PERI HEWAN HILANG SUARA
Di jaman purba, hewan bisa berbicara seperti manusia. Mereka memakai bahasa binatang yang dimengerti semua jenis binatang. Jadi gajah, jangkerik, burung dan ikan bisa saling menyapa.
Pada suatu hari Ibu Peri Penjaga Hutan, Ibu Peri Penjaga Air dan Ibu Peri Penjaga angin berkumpul. Mereka memuji dan mengunggulkan binatang-binatang yang dijaganya. Peri Hutan memuji binatang-binatang hutan, Peri Air memuliakan ikan-ikan di laut dan Peri Angin memuji burung Garuda-nya. Mereka menyatakan bahwa binatang yang dijaganya adalah yang paling unggul. Hal ini menimbulkan pertengkaran hebat diteruskan dengan adu kekuatan sampai di kahyangan.
Kahyangan menjadi geger. Dewa Bumi marah besar hingga tiga Peri pembantunya tersebut ditangkap.
Dewa Bumi berkata, “Wahai para Peri, semua binatang punya tugas masing-masing. Tak ada yang lebih unggul. Kalian bersalah jika saling unjuk keunggulan, apalagi sampai berkelahi, merusak tanaman hias milik istana kahyangan. Lihat daun jenmani dan Gelombang CInta milik Kahyangan banyak yang patah. Padahal harganya kan selangit!”
Peri Air menjawab, “Duh Tuan Dewa Penguasa Bumi, apakah saya bersalah? Bukankah tanpa air, tak ada kehidupan di dunia ini? Lihat, planet Mars, Neptunus atau Bulan, disana tak ada makhluk hidup karena tak ada air. Jadi bukankah air adalah sarana paling unggul untuk hidup.”
Peri Angin menimpali, “Bukan demikian Tuan Dewa Bumi. Tanpa angin, bumi akan panas, binatang-binatang peliharaan Peri Hutan akan terbakar.”
Peri Hutan membela, “Itu tidak benar Dewa Bumi. Tanpa hutan-hutan di bumi, burung-burung tak bisa mencari makan.”
Dewa Bumi geleng-geleng kepala. “O o, kalian koq rada-rada gendeng. Otak kalian kerbau semua. Tahukah, semua benda dan makhluk yang dibuat Sang Pencipta punya hubungan simbiosis mutualis, saling terkait, saling berhubungan dan saling bahu membahu menyelamatkan bumi agar awet.”
Tiga Peri tadi merasa sangat bersalah menyadari ketololan mereka dan bersedia dihukum.
Maka Dewa Bumi bersabda, “Peri air, kamu dihukum. Ikan-ikanmu akan kehilangan suara. Ikan jadi hewan bisu saja. Peri Hutan, kamu dihukum, binatang hutan hanya bisa bersuara satu jenis dan mereka akan memilih suaranya sendiri. Peri Angin, kamu juga dihukum. Tetapi burung-burung bisa bersiul. Sebagai ganti adanya suara, aku akan mohon kepada Sang Pencipta untuk mendatangkan manusia yang bisa berbicara agar hidup di bumi, yakni Adam dan Hawa. Keputusan ini berlaku lusa.”
Peri ikan dan Peri Hutan langsung mengajukan protes karena hukumannya tidak sama. Tetapi putusan Dewa Bumi tak dapat diganggu gugat, mutlak milik Sabdo Pandita Dewa Bumi.
Dengan bersungut-sungut ketiga Peri tadi pergi ke habitatnya sendiri untuk mengumumkan kepada rakyat. Begitu ikan-ikan tahu bahwa lusa mereka akan menjadi binatang bisu, serentak mereka berteriak sekeras-kerasnya sampai lusa. Laut dan sungai pun guncang oleh teriakan segenap hewan air.
Sementara di hutan, Peri Hutan dikerubungi rakyatnya yang ribut memilih suara khas mereka. Harimau protes, “Mengapa harus ada manusia?” Peri Hutan menjawab, “Manusia sedang diuji apakah mampu berbicara dengan bahasa kita.” Kalian diperintahkan untuk mencari bahasa dan suara baru. Ini berlaku mulai lusa. Maka cepatlah memilih suara! Kalau tidak, kalian akan bisu seperti ikan.”
Gajah cepat-cepat menyela, “Ya sudah Ibu Peri. Aku pilih suara dan lagu seperti ini, aueikkkkk!” Singa juga cepat memilih suara, “Aouuuuum.” Peri Hutan kagum lalu berkomentar, “Wah bagus, suaramu sangat gagah, sesuai dengan besarnya tubuhmu. Kalau kau anjing?”
Anjing lalu menggonggong, “Guk guk guk.”
Seketika ribuan binatang memilih suara mereka masing-masing sehingga hutan menjadi riuh rendah.
Kucing mengeong, “Meong, meong.”
Kodok lalu mengorek, “Mbeoek Ngook!”
Tokek memilih suaranya, “Tokek, tokek”
Bebek memilih ‘ wekwek’, ayam jantan ‘kukuruyuk’, ayam betinanya ‘petok- petok. Kuda memilih iek iek iek iek. Kambing mengembik ‘embik embik’, babi ‘ngoook ngokkk’, sapi melenguh ‘uhhh’, ular mendesis, kera menjerit, lalu tikus mencicit.
Semua hewan hutan telah memilih suaranya sendiri. Peri Hutan lega, rakyatnya tidak melakukan demo atas keputusan Dewa Bumi yang terpaksa harus diterima.
Bagaimana dengan Peri Angin? Dia juga sibuk bersama rakyatnya. Namun Peri Angin sangat senang. Burung-burungnya telah memilih suara dan lagu yang bagus-bagus. Suara burung Kenari sangat indah dengan lagunya yang tak pernah berhenti…. ‘priyik-yik-yik-yik, priyuk-yuk-yuk’. Burung Cocakrowo berkicau amat merdu. Burung Perkutut bernyanyi ‘huwung kung kung kung’. Derkuku bernyanyi ‘kuk geruuuk koook… kuk geruuuk koook. Kini semua burung telah menemukan siulan suara dan melagukannya. Peri Angin bangga sekali, burung-burungnya sangat kreatif menciptakan suara dan lagu.
Tiba-tiba Peri Angin melihat burung Beo tiba-tiba datang.
Peri Angin: “Beo, kamu dari mana? Kamu pilih suara dan lagu seperti apa, coba aku dengarkan?”
Beo: “Ibu Peri, saat ini perutku mulas karena tak dapat menahan tertawaku… aku dari hutan melihat hewan hutan memilih suaranya, hahahahaha….!”
Semua burung-burung penasaran ingin mendengar kelucuannya. Peri pun ikut penasaran sehingga mengizinkan Beo untuk menirukan suara binatang hutan.
Sambil terpingkal-pingkal, Beo menirukan satu per satu suara binatang hutan.
‘”Suara kuda seperti kuntilanak. Ular seperti kehabisan nafas. Sapi seperti kesakitan disembelih., hahahahaha.... Suara Anjing seperti sedang digebuki, Kucing seperti sedang kelaparan. Singa dan Serigala seperti suara hantu mencari mangsa, hiiii.”
Burung-burung yang beterbangan di angkasa ini tertawa bersama mengejek binatang hutan.
Lalu Peri Angin kembali menanyakan suara Beo. “Lalu suara dan lagumu sendiri seperti apa Beo?”
Beo lalu melagukan suaranya. “Mbek mbek mbeeeeekkk, eh bukan, itu suara si Kambing. Meonghhh ong...ong...eh bukan, itu mirip suara si Kucing. Suaraku ini krik..krik-krik...krik kriikk.... eh, eh bukan, bukan, itu suara Jangkrik. Aduh Ibu Peri, bagaimana ya? Lho, lho, aku jadi lupa belum menciptakan suara dan lagunya. Aku tadi terlalu sibuk mendengarkan dan mengejek binatang hutan. Ibu Peri mohon ampunilah aku. Aku tidak mau menjadi burung bisu!”
Peri Angin tersenyum, lalu berkata, “Ya sudah, karena kamu seekor peniru, maka kamu akan tetap menirukan suara apapun yang kau dengar.” Akhirnya burung Beo selalu bisa menirukan suara-suara yang diajarkan atau yang didengarnya.
NONI
Sabtu, 20 Juni 2009
Hilangnya Telur di Bumi
HILANGNYA TELUR DI BUMI
Di hutan belantara, beberapa binatang kecil dan seekor Buaya sedang berkumpul. Binatang kecil itu Ayam, Bebek, Katak dan para Burung. Mereka secara tidak sengaja bisa saling berjumpa. Jumpa mitra ini kian ramai manakala semuanya ingin saling berbagi cerita. Lama-lama mereka tertarik pada cerita yang disampaikan si Bebek.
Kata Bebek, selama hidupnya, ia tidak pernah bertelur dengan bentuk bulat seperti bola. “Bentuk telurku bulat telur, kan? Sama seperti telur Ayam dan burung,” kata Bebek pada teman-temannya. “Tetapi kemarin aku bertemu dengan Kura-kura. Ia meyakinkanku bahwa telurku sebenarnya bulat sempurna seperti bola. Tetapi karena aku tidak hati-hati melepas telurku, telurnya jatuh terlalu tinggi hingga menjadi lonjong,” kata Bebek sambil meringis.
Hewan-hewan lainnya tersenyum kecut mendengarnya. Ada-ada saja si Kura-kura. Tetapi tiba-tiba Buaya penasaran. Ia ingin melihat, apakah telurnya yang dipendam di pasir dekat sungai, juga berbentuk lonjong? Merekapun sepakat ingin melihat telur Buaya. Maka berangkatlah mereka ke pendaman telur Buaya. Setelah digali, terlihat telur Buaya pun bentuknya lonjong.
“Hai Buaya, kau pun tak hati-hati melepas telurmu. Padahal sudah kau jatuhkan di pasir yang empuk,” kata Bebek. Suasana jadi riuh oleh pendapat masing-masing. Katak akhirnya nimbrung: “Makanya kalau bertelur di air saja seperti aku. Telurku bulat sempurna!” seru Katak.
“Tetapi telur-telurmu menggumpal jadi satu seperti telur ikan, bahkan tak tampak bulat, malah kayak penyakit kusta,” ejek si Ayam. Semua yang mendengar jadi tertawa terbahak-bahak. Akhirnya Bebek mengajak ke sarang Cecak untuk melihat bentuk telur Cecak. Merekapun bertamu ke sarang Cecak.
“Cak, Cak, bolehkah kami melihat telurmu?” tanya Bebek.
“Boleh, telurku kecil-kecil putih, tak berwarna seperti permen, bagus ya, kecil-kecil lonjong?” pamer si Cecak.
“Wah benar, telur Cecak juga lonjong. Artinya Kura-kura penipu. Telur apapun, bentuknya selalu lonjong. Tuhan memberi keistimewaan kepada hewan petelur bahwa beginilah bentuk telur,” seru Bebek.
“Baiknya kita beri pelajaran buat si Kura-kura, ayo kita serbu ramai-ramai,” seru semua hewan disana. Maka merekapun buru-buru mencari Kura-kura untuk dihajar.
Melihat tamu menyerbu rumahnya, Kura-kura jadi kaget. Pada saat itu ia sedang bercengkerama dengan Siput. Siput menangis karena merasa bahwa ia terlalu berat menyangga rumah cangkangnya. Siput menyesal sekali, mengapa harus punya rumah di punggungnya sehingga ia tak bisa berlari cepat. Kawanan Bebek jadi ikut prihatin atas nasib Siput.
“Tetapi Put, rumah itu membuatmu tak kedinginan jika hujan dan tak kepanasan di siang terik,” hibur Buaya.
“Benar, Put. Coba jika kau jatuh dan rumahmu pecah, lendirmu malah tampak menjijikkan dan kau jadi sakit, kan?” sela Ayam.
“Tetapi tak ada yang mau berteman denganku. Apalagi Bebek, ia selalu memakanku jika melihat rumahku remuk,” kata Siput.
“Soalnya lendirmu kan vitamin buat telurku, maka rumahmu jangan sampai pecah, kalau rumahmu utuh, aku kan temanmu,” bela Bebek.
Tiba-tiba Bebek ingat bahwa ia datang untuk menghajar Kura-kura. “Oh iya, kami kesini mau membalas penipuanmu kepadaku, Kura-Kura. Kau bohong, semua telur berbentuk lonjong,” kata Bebek langsung menendang Kura-kura. Tetapi apa yang terjadi? Kaki Bebek kesakitan menendang punggung Kura-kura. “Aduh,” teriak Bebek menahan rasa sakit kakinya. Melihat Bebek kesakitan, Ayam jadi marah. Ia pun ikut menendang Kura-kura dengan kakinya. Ah, ayam kesakitan juga.
“Heee, kalian mau apa? Menghajarku? Nggak bisaaaa! Aku punya rumah yang kuat dan keras, hahahaha… kena batunya lu,” ejek Kura-kura. “He Buaya, kau juga mau menghajarku? Ingat, gigimu tak sanggup meremuk rumahku. Kalau kau mau menelanku, perutmu akan sakit karena aku tetap hidup bersembunyi di rumahku, lalu kugigit jantungmu sampai kau mati,” ancam Kura-kura. Buaya jadi takut, juga burung-burung dan Cecak. Kura-kura semakin sombong dan kian senang bisa menggoda para tamunya. Niatnya kian besar untuk menakut-nakuti mereka.
“He kalian binatang petelur, dosa kalian sangat besar karena tidak bisa mengeluarkan telurmu menjadi bulat sempurna!” seru Kura-kura.
“Bohong!!!”
“Buktinya, rebuslah telurmu. Lihat, kuning telurmu bulat sempurna, kan?” seru Kura-kura. Segenap hewan petelur saling berpandangan membenarkan dalih Kura-kura.
“Pulanglah, mohon ampunlah semua dosa-dosamu. Tanyakan pada dewamu, bagaimana caranya agar telurmu bisa keluar dengan tetap bulat sempurna. Apalagi kau Ayam, dosamu yang paling besar karena kau tak pernah bisa menjawab pertanyaan tentang mana yang lebih dulu ada, ayam atau telur. Sudah sana. Pergi semua!” usir Kura-kura angkuh.
Dengan tertunduk malu, mereka pun pulang ke kandang masing-masing. Mereka sangat sedih menjadi makhluk yang penuh dosa karena tidak mampu mengeluarkan telur mereka secara bulat sempurna. Semalaman mereka tak bisa tidur memikirkan dosa-dosa seperti yang dikatakan Kura-kura.
Pada pagi harinya, Ayam-ayam pada berkumpul. Mereka membicarakan dosa yang ditanggung. Tak seekor Ayam betina pun yang mau menanggung dosa. Maka akhirnya mereka sepakat untuk tidak bertelur. Jika terpaksa bertelur, maka telur yang keluar langsung dithotholi dan dipecah agar dosa mereka tidak kian besar. Maka Ayam memulai demo anti bertelur. Telur yang ada dipecahi, telur yang baru keluar langsung diremuk-remuk.
Melihat hal itu, Bebek menirunya dan bahkan semua binatang petelur, memecahkan sendiri semua telur-telur mereka. Demo anti bertelur dan anti telur merebak pada seluruh satwa hewan petelur. Tak satupun binatang bertelur yang tidak memusnahkan telur-telur mereka. Tidaklah heran jika bumi kehilangan telur.
Pasar-pasar dan toko-toko kekosongan telur. Manusia kebingungan, mengapa semua telur selalu pecah? Melihat kegegeran di bumi, Dewa Bumi jadi resah. Ia turun ke bumi untuk mencari tahu penyebabnya, kemudian melaporkan masalah ini kepada Dewa Utama. Para Peri ditugaskan untuk mencari dalangnya. Akhirnya diketahui bahwa Kura-kuralah yang memanas-manasi keyakinan hewan-hewan itu.
Para Dewa dan Peri lalu menemui semua hewan-hewan petelur. Di sebuah padang rumput yang luas, segenap binatang petelur diharuskan hadir. Dewa Utama akan memberi amanat penting. Kura-kura juga hadir disana. Setelah semua berkumpul, Peri Hutan membuka acara, “Wahai rakyatku, Dewa Utama akan memberitahu mengapa telur kalian lonjong,” kata Peri Hutan dengan manis.
Dewa Utama yang jarang menemui hewan-hewan ini maju ke depan. “Wahai rakyatku, Kudengar si Ayam bingung, yang lebih dulu ada, telur atau Ayam? Jawabannya, kalian itu hasil evolusi dari Dinosaurus yang lalu menjelma menjadi berbagai jenis hewan. Ada yang berkaki dua, ada yang empat, ada yang punya ekor, ada yang punya sayap, ada yang beranak, ada yang bertelur dan ada yang berpunggung cangkang seperti Siput. Sama seperti Anthurium, bisa beranak menjadi Huckery, bisa Jenmani, bisa Gelombang Cinta, Gelombang Tsunami atau Garuda, Keris dsb.”
“Tetapi, mengapa telur kami semuanya lonjong,” protes Buaya.
“Sebenarnya telur kalian berbentuk bulat seperti bola. Waktu keluar kena angin, cangkang telur mulai terlapisi kapur, lalu didorong ke luar menjadi lonjong agar tidak menggelinding sehingga mudah dierami dengan aman. Emangnya kalian ingin telurnya dibentuk seperti durian? Bisa-bisa bokong kalian tertusuk duri-duri tajam,” terang Dewa Utama yang disambut egal-egol Bebek pura-pura mengerami durian. Semua hadirin tertawa terpingkal-pingkal melihat ulah Bebek.
“Jadi, kalian mau telurnya dibentuk seperti durian?” tanya Dewa Utama.
“Tidakkkkkkk…,” jawab semua binatang petelur serentak. Namun si Bebek langsung bertanya lagi, “Tetapi kami berdosa tidak bisa membentuk telur kami menjadi bulat sempurna seperti bola,” keluh Bebek.
“Bek, Bek, kamu akan berdosa jika berbuat jahat, bukan karena bertelur. Sekarang, aku bertanya kepada Kura-kura, bagaimana bentuk telurmu, Kura-kura? Lonjong juga kan? Mengapa kalian tidak melihat telur Kura-kura sehingga mau-maunya dikibuli Kura-kura?” tanya Dewa Utama.
Lhoooo, telur Kura-kura juga lonjong??? Ah ternyata semua hewan petelur merasa dibebani rasa berdosa sehingga lupa melihat bentuk telur Kura-kura. Suasana menjadi riuh oleh cemoohan kepada Kura-kura, namun ada juga yang menyesali diri atas kebodohan mereka ditipu Kura-kura. Akhirnya semua serentak memohon agar Kura-kura ditangkap dan dihukum. Dewa Utamapun segera bersabda.
“Hai Kura-kura, karena kau telah menipu semua hewan petelur, maka kamu harus dihukum,” seru Dewa Utama. Segenap hadirin bertepuk riuh mendukung dihukumnya si Kura-kura.
“Agar Kura-kura tak bisa menipu lagi, sejak sekarang kamu menjadi binatang bisu dan ompong. Kamu hanya bisa makan dari perkerasan moncongmu. Kamu juga akan menggendong rumah cangkangmu yang terus bertambah berat dan keras selama 200 tahun sampai kamu bosan hidup. Beda dengan siput yang cangkangnya tipis dan enteng,” kutuk Dewa Utama.
Maka segenap binatang petelur akhirnya bertepuk tangan dan tidak lagi dendam kepada Kura-kura. Mereka pun bersedia bertelur lagi. Adapun sejak itu Kura-kura tidak memiliki gigi. Ia hidup dengan terus menggendong rumah cangkangnya yang keras dan berat di punggungnya. Itulah hukuman dera atas dosanya menipu seluruh hewan petelur.
NONI
Di hutan belantara, beberapa binatang kecil dan seekor Buaya sedang berkumpul. Binatang kecil itu Ayam, Bebek, Katak dan para Burung. Mereka secara tidak sengaja bisa saling berjumpa. Jumpa mitra ini kian ramai manakala semuanya ingin saling berbagi cerita. Lama-lama mereka tertarik pada cerita yang disampaikan si Bebek.
Kata Bebek, selama hidupnya, ia tidak pernah bertelur dengan bentuk bulat seperti bola. “Bentuk telurku bulat telur, kan? Sama seperti telur Ayam dan burung,” kata Bebek pada teman-temannya. “Tetapi kemarin aku bertemu dengan Kura-kura. Ia meyakinkanku bahwa telurku sebenarnya bulat sempurna seperti bola. Tetapi karena aku tidak hati-hati melepas telurku, telurnya jatuh terlalu tinggi hingga menjadi lonjong,” kata Bebek sambil meringis.
Hewan-hewan lainnya tersenyum kecut mendengarnya. Ada-ada saja si Kura-kura. Tetapi tiba-tiba Buaya penasaran. Ia ingin melihat, apakah telurnya yang dipendam di pasir dekat sungai, juga berbentuk lonjong? Merekapun sepakat ingin melihat telur Buaya. Maka berangkatlah mereka ke pendaman telur Buaya. Setelah digali, terlihat telur Buaya pun bentuknya lonjong.
“Hai Buaya, kau pun tak hati-hati melepas telurmu. Padahal sudah kau jatuhkan di pasir yang empuk,” kata Bebek. Suasana jadi riuh oleh pendapat masing-masing. Katak akhirnya nimbrung: “Makanya kalau bertelur di air saja seperti aku. Telurku bulat sempurna!” seru Katak.
“Tetapi telur-telurmu menggumpal jadi satu seperti telur ikan, bahkan tak tampak bulat, malah kayak penyakit kusta,” ejek si Ayam. Semua yang mendengar jadi tertawa terbahak-bahak. Akhirnya Bebek mengajak ke sarang Cecak untuk melihat bentuk telur Cecak. Merekapun bertamu ke sarang Cecak.
“Cak, Cak, bolehkah kami melihat telurmu?” tanya Bebek.
“Boleh, telurku kecil-kecil putih, tak berwarna seperti permen, bagus ya, kecil-kecil lonjong?” pamer si Cecak.
“Wah benar, telur Cecak juga lonjong. Artinya Kura-kura penipu. Telur apapun, bentuknya selalu lonjong. Tuhan memberi keistimewaan kepada hewan petelur bahwa beginilah bentuk telur,” seru Bebek.
“Baiknya kita beri pelajaran buat si Kura-kura, ayo kita serbu ramai-ramai,” seru semua hewan disana. Maka merekapun buru-buru mencari Kura-kura untuk dihajar.
Melihat tamu menyerbu rumahnya, Kura-kura jadi kaget. Pada saat itu ia sedang bercengkerama dengan Siput. Siput menangis karena merasa bahwa ia terlalu berat menyangga rumah cangkangnya. Siput menyesal sekali, mengapa harus punya rumah di punggungnya sehingga ia tak bisa berlari cepat. Kawanan Bebek jadi ikut prihatin atas nasib Siput.
“Tetapi Put, rumah itu membuatmu tak kedinginan jika hujan dan tak kepanasan di siang terik,” hibur Buaya.
“Benar, Put. Coba jika kau jatuh dan rumahmu pecah, lendirmu malah tampak menjijikkan dan kau jadi sakit, kan?” sela Ayam.
“Tetapi tak ada yang mau berteman denganku. Apalagi Bebek, ia selalu memakanku jika melihat rumahku remuk,” kata Siput.
“Soalnya lendirmu kan vitamin buat telurku, maka rumahmu jangan sampai pecah, kalau rumahmu utuh, aku kan temanmu,” bela Bebek.
Tiba-tiba Bebek ingat bahwa ia datang untuk menghajar Kura-kura. “Oh iya, kami kesini mau membalas penipuanmu kepadaku, Kura-Kura. Kau bohong, semua telur berbentuk lonjong,” kata Bebek langsung menendang Kura-kura. Tetapi apa yang terjadi? Kaki Bebek kesakitan menendang punggung Kura-kura. “Aduh,” teriak Bebek menahan rasa sakit kakinya. Melihat Bebek kesakitan, Ayam jadi marah. Ia pun ikut menendang Kura-kura dengan kakinya. Ah, ayam kesakitan juga.
“Heee, kalian mau apa? Menghajarku? Nggak bisaaaa! Aku punya rumah yang kuat dan keras, hahahaha… kena batunya lu,” ejek Kura-kura. “He Buaya, kau juga mau menghajarku? Ingat, gigimu tak sanggup meremuk rumahku. Kalau kau mau menelanku, perutmu akan sakit karena aku tetap hidup bersembunyi di rumahku, lalu kugigit jantungmu sampai kau mati,” ancam Kura-kura. Buaya jadi takut, juga burung-burung dan Cecak. Kura-kura semakin sombong dan kian senang bisa menggoda para tamunya. Niatnya kian besar untuk menakut-nakuti mereka.
“He kalian binatang petelur, dosa kalian sangat besar karena tidak bisa mengeluarkan telurmu menjadi bulat sempurna!” seru Kura-kura.
“Bohong!!!”
“Buktinya, rebuslah telurmu. Lihat, kuning telurmu bulat sempurna, kan?” seru Kura-kura. Segenap hewan petelur saling berpandangan membenarkan dalih Kura-kura.
“Pulanglah, mohon ampunlah semua dosa-dosamu. Tanyakan pada dewamu, bagaimana caranya agar telurmu bisa keluar dengan tetap bulat sempurna. Apalagi kau Ayam, dosamu yang paling besar karena kau tak pernah bisa menjawab pertanyaan tentang mana yang lebih dulu ada, ayam atau telur. Sudah sana. Pergi semua!” usir Kura-kura angkuh.
Dengan tertunduk malu, mereka pun pulang ke kandang masing-masing. Mereka sangat sedih menjadi makhluk yang penuh dosa karena tidak mampu mengeluarkan telur mereka secara bulat sempurna. Semalaman mereka tak bisa tidur memikirkan dosa-dosa seperti yang dikatakan Kura-kura.
Pada pagi harinya, Ayam-ayam pada berkumpul. Mereka membicarakan dosa yang ditanggung. Tak seekor Ayam betina pun yang mau menanggung dosa. Maka akhirnya mereka sepakat untuk tidak bertelur. Jika terpaksa bertelur, maka telur yang keluar langsung dithotholi dan dipecah agar dosa mereka tidak kian besar. Maka Ayam memulai demo anti bertelur. Telur yang ada dipecahi, telur yang baru keluar langsung diremuk-remuk.
Melihat hal itu, Bebek menirunya dan bahkan semua binatang petelur, memecahkan sendiri semua telur-telur mereka. Demo anti bertelur dan anti telur merebak pada seluruh satwa hewan petelur. Tak satupun binatang bertelur yang tidak memusnahkan telur-telur mereka. Tidaklah heran jika bumi kehilangan telur.
Pasar-pasar dan toko-toko kekosongan telur. Manusia kebingungan, mengapa semua telur selalu pecah? Melihat kegegeran di bumi, Dewa Bumi jadi resah. Ia turun ke bumi untuk mencari tahu penyebabnya, kemudian melaporkan masalah ini kepada Dewa Utama. Para Peri ditugaskan untuk mencari dalangnya. Akhirnya diketahui bahwa Kura-kuralah yang memanas-manasi keyakinan hewan-hewan itu.
