari, serang dan lari. Tikus Wirok bertugas mengganggu ibu-ibu, Tikus Clurut menyebar bau kentut busuk. Penyakit Pes juga disebar, akhirnya banyak manusia yang diserang penyakit Pes. Kepanikan diserang tikus membuat penduduk bumi ramai-ramai menyebar racun Tikus. Tetapi pasukan Tikus sudah tahu, mereka sama sekali tak menyentuh makanan yang diracun.
Tetapi pada suatu hari, bunyi seruling ajaib berkumandang di kota. Saat itu suasana kota sunyi senyap. Hanya ada satu orang pemuda asing yang sedang meniup seruling. Lagunya terdengar aneh dan ajaib, menggulung-gulung seperti ombak menerpa dinding karang. Manusia yang mendengarnya terasa senang karena alunannya amat menggairahkan.
Tak terkecuali Tikus. Mendengar suara seruling ajaib, pasukan Tikus terkejut. Mereka seakan-akan dipanggil-panggil sesuatu yang amat disayangi. Satu dua ekor Tikus mendekat ke Pemuda Asing itu. Pemuda itu berjalan perlahan. Tikus yang datang bertambah, akhirnya semua Tikus ikut berbaris di belakang pemuda yang meniup seruling.
Jika pemuda melangkah tegap, Tikus-tikus berbaris tegap, jika pemuda bergoyang, Tikus-tikus berjalan sambil menari. Jika pemuda kari, Tikus ikut lari, jika pemuda berhenti, Tikus jalan ditempat. Aneh sekali. Namun pemuda itu akhirnya berjalan cepat sekali. Sungai Bengawan yang dituju. Sebuah rakit sudah menunggu di pinggir kali. Pemuda itu meloncat ke rakit. Tikus-tikus mengikuti, namun karena rakit bergerak, Tikus-tikus itu tercebur ke kali Bengawan yang airnya mengalir deras. Akhirnya semua Tikus mati hanyut di kali Bengawan.
Kekalahan pasukan Tikus ditangisi seluruh hewan penghuni hutan. Mereka tak tahu lagi, siapa yang pantas dijadikan Komandan Pasukan Perang melawan manusia.
“Ternyata kita kalah melawan manusia. Apakah Ibu Peri bersedia membantu kami, bagaimana cara kami membalas dendam. Meski tidak mengalahkan manusia secara mutlak, tetapi kami ingin sekali menggigit manusia, setiap hari,” pinta Harimau memelas.
“Baiklah. Karena binatang hutan memang selalu menjadi obyek buruan, aku kabulkan permintaan kalian. Karena kalian ingin menggigit manusia setiap hari, maka atas izin Sang Pencipta, aku akan usulkan diciptkannya binatang kecil yang terus memburu manusia. Binatang itu bertugas mengigit, membuat gatal-gatal, memberi benjolan merah, menyebabkan sakit dan suaranya membisingkan telinga,” janji Peri Hutan.
“Apakah nama hewan itu Ibu Peri?” tanya semua binatang hutan serentak.
“Namanya Nyamuk. Mereka akan bekerja malam ini juga!” sahut Ibu Peri yang langsung pulang ke Istana Dewa. Sejak itu manusia terus digigit Nyamuk hingga sekarang.
NONI
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar