PROFESOR TIKUS
Dunia ini tak selebar daun kelor. Artinya jangan merasa bodoh terus. Jika pingin tahu banyak, bertanyalah dan carilah ilmu sampai ke negeri langit, bukan negeri China. Mengapa langit? Karena langit lebih tinggi dari negeri China, maka ilmunya pasti lebih tinggi. Begitulah Peri Hutan memberi wejangan kepada binatang hutan di sekolah hutannya. Kata-kata Peri Hutan meresap di otak Tikus sehingga ia kian rajin belajar. Tiap hari Tikus bertambah pintar. Kalau ulangan, nilai Tikus paling tinggi, sedangkan nilai Kaeoa paling buruk.
“Aku tidak pernah mengulang kesalahan, beda dengan Kecoa. Mereka hidup tanpa tujuan. Agaknya tidak dikasih otak oleh Ibu Peri,” ejek Tikus ketika berbincang-bincang di dapur bersama dengan Kucing, Cecak dan Kelinci. Pagi tadi mereka bolos sekolah karena sakit perut akibat keracunan.
“Memang, jika Kecoa terbang, ia tak punya arah, asal terbang saja... hahaha,” ejek Kucing. “Jalan-jalan pun, tak tahu di depan ada bahaya, ya digebug sampai mati… hehehe,” sahut Kelinci. “Tetapi jika dikejar, ia bisa sigap bersembunyi seperti hilang begitu saja,” bela Cecak. Kecoa yang menjadi bahan pembicaraan pun menjadi jengkel. “Koq ngrasani aku, biar kukentuti, tahu rasa, lu,” seru Kecoa langsung kentut, dut..dut… wah baunya. Para binatang langsung pergi karena bau kentut Kecoa asam sekali, tidak enak di hidung mereka.
Malam itu para binatang sibuk belajar. Maklum esok pagi ujian semesteran dimulai. Tikus mengurung diri di lubang kecilnya, lalu belajar dengan tekun. Begitu juga binatang lain. Peri Hutan menjanjikan bea siswa berupa pilih belajar dimana saja bagi juara kelas. Ketika ujian selesai dan diperiksa, ternyata Tikuslah juara kelasnya, sehingga ia meraih bea siswa boleh belajar dimana saja. Tikus pun memilih tempatnya belajar.
“Aku tak mau belajar di negeri China, aku pilih sekolah di negara langit. Langit lebih tinggi,” tukas Tikus kepada Peri Hutan. “Wah, negeri langit hanya ada di Istana Dewa. Para Dewa pasti keberatan ada siswa Tikus di khayangan,” tolak Peri Hutan. “Lho, Ibu Peri kan bilang sendiri, kejarlah ilmu sampai di negeri langit!!!” sahut Tikus. Peri Hutan mesam-mesem ingat kata-katanya sendiri. Alhasil ia harus berkelit agar Tikus tidak sekolah di Istana Dewa.
“Kamu belum setingkat itu untuk sekolah di negeri langit. Ibarat naik ke atas, harus naik tangga satu persatu. Wong gelar sarjana saja kamu belum dapat. Ntar andai kamu sudah lulus jadi profesor, baru boleh kuliah di negeri langit,” elak Peri Hutan.
“Ah, Ibu Peri koq bohong, sih. Kalau begitu aku ingin studi banding saja di negeri langit selama 3 hari sekalian piknik. Boleh ya?” Tikus terus mendesak, akhirnya Peri Hutan kewalahan juga.
“Yo wis… tapi ada syaratnya. Kamu harus menang Kuis Asah Otak ilmu binatang,” jawab Peri Hutan. “Wah aku senang sekali diuji. Aku pasti menang melawan semua binatang hutan,” kata Tikus penuh PD. Maka diumumkanlah festival Kuis Asah Otak yang wajib diikuti oleh perwakilan semua jenis binatang hutan.
Pada waktunya festival kuis sangat meriah dan ramai sekali. Banyak pertanyaan yang tak terjawab, tetapi Tikus, Kucing, Anjing, Tupai, dan Monyet mampu mencapai final.
Di malam final, Tikus belajar dan membaca semua buku-buku pintar. Iapun pergi ke Mbah Utan, dukun sakti di pojok hutan. Mbah Utan diminta agar memberi jamu agar otak Tikus bisa konsentrasi, sedangkan lawannya digoyang otaknya sehingga tak bisa menjawab pertanyaan. Mbah Utan sanggup tetapi syaratnya, Tikus harus memberi makan keju setiap hari selama setahun. Tikus menyanggupi.
Pada hari final Kuis Asah Otak antar binatang, tiga juri sudah siap dengan pertanyaan di tangan. Juri-juri itu adalah Peri Hutan, Dewa Bumi dan Dewa Ilmu. Tikus berdebaran karena tak sabar ingin cepat-cepat menjawab pertanyaan dan menang. Lawan-lawannya dilihatnya pada gugup sehingga Tikus kian PD saja. Tibalah saat pertanyaan dibacakan.
“Dengarkanlah para finalis, berapa jumlah putting susu Babi?” tanya Peri Hutan. Kucing langsung tunjuk jari dan menjawab, “Puting susu saya enam, pasti Babi juga enam,” jawab Kucing. “Ooo, salah,” kata Peri Hutan. Penonton pun mengejek Kucing. Adapun mendengar pertanyaan itu, Babi yang ikut menonton langsung menyembunyikan puting susunya agar tidak dihitung para finalis. Malu kan. Iapun berseru, “Wah, pertanyaannya koq gitu…, porno ah, Ibu Peri,” seru Babi betina. Segenap binatang tertawa cekikikan.
Ternyata yang bisa menjawab Tikus. “Puting susu Babi 12,” jawab Tikus. “Ok, benar,” kata Peri Hutan. Maka tepuk riuh terdengar dari suporter Tikus. Tikus jadi bangga sekali. Setelah tepuk mereda, pertanyaan dilanjutkan oleh Peri Hutan.
“Pertanyaan kedua. Berapa liter Sapi betina memproduksi susu selama hidupnya?” Anjing penasaran oleh ukuran liter. Ia pun berseru, “Lha, seliter itu ukurannya berapa teguk Ibu Peri? Menurut saya tiap hari 100 teguk,” jawab Anjing. “Hai Anjing, tegukan kamu dengan Gajah berbeda. Jadi tidak bisa diukur dengan tegukan. Seliter itu sama dengan 5 gelas.” Suasana riuh kembali. Lagi-lagi Tikus tunjuk jari.
“Menurut calon profesor bernama Tikus ini, Sapi betina bisa menghasilkan 40 ribu liter susu selama hidupnya. Kira-kira segitulah Ibu Peri,” jawab Tikus yang sudah membaca literaturnya sehingga dibenarkan oleh juri. Tepuk tangan kembali membahana buat Tikus. Iapun kian besar kepala.
“Soal selanjutnya. Apa guna ekor bagi Kangguru?” Kali ini Tupai yang menjawab. “Sama seperti ekorku, untuk kemudi dan penyeimbang ketika loncat-loncat,” jawab Tupai. Jawabannya benar, kali ini Tupai yang mendapat aplaus. Tikus dan Monyet merengut karena sebenarnya merekapun bisa menjawab, hanya kedahuluan Tupai.
“Sekarang pertanyaan BENAR atau SALAH. Nyamuk jantan juga bertugas menggigit musuh, BENAR atau SALAH!” Monyet langsung tunjuk jari. Wah Monyet yang membawa suporter se kampung diberi banyak tepukan ketika menjawab SALAH karena hanya Nyamuk betina yang menggigit manusia untuk mengeluarkan telurnya.
“Aku tidak percaya Nyamuk jantan tidak menggigit. Lalu makanannya apa?” tanya Kucing. Dengan cepat Tikus menjawab, “Nyamuk jantan hanya menggigit Kucing karena makanannya darah Kucing.” Tawa penonton pun terdengar berkepanjangan oleh cara Tikus mempermalukan Kucing. Kucing langsung mengancam dengan mengangkat tangan untuk mencakar Tikus. Jika tidak berada di sidang resmi, Kucing sudah benar-benar mencakar Tikus. Penonton kian riuh, tetapi Peri Hutan tetap terus melanjutkan membacakan soal-soalnya.
“Teruskan. Selain Gajah, binatang yang bisa menyembur adalah ular, BENAR atau SALAH?” tanya Peri Hutan. “SALAH!” jawab Anjing dengan cepat tanpa tunjuk jari. Peri Hutan langsung menghardiknya. “Eh Anjing, tunjuk jari dulu kalau menjawab. Kamu itu tidak tunjuk jari, menjawab pun salah. Padahal jawabannya BENAR! Ular menyemburkan bisa ke musuh sampai 2,5 m,” kata Peri Hutan dibarengi ejekan penonton kepada Anjing. Kali ini Anjing yang tampak malu dipecundangi Peri Hutan.
“Soal selanjutnya. Buaya memberi makan berupa batu pada bayinya, BENAR atau SALAH?” Para finalis heran dan saling berpandangan, lalu berpikir keras untuk menebak sambil mengingat, makanan apa yang diberikan Buaya kepada bayinya. Buaya yang ikut menonton bersorak-sorak, apakah kawan-kawan hutannya bisa menjawab. “Ayo tahu nggak, apa makanan bayiku…?” tanya para Buaya.
Tetapi para finalis tetap masih bimbang. “Ayo Kucing, kamu biasanya pinter, lihat profesor Tikus lagi bodoh!” pancing Buaya. Dengan ragu Kucing menjawab asal, BENAR. Peri Hutan mengangguk dan mengangkat ibu jarinya. Kucing berjingkrak kegirangan. Wah riuh sekali. Tikus jadi iri tidak bisa menjawab soal tadi. Tikus ragu, bisa-bisanya bayi diberi makanan batu, itu tidak mungkin. Tetapi koq ternyata benar, guman Tikus jengkel.
“Selanjutnya. Kuda Zebra dan Harimau sama-sama berbulu belang. Tetapi yang kulitnya juga belang adalah Harimau. BENAR atau SALAH?” Kali ini kembali Monyet tunjuk jari. “BENAR. Saya sering melihat Singa makan Zebra di hutan. Kulit Zebra tidak belang, bulunya saja yang belang. Jadi jawabannya BENAR,”seru Monyet. Peri Hutan mengangguk lagi. Pasukan Monyet kini mengejek suporter Tikus. Wah masing-masing sudah punya 2 jawaban benar dan satu benar untuk Tupai dan Kucing. Sedangkan Anjing belum punya nilai. Suasananya kian riuh, lalu pertanyaan pun dilanjutkan kembali.
“Pungguk atau bonggol Unta berguna untuk menyimpan air hingga ia bisa tidak minum selama seminggu. BENAR atau SALAH!” Karena mereka jarang melihat Unta, maka tidak ada yang bisa menjawab. Apalagi Unta tidak menonton. Peri Hutan akhirnya menerangkan, “Bonggolnya berisi lemak makanan untuk tenaganya, bukan tempat menyimpan air. Ya sudah, pertanyaannya diganti. Ini pertanyaan pilihan. Nah, siapa yang tidak bisa memainkan bola matanya, hingga untuk melihat sekeliling harus menggerakkan kepala dan lehernya. Jawablah a. Keledai, b. Ayam, c. Buaya atau d. Burung Hantu?”
Para finalis berpikir, Keledai bisa melihat ke semua penjuru karena lehernya panjang bisa digerakkan kemana-mana, tetapi bola matanya tetap bergerak. Ayam juga demikian. Buaya malah hanya bola matanya yang bergerak, leher tidak punya. Berarti apakah Burung Hantu? Tiba-tiba Kucing ingat, di tiap malam, dia pasti ketemu Burung Hantu.
Cepat-cepat ia tunjuk jari. “D. Burung Hantu. Tiap malam saya lihat Burung Hantu menggerakkan lehernya untuk lihat kiri kanan. Bola matanya mati, tak bisa bergerak.” Ternyata jawabannya benar. Nah kini Kucing-kucing bisa meledek Tikus. Kucing memang sangat bernafsu menggagalkan usaha Tikus mendapat bea siswa. Nilai Kucing kini juga dua.
“Ok. Terus… Tahukah kalian, meski Siput kecil, namun jumlah giginya 25 ribu biji. Tetapi soalnya bukan itu. Jawablah, tulang siapa yang lebih ringan daripada bulunya. Jawaban, a. Beruang, b. Biri-biri, c. Merak atau d. Merpati. Awas, harap diingat, ini satu-satunya soal yang jika salah menjawab, nilainya dikurangi?” kata Peri Hutan.
Kelima finalis, Anjing, Kucing, Monyet, Tikus dan Tupai malah saling bersilat lidah dulu untuk menjawab. Beruang bulunya tebal, tetapi tulangnya juga besar, kata Tikus. Biri-biri juga begitu, sahut Tupai. Merak kipasnya berat sekali, pasti Merak deh, seru Anjing. Merpati enak dimakan, tetapi sulit ambil dagingnya karena banyak tulangnya, sanggah Kucing. Pasti bulu Merak lebih berat. Mereka bingung, siapa yang berani menjawab.
Akhirnya Monyet tunjuk jari. “D. Merak,” jawab Monyet ragu. Karena ragu maka jawabannya salah. Peri Hutan menegaskan bahwa bulu Merpatilah yang lebih berat daripada tulang-tulangnya, sebab tulang Merpati kecil-kecil dan tipis. Penonton pun kecewa, “Uuuuu….” Maka nilai Monyet dikurangi dari dua menjadi satu.
“Selanjutnya, siapa yang makan dirinya sendiri jika kelaparan? Jawablah a. …,” belum lagi Peri Hutan membacakan jawaban pilihan a b c d –nya, Kucing menyela dengan lantang, “Tikus!!!” serunya. Penonton tertawa terpingkal-pingkal oleh gurauan Kucing. “Itu pasti benar Ibu Peri, wong kawat-kawat saja digerogoti, kayu-kayu dikerikiti, kaki sendiri pasti dimakannya,” tambah Kucing. Hadirin kian cekakakan mendegar Kucing mengejek Tikus. Tikus tetap bergaya PD seolah tak mendengar ocehan Kucing, pura-pura mendengarkan Peri Hutan membacakan soalnya.
“Soal diulang. Siapa yang makan dirinya sendiri jika kelaparan? Jawablah a. Cacing Pita, b. Amuba, c. Virus d. Plankthon.“ Tupai pun berani menjawab, “D. Plankthon.” Peri Hutan tertawa. “Salah, yang benar Cacing Pita.” Maka 5 finalis itu pun tak ada yang mendapat nilai.
Kini pertanyaan dilanjutkan tahap ketiga. Peri Hutan kembali siap membacakan soal. “Pertanyaan tunjukan. Ayo jawab, siapa yang punya gigi di perutnya, kamu yang harus menjawab, Monyet?” Monyet gelagapan. Dengan asal dia menjawab, “Tikus, sebab jika Tikus mencuri keju, gigi diperutnya yang mengunyah, gigi di mulutnya hanya untuk menggegoti kaleng busuk.” Mendengar jawaban Monyet, penonton pun ger-geran lagi. Tikus lagi-lagi jadi bahan tertawaan. Peri mengatakan jawaban yang betul adalah Ketam.
“Soal diteruskan. Terletak dimana hidung Laba-laba? Kamu yang jawab, Tikus,” seru Peri Hutan. Dengan PD pertanyaan yang dinilai gampang ini dijawabnya cepat sambil berdiri. “Di wajahnya dong, memang ada hidung terletak di kaki?” jawab Tikus angkuh karena yakin jawabannya pasti benar. Segenap penonton terdiam untuk memastikan jawabannya, sementara para suporter Tikus bersorak kegirangan karena yakin jawaban jagoan mereka benar maka Tikus akan menang dan menjadi juara.
Peri Hutan tersenyum, lalu dengan nada pelan ia menjawab, “Tikus, untuk memastikan bau mangsa makanannya, hidung Laba-laba terletak di… kakinya,” huuuuaaaa. Wah Tikus seperti tertonjok besi di wajahnya. Ia mau pingsan, tetapi ditahannya dan terus berusaha PD. Aduh, nilaiku baru dua sama dengan nilai Kucing dan Tupai, bisa gagal juara jika tidak ada soal lain yang terjawab dengan benar, pikir Tikus.
“Tidak apa-apa Tikus, kamu harus berusaha lagi. Nah pertanyaan selanjutnya, Kuda bernafas melalui mulut atau hidung. Kamu yang jawab Anjing.” Ah, Anjing bernafas lega. Kali ini ia baru bisa menjawab dengan pasti dan benar. Anjing menjawab, hidung. Benar. Kini barulah Anjing punya nilai satu.
“Seterusnya. Jika dijumlah, makanan Gajah seberat 2 kwintal tiap harinya. Kotorannya sekwintal. Apa pekerjaan utama Gajah, kamu yang jawab Kucing!!” Ah, kini giliran Kucing membalas dendam pada Tikus. Karena nilainya sudah dua, sama dengan Tikus, iapun menjawab untuk mengolok-olok Tikus.
“Pekerjaan utama Gajah adalah menginjak-injak Tikus karena Tikus ingin bunuh diri sebab impiannya piknik ke negeri langit, tidak kesampaian!” penonton riuh lagi mengejek Tikus. Kali ini Tikus benar-benar habis muka, namun ia tetap bertahan untuk membina sportivitas. Peri Hutan menerangkan bahwa pekerjaan utama Gajah adalah makan. Gajah yang ikut menonton disana jadi malu dibuka kedoknya.
“Tinggal satu pertanyaan untuk Tupai. Bagaimana cara membedakan Zebra?” Tanpa ragu Tupai menjawab, belangnya. Jawabannya benar. Maka Kucing, Tupai dan Tikus punya nilai 2, hanya Anjing dan Monyet yang nilainya 1. Tikus langsung protes keras karena kuis dianggap sudah selesai. “Lho Ibu Peri, koq sudah selesai? Soal-soalnya harus ditambah.” Tetapi penonton menyoraki Tikus. “Wah tidak bisa, soal-soal sudah habis!” jawab Dewa Bumi. Penonton makin riuh menyoraki Tikus. Tikus pun bergeming, “Ini pasti sudah diatur. Apakah ada kongkalikong agar aku gagal jadi juara?” seru Tikus. “Hai Tikus, berani-beraninya menuduh kami, ngawur kamu!” hardik Dewa Ilmu.
Tikus mundur teratur dihardik Dewa Ilmu. Kini ia benar-benar gagal menjuarai kuis Asah Otak, sehingga batal pula mendapat bea siswa piknik ke negeri langit. Tikus pulang dengan malu karena terus-terusan kena ledek 4 finalis dan penonton. Ia lari ke rumah Mbah Utan untuk melampiaskan kemarahannya. Ternyata Mbah Utan tidak terima dimarahi, malah ganti memurkai Tikus.
“Itu salahmu sendiri, Tikus! Kamu terlalu PD, sombong dan hanya menumpahkan harapan lewat bantuan ilmu dukunku. Tentu aku gak sudi, wong kamu pasti ingkar janji, kalau menang tak mungkin memberiku keju setiap hari. Habis itu, aku juga iri jika kau bisa piknik ke negeri langit, wong aku juga kepingin, heheheh…, rasain profesor penipu,” ejek Mbah Utan.
Tikus kian frustasi, iapun lari ke lubangnya dan menutup telinganya rapat-rapat karena tak tahan mendengar ejekan segenap binatang hutan. Tetapi di lubangnya, ternyata Kacoak sudah menunggu untuk membalas dendam karena Tikus suka menyebut Kacoak bodoh. Kacoak langsung kentut dut...dut… wah, bau banget. Kini Tikus menutup hidungnya rapat-rapat seperti menutup telinganya. Ketika ingat para Dewa dan Peri pulang ke istana Dewa, Tikus akhirnya membuang jauh-jauh impiannya untuk bisa piknik ke negeri langit. (noni)
Minggu, 22 Mei 2011
Seri Dewa-dewa: Gigitan Setiap Hari
GIGITAN SETIAP HARI
Sidang-sidang di pengadilan hutan tidak pernah dimenangi penghuni rimba raya. Selalu binatang yang dikalahkan. Padahal manusia sangat jahat. Mereka terus memburu binatang hutan. Ada yang disembelih menjadi makanan setelah dimasak, ada yang dipelihara tetapi dikurung sebagai hewan untuk diadu atau hewan kesenangan.
Hal itu membuat si raja rimba marah. Harimau mengumpulkan binatang hutan lainnya untuk diajak berembug, siapa sebenarnya yang bersalah, manusia atau binatang. Maka berkumpullah Kucing, Monyet, Anjing, Kambing, Sapi, Gajah, Beruang, sampai Ayam Tupai, Tikus dan sebagainya.
“Kawan-kawan, mari kita kupas, perlukah kita membalas dendam kepada manusia?” seru Harimau membuka acara. “Kau Celeng dan Babi, kalian yang paling sering diburu manusia. Benar begitu?”
“Benar. Mereka menjerat kakiku. Kadang kami bisa lari, tetapi salah seorang kawan pasti ditembak mati,” aku Celeng dan Babi.
“Nah kawan-kawan, Celeng dan Babi hanya contoh saja. Sebagai sesama makhluk, binatang selalu menjadi jajahan manusia. Coba pikir, lebih baik mana, binatang atau manusia?” tanya Rusa.
“Binatang lebih baiiik…..!” teriak para binatang.
“Benar. Coba katakan, mengapa binatang lebih baik dari manusia. Kau yang jawab Tikus!?” suruh Harimau kepada Tikus. Tikus kaget disuruh Harimau. Tetapi ia sanggup menjawab karena Tikus sangat percaya diri bahwa meski kecil, tetapi sangat cerdas.
“Yang pertama, binatang diciptakan lebih dulu daripada manusia,” jawab Tikus.
“Benaaar…” seru semua binatang dengan riuh. Memang benar, binatang diciptakan lebih dulu daripada manusia.
“Yang kedua, kita dilahirkan sudah berbaju, manusia dilahirkan telanjang!” seru Tikus lagi. Semua terheran-heran mendengar uraian Tikus. “Maksudnya, kita lahir sudah diberi baju berupa bulu-bulu. Manusia lahir harus membuat kain untuk berbaju,” kata Tikus mengurai. Para binatang terawa terbahak-bahak sambil mengejek manusia.
“Yang ketiga, manusia makhluk yang tamak sehingga boros. Mereka rakus, semua dimakan, ada daging, tumbuhan hingga buah-buahan. Manusia makan harus dmasak, minum harus direbus, maka mereka perlu kayu untuk membuat api. Kita makan dan minum asli dari hasil alam,” seru Tikus lagi.
“Ya, manusia boros, manusia tamak, manusia sok…” timpal para binatang dengan gencar. “Teruskan Kus, terus… Tikus, teruskan bicaramu….”
“Manusia minum susu. Susunya susu kawan kita, Sapi,” segenap binatang makin tertawa gelak-gelak mendengar Tikus berpidato. Sapi yang hadir hanya tersenyum-senyum. Ger-geran itu diakhiri oleh seruan Tikus.
“Kita harus dendam pada manusia. Aku akan maju paling depan. Aku terus menyerang manusia langsung ke dapurnya. Seluruh makanan manusia kucicipi. Aku tidur dan buang kotoran di rumah mereka. Saat mereka tidur, kugigit kakinya, lalu kusebar penyakit pes pada mereka.”
Tepuk tangan meriah diberikan kepada Tikus. Wah Tikus makin besar kepala. Terdengar suara hewan hutan memuji-muji Tikus setinggi langit. “Kus, meski kamu kecil, tetapi kamulah momok manusia yang paling dibenci.” Suara celotehan semakin panas. Mereka menginginkan Tikus diangkat menjadi komandan perang.
Mengapa bukan Macan? Macan besar dan kuat. Dia gagah, galak, liar dan semua orang takut. Namun macan mudah diketahui karena besar, sehingga gampang ditembak. Kalau Tikus, dia kecil. Larinya cepat, bisa sembunyi di segala tempat, bisa mengecilkan tubuhnya dan yang penting cerdas. Maka secara aklamasi, Tikus dinobatkan sebagai Panglima Perang melawan manusia. Tepuk sorak makin membahana.
Ramainya hutan ladang membuat Ibu Peri Hutan terbangun. Agak lama Peri Hutan tidak turun ke bumi, iapun ketinggalan berita adanya pengangkatan Tikus menjadi Panglima Perang. Mendapat laporan itu Peri Hutan hanya mesam-mesem saja, tak berkomentar, tetapi juga tidak melarang.
“Ya terserah kalian. Kalian yang menjalani. Aku mesam-mesem saja,” kata Peri Hutan santai. “Lho koq begitu Ibu Peri, ini serius. Kami sangat benci pada manusia. Mereka bahkan menciptakan ayam sayur untuk konsumsi makanan enaknya,” protes Monyet.
“Ibu Peri, hidup manusia kan tergantung hewan. Si Kerbau dan Sapi malah disuruh membajak sawah, Monyet disuruh memanen kelapa, Kuda disuruh perang, Gajah mengangkut kayu jati curian dan Ayam Jago diadu. Ini membuat saya dendam kesumat,” protes Harimau.
“Jadi apa yang akan kalian lakukan? Menyerang manusia?” tanya Ibu Peri Hutan.
“Yach Ibu Peri, Tikus akan maju paling depan.”
“Ya sudah, dicoba saja,” kata Peri Hutan.
Maka genderang perang segera dibunyikan. Pasukan Tikus dikumpulkan. Semua Tikus hutan diwajib-militerkan. Mereka harus membela peri kehewanan demi menjaga keamanan dan ketentraman binatang hutan. Go, siap berangkat!!! Dreng deng deng…, dreng deng deng…. Tambur sudah ditabuh, terompet dibunyikan, te tet tet tet…. tet tet tet. Pasukan Tikus bergerak menyerbu langsung ke rumah-rumah penduduk.
Syahdan, ibu-ibu rumah tangga sering menjerit. Banyak makanan yang hilang digerogoti Tikus. Dimana-mana di semua ruang rumah diduduki Tikus. Di sawah, pasukan Tikus merusak padi yang menguning. Mereka mengejek manusia. Mereka sulit ditangkap karena pasukan Tikus sudah dibekali latihan perang. Latihannya berupa serang dan lari, serang dan lari. Tikus Wirok bertugas mengganggu ibu-ibu, Tikus Clurut menyebar bau kentut busuk. Penyakit Pes juga disebar, akhirnya banyak manusia yang diserang penyakit Pes. Kepanikan diserang tikus membuat penduduk bumi ramai-ramai menyebar racun Tikus. Tetapi pasukan Tikus sudah tahu, mereka sama sekali tak menyentuh makanan yang diracun.
Tetapi pada suatu hari, bunyi seruling ajaib berkumandang di kota. Saat itu suasana kota sunyi senyap. Hanya ada satu orang pemuda asing yang sedang meniup seruling. Lagunya terdengar aneh dan ajaib, menggulung-gulung seperti ombak menerpa dinding karang. Manusia yang mendengarnya terasa senang karena alunannya amat menggairahkan.
Tak terkecuali Tikus. Mendengar suara seruling ajaib, pasukan Tikus terkejut. Mereka seakan-akan dipanggil-panggil sesuatu yang amat disayangi. Satu dua ekor Tikus mendekat ke Pemuda Asing itu. Pemuda itu berjalan perlahan. Tikus yang datang bertambah, akhirnya semua Tikus ikut berbaris di belakang pemuda yang meniup seruling.
Jika pemuda melangkah tegap, Tikus-tikus berbaris tegap, jika pemuda bergoyang, Tikus-tikus berjalan sambil menari. Jika pemuda kari, Tikus ikut lari, jika pemuda berhenti, Tikus jalan ditempat. Aneh sekali. Namun pemuda itu akhirnya berjalan cepat sekali. Sungai Bengawan yang dituju. Sebuah rakit sudah menunggu di pinggir kali. Pemuda itu meloncat ke rakit. Tikus-tikus mengikuti, namun karena rakit bergerak, Tikus-tikus itu tercebur ke kali Bengawan yang airnya mengalir deras. Akhirnya semua Tikus mati hanyut di kali Bengawan.
Kekalahan pasukan Tikus ditangisi seluruh hewan penghuni hutan. Mereka tak tahu lagi, siapa yang pantas dijadikan Komandan Pasukan Perang melawan manusia.
“Ternyata kita kalah melawan manusia. Apakah Ibu Peri bersedia membantu kami, bagaimana cara kami membalas dendam. Meski tidak mengalahkan manusia secara mutlak, tetapi kami ingin sekali menggigit manusia, setiap hari,” pinta Harimau memelas.
“Baiklah. Karena binatang hutan memang selalu menjadi obyek buruan, aku kabulkan permintaan kalian. Karena kalian ingin menggigit manusia setiap hari, maka atas izin Sang Pencipta, aku akan usulkan diciptkannya binatang kecil yang terus memburu manusia. Binatang itu bertugas mengigit, membuat gatal-gatal, memberi benjolan merah, menyebabkan sakit dan suaranya membisingkan telinga,” janji Peri Hutan.
“Apakah nama hewan itu Ibu Peri?” tanya semua binatang hutan serentak.
“Namanya Nyamuk. Mereka akan bekerja malam ini juga!” sahut Ibu Peri yang langsung pulang ke Istana Dewa. Sejak itu manusia terus digigit Nyamuk hingga sekarang.
NONI
Sidang-sidang di pengadilan hutan tidak pernah dimenangi penghuni rimba raya. Selalu binatang yang dikalahkan. Padahal manusia sangat jahat. Mereka terus memburu binatang hutan. Ada yang disembelih menjadi makanan setelah dimasak, ada yang dipelihara tetapi dikurung sebagai hewan untuk diadu atau hewan kesenangan.
Hal itu membuat si raja rimba marah. Harimau mengumpulkan binatang hutan lainnya untuk diajak berembug, siapa sebenarnya yang bersalah, manusia atau binatang. Maka berkumpullah Kucing, Monyet, Anjing, Kambing, Sapi, Gajah, Beruang, sampai Ayam Tupai, Tikus dan sebagainya.
“Kawan-kawan, mari kita kupas, perlukah kita membalas dendam kepada manusia?” seru Harimau membuka acara. “Kau Celeng dan Babi, kalian yang paling sering diburu manusia. Benar begitu?”
“Benar. Mereka menjerat kakiku. Kadang kami bisa lari, tetapi salah seorang kawan pasti ditembak mati,” aku Celeng dan Babi.
“Nah kawan-kawan, Celeng dan Babi hanya contoh saja. Sebagai sesama makhluk, binatang selalu menjadi jajahan manusia. Coba pikir, lebih baik mana, binatang atau manusia?” tanya Rusa.
“Binatang lebih baiiik…..!” teriak para binatang.
“Benar. Coba katakan, mengapa binatang lebih baik dari manusia. Kau yang jawab Tikus!?” suruh Harimau kepada Tikus. Tikus kaget disuruh Harimau. Tetapi ia sanggup menjawab karena Tikus sangat percaya diri bahwa meski kecil, tetapi sangat cerdas.
“Yang pertama, binatang diciptakan lebih dulu daripada manusia,” jawab Tikus.
“Benaaar…” seru semua binatang dengan riuh. Memang benar, binatang diciptakan lebih dulu daripada manusia.
“Yang kedua, kita dilahirkan sudah berbaju, manusia dilahirkan telanjang!” seru Tikus lagi. Semua terheran-heran mendengar uraian Tikus. “Maksudnya, kita lahir sudah diberi baju berupa bulu-bulu. Manusia lahir harus membuat kain untuk berbaju,” kata Tikus mengurai. Para binatang terawa terbahak-bahak sambil mengejek manusia.
“Yang ketiga, manusia makhluk yang tamak sehingga boros. Mereka rakus, semua dimakan, ada daging, tumbuhan hingga buah-buahan. Manusia makan harus dmasak, minum harus direbus, maka mereka perlu kayu untuk membuat api. Kita makan dan minum asli dari hasil alam,” seru Tikus lagi.
“Ya, manusia boros, manusia tamak, manusia sok…” timpal para binatang dengan gencar. “Teruskan Kus, terus… Tikus, teruskan bicaramu….”
“Manusia minum susu. Susunya susu kawan kita, Sapi,” segenap binatang makin tertawa gelak-gelak mendengar Tikus berpidato. Sapi yang hadir hanya tersenyum-senyum. Ger-geran itu diakhiri oleh seruan Tikus.
“Kita harus dendam pada manusia. Aku akan maju paling depan. Aku terus menyerang manusia langsung ke dapurnya. Seluruh makanan manusia kucicipi. Aku tidur dan buang kotoran di rumah mereka. Saat mereka tidur, kugigit kakinya, lalu kusebar penyakit pes pada mereka.”
Tepuk tangan meriah diberikan kepada Tikus. Wah Tikus makin besar kepala. Terdengar suara hewan hutan memuji-muji Tikus setinggi langit. “Kus, meski kamu kecil, tetapi kamulah momok manusia yang paling dibenci.” Suara celotehan semakin panas. Mereka menginginkan Tikus diangkat menjadi komandan perang.
Mengapa bukan Macan? Macan besar dan kuat. Dia gagah, galak, liar dan semua orang takut. Namun macan mudah diketahui karena besar, sehingga gampang ditembak. Kalau Tikus, dia kecil. Larinya cepat, bisa sembunyi di segala tempat, bisa mengecilkan tubuhnya dan yang penting cerdas. Maka secara aklamasi, Tikus dinobatkan sebagai Panglima Perang melawan manusia. Tepuk sorak makin membahana.
Ramainya hutan ladang membuat Ibu Peri Hutan terbangun. Agak lama Peri Hutan tidak turun ke bumi, iapun ketinggalan berita adanya pengangkatan Tikus menjadi Panglima Perang. Mendapat laporan itu Peri Hutan hanya mesam-mesem saja, tak berkomentar, tetapi juga tidak melarang.
“Ya terserah kalian. Kalian yang menjalani. Aku mesam-mesem saja,” kata Peri Hutan santai. “Lho koq begitu Ibu Peri, ini serius. Kami sangat benci pada manusia. Mereka bahkan menciptakan ayam sayur untuk konsumsi makanan enaknya,” protes Monyet.
“Ibu Peri, hidup manusia kan tergantung hewan. Si Kerbau dan Sapi malah disuruh membajak sawah, Monyet disuruh memanen kelapa, Kuda disuruh perang, Gajah mengangkut kayu jati curian dan Ayam Jago diadu. Ini membuat saya dendam kesumat,” protes Harimau.
“Jadi apa yang akan kalian lakukan? Menyerang manusia?” tanya Ibu Peri Hutan.
“Yach Ibu Peri, Tikus akan maju paling depan.”
“Ya sudah, dicoba saja,” kata Peri Hutan.
Maka genderang perang segera dibunyikan. Pasukan Tikus dikumpulkan. Semua Tikus hutan diwajib-militerkan. Mereka harus membela peri kehewanan demi menjaga keamanan dan ketentraman binatang hutan. Go, siap berangkat!!! Dreng deng deng…, dreng deng deng…. Tambur sudah ditabuh, terompet dibunyikan, te tet tet tet…. tet tet tet. Pasukan Tikus bergerak menyerbu langsung ke rumah-rumah penduduk.
Syahdan, ibu-ibu rumah tangga sering menjerit. Banyak makanan yang hilang digerogoti Tikus. Dimana-mana di semua ruang rumah diduduki Tikus. Di sawah, pasukan Tikus merusak padi yang menguning. Mereka mengejek manusia. Mereka sulit ditangkap karena pasukan Tikus sudah dibekali latihan perang. Latihannya berupa serang dan lari, serang dan lari. Tikus Wirok bertugas mengganggu ibu-ibu, Tikus Clurut menyebar bau kentut busuk. Penyakit Pes juga disebar, akhirnya banyak manusia yang diserang penyakit Pes. Kepanikan diserang tikus membuat penduduk bumi ramai-ramai menyebar racun Tikus. Tetapi pasukan Tikus sudah tahu, mereka sama sekali tak menyentuh makanan yang diracun.
Tetapi pada suatu hari, bunyi seruling ajaib berkumandang di kota. Saat itu suasana kota sunyi senyap. Hanya ada satu orang pemuda asing yang sedang meniup seruling. Lagunya terdengar aneh dan ajaib, menggulung-gulung seperti ombak menerpa dinding karang. Manusia yang mendengarnya terasa senang karena alunannya amat menggairahkan.
Tak terkecuali Tikus. Mendengar suara seruling ajaib, pasukan Tikus terkejut. Mereka seakan-akan dipanggil-panggil sesuatu yang amat disayangi. Satu dua ekor Tikus mendekat ke Pemuda Asing itu. Pemuda itu berjalan perlahan. Tikus yang datang bertambah, akhirnya semua Tikus ikut berbaris di belakang pemuda yang meniup seruling.
Jika pemuda melangkah tegap, Tikus-tikus berbaris tegap, jika pemuda bergoyang, Tikus-tikus berjalan sambil menari. Jika pemuda kari, Tikus ikut lari, jika pemuda berhenti, Tikus jalan ditempat. Aneh sekali. Namun pemuda itu akhirnya berjalan cepat sekali. Sungai Bengawan yang dituju. Sebuah rakit sudah menunggu di pinggir kali. Pemuda itu meloncat ke rakit. Tikus-tikus mengikuti, namun karena rakit bergerak, Tikus-tikus itu tercebur ke kali Bengawan yang airnya mengalir deras. Akhirnya semua Tikus mati hanyut di kali Bengawan.
Kekalahan pasukan Tikus ditangisi seluruh hewan penghuni hutan. Mereka tak tahu lagi, siapa yang pantas dijadikan Komandan Pasukan Perang melawan manusia.
“Ternyata kita kalah melawan manusia. Apakah Ibu Peri bersedia membantu kami, bagaimana cara kami membalas dendam. Meski tidak mengalahkan manusia secara mutlak, tetapi kami ingin sekali menggigit manusia, setiap hari,” pinta Harimau memelas.
“Baiklah. Karena binatang hutan memang selalu menjadi obyek buruan, aku kabulkan permintaan kalian. Karena kalian ingin menggigit manusia setiap hari, maka atas izin Sang Pencipta, aku akan usulkan diciptkannya binatang kecil yang terus memburu manusia. Binatang itu bertugas mengigit, membuat gatal-gatal, memberi benjolan merah, menyebabkan sakit dan suaranya membisingkan telinga,” janji Peri Hutan.
“Apakah nama hewan itu Ibu Peri?” tanya semua binatang hutan serentak.
“Namanya Nyamuk. Mereka akan bekerja malam ini juga!” sahut Ibu Peri yang langsung pulang ke Istana Dewa. Sejak itu manusia terus digigit Nyamuk hingga sekarang.
NONI
Seri Dewa-dewa: Ramalan Dewa Sepuh
DEWA SEPUH MERAMAL
Di Kahyangan yakni Istana Dewa, Dewa Sepuh sedang dikelilingi Dewa-Dewi dan para Peri. Mereka sering bertanya ini-itu karena ceramahnya sangat bermutu. Sebagai orang tua, Dewa Sepuh mempunyai wawasan yang sangat luas, sangat berpengalaman dan bisa meramal hidup dewa atau peri penghuni Istana Dewa. Itulah sebabnya, Dewa Sepuh selalu didatangi para Dewa untuk minta nasehat.
Seperti di pagi itu. Dewa Sepuh sedang bercengkerama dengan para Dewa dan Peri. Banyak yang minta diramal, apakah tugas dan pekerjaan bisa sukses pada tahun depan. Satu per satu mereka diramal. Ada ramalan yang menenteramkan, ada yang harus diwaspadai. Dewa Utama selalu senang mendengarkan ramalan-ramalan Dewa Sepuh. Karena itu Dewa Utama ikut mendengarkan uraian Dewa Sepuh dengan cermat.
Pada suatu hari, Dewa Utama mempunyai ide. Seandainya ramalan-ramalan Dewa Sepuh diturunkan ke bumi, penduduk bumi pasti sangat senang mendapati ramalan yang sangat manjur tadi. Menurut pemikirannya, dari pada penduduk bumi pergi ke dukun, -biasanya ilmu dukun tidak setinggi ilmu Dewa- lebih baik mereka mencermati ramalan Dewa Sepuh. Maka Dewa Utama meminta Dewa Sepuh agar turun ke bumi untuk meneliti, ramalan seperti apakah yang cocok diturunkan.
Dewa Sepuh pun segera turun ke bumi. Ia didampingi Peri Hutan, sebab dewa atau peri-peri yang lain pada sibuk sendiri-sendiri. Padahal sebenarnya mereka malas harus mendampingi Dewa Sepuh karena dia sudah tua dan sakit-sakitan. Untunglah Peri Hutan sangat sabar membimbing dan menggendong Dewa Sepuh jika tersandung batu.
Mengetahui Peri Hutan amat sayang pada Dewa Sepuh membuat Dewa Sepuh sangat berterima kasih. “Peri, kamu sangat baik padaku, mengapa?” tanya Dewa Sepuh. “Kakek Dewa, tak perlu sungkan, aku hanya ingin Kakek tidak terluka tertusuk duri dan tidak dinakali penduduk bumi. Aku akan menjaga Kakek agar selalu sehat,” jawab Peri Hutan.
“Baiklah, karena kau telah baik padaku, maka hewan-hewan peliharaanmu yang akan aku jadikan simbol-simbol ramlan-ramalanku nanti,” janji Dewa Sepuh. “Silahkan kakek, aku senang sekali, rakyatku pasti juga bangga. Tetapi ramalan seperti apa yang akan kakek turunkan?” tanya Peri Hutan.
“Aku akan membuat shio. Isinya 12 simbol yang berlaku setiap sekitar setahun sekali. Setiap tahun shio-shio itu memberi watak tersendiri. Sekarang tugasmu menyiarkan kepada rakyatmu, siapa yang ingin menjadi simbol dari shio-shioku nanti. Cepatlah, badanku sudah capek pegal linu, aku hanya ingin semalam saja di bumi. Aku ingin segera pulang ke istana Dewa,” demikian Dewa Sepuh memerintah.
Maka Peri Hutan segera mengumpulkan binatang hutannya, lalu memberi pengumuman yang berbunyi: “Barang siapa yang ingin menjadi simbol dari ramalan shio yang akan diturunkan Dewa Sepuh, harap datang besok pagi-pagi sekali di tenda hutan. Hanya diperlukan 12 hewan yang datang paling pagi,” demikian seruan Peri Hutan.
Pengumuman itu sangat menggegerkan penghuni hutan. Ada lebih dari 500 binatang hutan, padahal yang dipilih hanya 12. Maka mereka pun bersiap diri agar besok pagi tidak terlambat datang. Ada yang langsung tidur, ada yang begadang semalaman dengan minum kopi banyak-banyak, ada juga yang memasang jam beker.
Persaingan merebut posisi terpilih menjadi lambang shio Dewa Sepuh sangat ramai. Binatang hutan yang penuh akal segera beraksi. Si Kancil, dialah binatang yang paling licik. Dilihatnya, sekawanan binatang hutan pada begadang tidak tidur. Mereka adalah Zebra, Jerapah, Gajah, Beruang, Banteng, Badak dan Sapi. Mereka adalah binatang-binatang besar. Pasti menang jika berdesak-desak antri di depan tenda. Akal bulus Kancil segera muncul.
Maka Kancil pura-pura ikut nimbrung di arena begadang. “Hai Kancil, kau juga mau begadang? Boleh, tetapi kau harus membawa kopi dan rumput yang banyak. Jika tidak, kau tidak boleh ikut begadang disini,” kata Sapi.
“Baik, tunggulah, akan kubawakan kopi enak dan rumput hijau yang segar,” janji Kancil. Berkata demikian, Kancil lalu pergi, namun tak berapa lama ia sudah datang kembali.
“Silahkan minum kopi enak dari Sumatera. Ini kopi trubuk asli yang kuberi sedikit jahe. Pasti kalian bisa begadang sampai siang,” kata Kancil sambil menyodorkan kopinya kepada setiap hadirin. “Wah benar, kopinya enak sekali. Lagi boleh Cil, boleh ya…,” tanya Gajah tanpa sungkan langsung minta tambah. Ternyata semua minta tambah.
Namun apa yang terjadi? Tak lama kemudian, kawanan hewan besar itu menguap. “Lho lho, lho….Cil… koq aku jadi kantuk sekali. Kau pasti meracuni kami….,” tuduh Badak, tetapi ia tak sempat melanjutkan geramnya karena langsung tertidur pulas. Kancil memang sudah memberi racun tidur pada kopinya. Ramuan kopi tidur Kancil, bisa membuat peminumnya teler dua hari dua malam.
Beberapa saat kemudian, perkumpulan yang sebelumnya ramai oleh gelak tawa itu menjadi sepi, sebab mereka telah tertidur pulas. Tak heran yang namanya Zebra, Jerapah, Gajah, Beruang, Banteng dan Badak tidak hadir di tenda. Mereka pun gagal menjadi binatang terpilih simbol shio Dewa Sepuh.
Kancil sangat lega bisa mengakali hewan-hewan gede. Tak puas dengan itu, ia pun pergi ke segala pelosok hutan untuk menemui binatang lain agar minum kopinya hingga merekapun tertidur 2 hari. “Jika banyak hewan yang ketiduran, artinya sainganku hanya sedikit,” demikian batin Kancil.
Di ladang hewan kecil, Ayam, Angsa dan Bebek ternyata hidup damai. Segala sesuatu diputuskan secara musyawarah. Tak perlu tipu daya, iri hati dan persaingan. Kawanan hewan bersayap ini malah kompromi, Ayamlah yang diajukan sebagai calon. Alasannya karena ayam bangun paling pagi. Iapun bertugas membangunkan orang. Adapun Bebek memang menolak akibat malu tak dapat berjalan lebih baik dari pada sekarang. “Jalanku kebanyakan megal-megolnya, bikin orang tertawa,” kata Bebek malu-malu. Angsa juga menolak karena ia terlalu sibuk dan tak ingin kehilangan waktu luluran memutihkan bulu-bulunya.
Di dapur, Kucing, Jangkrik, Kacoa dan Tikus sedang bermain-main. Mendengar berita pemilihan hewan lambang Shio, Kucing dan Tikus juga sangat berminat untuk bisa terpilih. Kucing sangat berambisi. Iapun berpesan pada Tikus, Jangkrik dan Kecoa agar dibangunkan pagi-pagi. Maklum, malam itu Kucing punya tugas ronda menjaga lingkungan karena di malam hari mata Kucing amat awas. Adapun Jangkrik dan Kecoa tidak akan ikut mendaftar karena merasa diri tidak pantas menjadi simbol ramalan. Maklum tubuhnya kecil dan bau.
Beda dengan Tikus, ia amat lincah, lagipula nakal dan liciknya melebihi Kancil. Tentang ambisi, jangan ditanya lagi. Meskipun badannya keecil, cita-citanya setinggi langit. Ia ingin mengalahkan semua binatang hutan berkaki empat yang tubuhnya berpuluh kali lebih besar dari dirinya, terutama Kucing.
Ia berjanji akan mengalahkan Kucing. Maka diam-diam dia membawa Kecoa dan Jangkrik di terowongan air. Ia beri selimut dan musik berupa gemiricik air. Hal ini membuat keduanya tertidur lena tanpa bisa bangun pagi. Habis itu, Tikus pergi ke tenda tanpa membangunkan Kucing.
Tepat pada pagi harinya, banyak binatang yang sudah berlumpul dengan rapi di depan tenda. Sekejap kemudian Dewa Sepuh dan Peri Hutan keluar dari tenda.
Bersabdalah Dewa Sepuh kepada hadirin.”Wahai binatang Hutan. “Karena kebaikan Peri Junjunganmu, kalianlah yang kupilih menjadi hewan lambang shio-shioku. Akan kupilih sesuai dengan antri kalian.”
Maka para hewan yang sudah hadir segera berbaris antri merapikan diri.
“Baiklah, Shio pertama adalah Kerbau,” kata Dewa Sepuh. Tikus yang takut tidak terpilih, timbul kelicikannya. Ia berlari ke barisan paling depan secara diam-diam lalu berteriak, “Wahai Dewa Sepuh, hamba Tikus. Hamba sudah berdiri disini nomor satu. Apakah Paduka tidak melihat diriku yang kecil ini? Aku berada di depan kaki Kerbau.”
Seketika arena sidang menjadi riuh. Dewa Sepuh mencari-cari Tikus. Karena sudah tua dan matanya rabun, Tikusnya tidak tampak. Peri Hutan yang akhirnya melihat Tikus berada di urutan pertama. “Oh benar, Tikus sudah berdiri paling depan, Dewa Sepuh,” kata Peri Hutan.
“Baiklah. Shio pertama Tikus,” kata Dewa Sepuh. Segenap hadirin bertepuk tangan. Wah Tikus bangga sekali, meski paling kecil, tetapi ia sudah mampu mengalahkan semua binatang besar berkaki empat.
“Shio hedua Kerbau. Selanjutnya ketiga Macan, empat Kelinci, lalu Naga, Ular, Kuda, Kambing, Monyet, Ayam, Anjing dan Babi.”
Dimana Kancil? Ternyata Kancil masih sibuk meracuni hewan-hewan hutan. Ia sampai lupa kalau pagi telah datang. Ia lari terbirit-birit ke tenda. Namun Kancil berdiri di nomor 23. Maka ia tidak kebagian nomor shio. Kancil menyesal atas keteledorannya sehingga namanya tidak terabadikan dalam simbol Shio.
Adapun Kucing marah luar biasa kepada Tikus. Ia bangun siang dan tidak dibangunkan. Kucing juga tahu bahwa Tikus menyandera Jangrik dan Kecoa agar tak bisa membangunkan Kucing. Sejak itu Kucing selalu mengejar Tikus jika terlihat di matanya, persis seperti cerita Tom and Jerry.
NONI
Di Kahyangan yakni Istana Dewa, Dewa Sepuh sedang dikelilingi Dewa-Dewi dan para Peri. Mereka sering bertanya ini-itu karena ceramahnya sangat bermutu. Sebagai orang tua, Dewa Sepuh mempunyai wawasan yang sangat luas, sangat berpengalaman dan bisa meramal hidup dewa atau peri penghuni Istana Dewa. Itulah sebabnya, Dewa Sepuh selalu didatangi para Dewa untuk minta nasehat.
Seperti di pagi itu. Dewa Sepuh sedang bercengkerama dengan para Dewa dan Peri. Banyak yang minta diramal, apakah tugas dan pekerjaan bisa sukses pada tahun depan. Satu per satu mereka diramal. Ada ramalan yang menenteramkan, ada yang harus diwaspadai. Dewa Utama selalu senang mendengarkan ramalan-ramalan Dewa Sepuh. Karena itu Dewa Utama ikut mendengarkan uraian Dewa Sepuh dengan cermat.
Pada suatu hari, Dewa Utama mempunyai ide. Seandainya ramalan-ramalan Dewa Sepuh diturunkan ke bumi, penduduk bumi pasti sangat senang mendapati ramalan yang sangat manjur tadi. Menurut pemikirannya, dari pada penduduk bumi pergi ke dukun, -biasanya ilmu dukun tidak setinggi ilmu Dewa- lebih baik mereka mencermati ramalan Dewa Sepuh. Maka Dewa Utama meminta Dewa Sepuh agar turun ke bumi untuk meneliti, ramalan seperti apakah yang cocok diturunkan.
Dewa Sepuh pun segera turun ke bumi. Ia didampingi Peri Hutan, sebab dewa atau peri-peri yang lain pada sibuk sendiri-sendiri. Padahal sebenarnya mereka malas harus mendampingi Dewa Sepuh karena dia sudah tua dan sakit-sakitan. Untunglah Peri Hutan sangat sabar membimbing dan menggendong Dewa Sepuh jika tersandung batu.
Mengetahui Peri Hutan amat sayang pada Dewa Sepuh membuat Dewa Sepuh sangat berterima kasih. “Peri, kamu sangat baik padaku, mengapa?” tanya Dewa Sepuh. “Kakek Dewa, tak perlu sungkan, aku hanya ingin Kakek tidak terluka tertusuk duri dan tidak dinakali penduduk bumi. Aku akan menjaga Kakek agar selalu sehat,” jawab Peri Hutan.
“Baiklah, karena kau telah baik padaku, maka hewan-hewan peliharaanmu yang akan aku jadikan simbol-simbol ramlan-ramalanku nanti,” janji Dewa Sepuh. “Silahkan kakek, aku senang sekali, rakyatku pasti juga bangga. Tetapi ramalan seperti apa yang akan kakek turunkan?” tanya Peri Hutan.
“Aku akan membuat shio. Isinya 12 simbol yang berlaku setiap sekitar setahun sekali. Setiap tahun shio-shio itu memberi watak tersendiri. Sekarang tugasmu menyiarkan kepada rakyatmu, siapa yang ingin menjadi simbol dari shio-shioku nanti. Cepatlah, badanku sudah capek pegal linu, aku hanya ingin semalam saja di bumi. Aku ingin segera pulang ke istana Dewa,” demikian Dewa Sepuh memerintah.
Maka Peri Hutan segera mengumpulkan binatang hutannya, lalu memberi pengumuman yang berbunyi: “Barang siapa yang ingin menjadi simbol dari ramalan shio yang akan diturunkan Dewa Sepuh, harap datang besok pagi-pagi sekali di tenda hutan. Hanya diperlukan 12 hewan yang datang paling pagi,” demikian seruan Peri Hutan.