Para Dewa dan Peri lalu menemui semua hewan-hewan petelur. Di sebuah padang rumput yang luas, segenap binatang petelur diharuskan hadir. Dewa Utama akan memberi amanat penting. Kura-kura juga hadir disana. Setelah semua berkumpul, Peri Hutan membuka acara, “Wahai rakyatku, Dewa Utama akan memberitahu mengapa telur kalian lonjong,” kata Peri Hutan dengan manis.
Dewa Utama yang jarang menemui hewan-hewan ini maju ke depan. “Wahai rakyatku, Kudengar si Ayam bingung, yang lebih dulu ada, telur atau Ayam? Jawabannya, kalian itu hasil evolusi dari Dinosaurus yang lalu menjelma menjadi berbagai jenis hewan. Ada yang berkaki dua, ada yang empat, ada yang punya ekor, ada yang punya sayap, ada yang beranak, ada yang bertelur dan ada yang berpunggung cangkang seperti Siput. Sama seperti Anthurium, bisa beranak menjadi Huckery, bisa Jenmani, bisa Gelombang Cinta, Gelombang Tsunami atau Garuda, Keris dsb.”
“Tetapi, mengapa telur kami semuanya lonjong,” protes Buaya.
“Sebenarnya telur kalian berbentuk bulat seperti bola. Waktu keluar kena angin, cangkang telur mulai terlapisi kapur, lalu didorong ke luar menjadi lonjong agar tidak menggelinding sehingga mudah dierami dengan aman. Emangnya kalian ingin telurnya dibentuk seperti durian? Bisa-bisa bokong kalian tertusuk duri-duri tajam,” terang Dewa Utama yang disambut egal-egol Bebek pura-pura mengerami durian. Semua hadirin tertawa terpingkal-pingkal melihat ulah Bebek.
“Jadi, kalian mau telurnya dibentuk seperti durian?” tanya Dewa Utama.
“Tidakkkkkkk…,” jawab semua binatang petelur serentak. Namun si Bebek langsung bertanya lagi, “Tetapi kami berdosa tidak bisa membentuk telur kami menjadi bulat sempurna seperti bola,” keluh Bebek.
“Bek, Bek, kamu akan berdosa jika berbuat jahat, bukan karena bertelur. Sekarang, aku bertanya kepada Kura-kura, bagaimana bentuk telurmu, Kura-kura? Lonjong juga kan? Mengapa kalian tidak melihat telur Kura-kura sehingga mau-maunya dikibuli Kura-kura?” tanya Dewa Utama.
Lhoooo, telur Kura-kura juga lonjong??? Ah ternyata semua hewan petelur merasa dibebani rasa berdosa sehingga lupa melihat bentuk telur Kura-kura. Suasana menjadi riuh oleh cemoohan kepada Kura-kura, namun ada juga yang menyesali diri atas kebodohan mereka ditipu Kura-kura. Akhirnya semua serentak memohon agar Kura-kura ditangkap dan dihukum. Dewa Utamapun segera bersabda.
“Hai Kura-kura, karena kau telah menipu semua hewan petelur, maka kamu harus dihukum,” seru Dewa Utama. Segenap hadirin bertepuk riuh mendukung dihukumnya si Kura-kura.
“Agar Kura-kura tak bisa menipu lagi, sejak sekarang kamu menjadi binatang bisu dan ompong. Kamu hanya bisa makan dari perkerasan moncongmu. Kamu juga akan menggendong rumah cangkangmu yang terus bertambah berat dan keras selama 200 tahun sampai kamu bosan hidup. Beda dengan siput yang cangkangnya tipis dan enteng,” kutuk Dewa Utama.
Maka segenap binatang petelur akhirnya bertepuk tangan dan tidak lagi dendam kepada Kura-kura. Mereka pun bersedia bertelur lagi. Adapun sejak itu Kura-kura tidak memiliki gigi. Ia hidup dengan terus menggendong rumah cangkangnya yang keras dan berat di punggungnya. Itulah hukuman dera atas dosanya menipu seluruh hewan petelur.
NONI
Langganan:
Postingan (Atom)