Pengumuman itu sangat menggegerkan penghuni hutan. Ada lebih dari 500 binatang hutan, padahal yang dipilih hanya 12. Maka mereka pun bersiap diri agar besok pagi tidak terlambat datang. Ada yang langsung tidur, ada yang begadang semalaman dengan minum kopi banyak-banyak, ada juga yang memasang jam beker.
Persaingan merebut posisi terpilih menjadi lambang shio Dewa Sepuh sangat ramai. Binatang hutan yang penuh akal segera beraksi. Si Kancil, dialah binatang yang paling licik. Dilihatnya, sekawanan binatang hutan pada begadang tidak tidur. Mereka adalah Zebra, Jerapah, Gajah, Beruang, Banteng, Badak dan Sapi. Mereka adalah binatang-binatang besar. Pasti menang jika berdesak-desak antri di depan tenda. Akal bulus Kancil segera muncul.
Maka Kancil pura-pura ikut nimbrung di arena begadang. “Hai Kancil, kau juga mau begadang? Boleh, tetapi kau harus membawa kopi dan rumput yang banyak. Jika tidak, kau tidak boleh ikut begadang disini,” kata Sapi.
“Baik, tunggulah, akan kubawakan kopi enak dan rumput hijau yang segar,” janji Kancil. Berkata demikian, Kancil lalu pergi, namun tak berapa lama ia sudah datang kembali.
“Silahkan minum kopi enak dari Sumatera. Ini kopi trubuk asli yang kuberi sedikit jahe. Pasti kalian bisa begadang sampai siang,” kata Kancil sambil menyodorkan kopinya kepada setiap hadirin. “Wah benar, kopinya enak sekali. Lagi boleh Cil, boleh ya…,” tanya Gajah tanpa sungkan langsung minta tambah. Ternyata semua minta tambah.
Namun apa yang terjadi? Tak lama kemudian, kawanan hewan besar itu menguap. “Lho lho, lho….Cil… koq aku jadi kantuk sekali. Kau pasti meracuni kami….,” tuduh Badak, tetapi ia tak sempat melanjutkan geramnya karena langsung tertidur pulas. Kancil memang sudah memberi racun tidur pada kopinya. Ramuan kopi tidur Kancil, bisa membuat peminumnya teler dua hari dua malam.
Beberapa saat kemudian, perkumpulan yang sebelumnya ramai oleh gelak tawa itu menjadi sepi, sebab mereka telah tertidur pulas. Tak heran yang namanya Zebra, Jerapah, Gajah, Beruang, Banteng dan Badak tidak hadir di tenda. Mereka pun gagal menjadi binatang terpilih simbol shio Dewa Sepuh.
Kancil sangat lega bisa mengakali hewan-hewan gede. Tak puas dengan itu, ia pun pergi ke segala pelosok hutan untuk menemui binatang lain agar minum kopinya hingga merekapun tertidur 2 hari. “Jika banyak hewan yang ketiduran, artinya sainganku hanya sedikit,” demikian batin Kancil.
Di ladang hewan kecil, Ayam, Angsa dan Bebek ternyata hidup damai. Segala sesuatu diputuskan secara musyawarah. Tak perlu tipu daya, iri hati dan persaingan. Kawanan hewan bersayap ini malah kompromi, Ayamlah yang diajukan sebagai calon. Alasannya karena ayam bangun paling pagi. Iapun bertugas membangunkan orang. Adapun Bebek memang menolak akibat malu tak dapat berjalan lebih baik dari pada sekarang. “Jalanku kebanyakan megal-megolnya, bikin orang tertawa,” kata Bebek malu-malu. Angsa juga menolak karena ia terlalu sibuk dan tak ingin kehilangan waktu luluran memutihkan bulu-bulunya.
Di dapur, Kucing, Jangkrik, Kacoa dan Tikus sedang bermain-main. Mendengar berita pemilihan hewan lambang Shio, Kucing dan Tikus juga sangat berminat untuk bisa terpilih. Kucing sangat berambisi. Iapun berpesan pada Tikus, Jangkrik dan Kecoa agar dibangunkan pagi-pagi. Maklum, malam itu Kucing punya tugas ronda menjaga lingkungan karena di malam hari mata Kucing amat awas. Adapun Jangkrik dan Kecoa tidak akan ikut mendaftar karena merasa diri tidak pantas menjadi simbol ramalan. Maklum tubuhnya kecil dan bau.
Beda dengan Tikus, ia amat lincah, lagipula nakal dan liciknya melebihi Kancil. Tentang ambisi, jangan ditanya lagi. Meskipun badannya keecil, cita-citanya setinggi langit. Ia ingin mengalahkan semua binatang hutan berkaki empat yang tubuhnya berpuluh kali lebih besar dari dirinya, terutama Kucing.
Ia berjanji akan mengalahkan Kucing. Maka diam-diam dia membawa Kecoa dan Jangkrik di terowongan air. Ia beri selimut dan musik berupa gemiricik air. Hal ini membuat keduanya tertidur lena tanpa bisa bangun pagi. Habis itu, Tikus pergi ke tenda tanpa membangunkan Kucing.
Tepat pada pagi harinya, banyak binatang yang sudah berlumpul dengan rapi di depan tenda. Sekejap kemudian Dewa Sepuh dan Peri Hutan keluar dari tenda.
Bersabdalah Dewa Sepuh kepada hadirin.”Wahai binatang Hutan. “Karena kebaikan Peri Junjunganmu, kalianlah yang kupilih menjadi hewan lambang shio-shioku. Akan kupilih sesuai dengan antri kalian.”
Maka para hewan yang sudah hadir segera berbaris antri merapikan diri.
“Baiklah, Shio pertama adalah Kerbau,” kata Dewa Sepuh. Tikus yang takut tidak terpilih, timbul kelicikannya. Ia berlari ke barisan paling depan secara diam-diam lalu berteriak, “Wahai Dewa Sepuh, hamba Tikus. Hamba sudah berdiri disini nomor satu. Apakah Paduka tidak melihat diriku yang kecil ini? Aku berada di depan kaki Kerbau.”
Seketika arena sidang menjadi riuh. Dewa Sepuh mencari-cari Tikus. Karena sudah tua dan matanya rabun, Tikusnya tidak tampak. Peri Hutan yang akhirnya melihat Tikus berada di urutan pertama. “Oh benar, Tikus sudah berdiri paling depan, Dewa Sepuh,” kata Peri Hutan.
“Baiklah. Shio pertama Tikus,” kata Dewa Sepuh. Segenap hadirin bertepuk tangan. Wah Tikus bangga sekali, meski paling kecil, tetapi ia sudah mampu mengalahkan semua binatang besar berkaki empat.
“Shio hedua Kerbau. Selanjutnya ketiga Macan, empat Kelinci, lalu Naga, Ular, Kuda, Kambing, Monyet, Ayam, Anjing dan Babi.”
Dimana Kancil? Ternyata Kancil masih sibuk meracuni hewan-hewan hutan. Ia sampai lupa kalau pagi telah datang. Ia lari terbirit-birit ke tenda. Namun Kancil berdiri di nomor 23. Maka ia tidak kebagian nomor shio. Kancil menyesal atas keteledorannya sehingga namanya tidak terabadikan dalam simbol Shio.
Adapun Kucing marah luar biasa kepada Tikus. Ia bangun siang dan tidak dibangunkan. Kucing juga tahu bahwa Tikus menyandera Jangrik dan Kecoa agar tak bisa membangunkan Kucing. Sejak itu Kucing selalu mengejar Tikus jika terlihat di matanya, persis seperti cerita Tom and Jerry.
NONI
Langganan:
Postingan (Atom)